Raisa, gadis malang yang menikah ke dalam keluarga patriarki. Dicintai suami, namun dibenci mertua dan ipar. Mampukah ia bertahan dalam badai rumah tangga yang tak pernah reda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
09
"Kenapa keluarga suamiku begitu membenciku? Apa alasannya? Apa karena aku tidak bisa mereka setir?" gumamnya sendirian, menatap kosong ke arah cermin.
Suasana kamar begitu sunyi, hanya terdengar suara detak jam di dinding. Raisa menoleh ke samping, melihat suaminya yang sudah tertidur pulas.
Raisa tertawa kecil, getir. "Bahkan saat istrinya merasa sakit hati oleh perlakuan keluarganya, dia masih bisa tidur dengan nyenyak."
Ia menghela napas panjang, matanya mulai berkaca-kaca. "Apa aku akan kuat?" lirihnya, seolah bertanya pada dirinya sendiri.
----------------
"Bu... suruh Udin tinggal lagi di sini. Kita akan membutuhkan kendaraan akhir-akhir ini. Istriku mengandung, aku tidak tega membiarkannya berjalan kaki," rengek Udin pada ibunya.
Kini, Udin tinggal di rumah Atun, karena orang tua Risma sudah tidak sanggup lagi menanggung kebutuhan mereka berdua.
"Jika hanya memberi makan anakku, aku masih ikhlas. Tapi kalau bersama dirimu, aku tidak mau!" bentak ayah Risma keras pada Udin semalam, saat tahu Risma hamil.
Udin marah besar, tanpa pikir panjang ia langsung pergi meninggalkan istrinya begitu saja.
Orang tua Risma benar-benar heran, tak habis pikir, kenapa putri mereka begitu sayang dan patuh pada Udin. Padahal, selama beberapa tahun pernikahan, Udin tak pernah menafkahi Risma sepeser pun.
"Kenapa harus Udin, Nak? Apa laki-laki di dunia ini tidak ada yang mau sama kamu?" tanya Noni, ibu Risma, dengan nada lembut tapi penuh kekecewaan.
Risma menunduk sejenak, sebelum akhirnya berkata pelan, "Aku menyukainya, Bu... Dia nggak pernah berkata kasar, selalu memperlakukanku dengan lembut."
Noni mendesah pelan," tapi dia tidak pernah menafkahi mu nak!" ucap nya dengan sedikit menekankan setiap perkataan nya.
"aku bisa buk bekerja...mencari nafkah, tapi pria yang lemah lembut terhadap istrinya itu sangat jarang!" serang risma dengan tidak mau kalah dia sedikit menaikan nada bicaranya.
"Cukup, Kak! Kenapa Kakak berani membentak Ibu?" tegur Sela, adik bungsu Noni.
Risma mendengus kesal. Ia hanya melirik sekilas ke arah adiknya, lalu berdiri dan pergi tanpa memperdulikan ibunya yang masih duduk di depannya.
Sela menatap kepergian kakaknya dengan mata penuh kekecewaan. "Kenapa Kak Risma bisa seperti itu..." gumamnya pelan, sebelum akhirnya mendekati Noni yang tampak mulai berlinang air mata.
Awalnya, Atun memang tidak merasakan beban apa-apa. Namun, setelah dua minggu Udin dan istrinya tinggal di rumah, pengeluaran semakin membengkak. Apalagi suami barunya, Paijo, dan anaknya, Udin, tidak pernah akur. Ditambah lagi, Paijo kini sedang menganggur.
"Bu, minta uang dong... Risma lagi ngidam rujak, katanya," ucap Udin sambil mengulurkan tangan ke arah Atun, seolah-olah itu hal biasa.
Atun mendelik. Namu dia tidak bisa menolak ke inginnan nya atun takut jika nanti cucu nya ileran,itu akan membuat nya sangat malu.
"Hematlah, Din! Lihat, bapakmu saja menganggur. Kalian, para lelaki, cuma tiduran di rumah, sementara Ibu harus banting tulang, keliling dari rumah ke rumah, nyuci pakaian orang lain," keluh Atun dengan wajah lelah.
"ibu si ngapain nikah lagi, sama paijo pula...semua anak ibu tidak ada setuju masih nekat aja."omel udin dengan tangan yang sibuk mebolak balikan uang yang di beri atun.
"usaha adik mu juga si aji. Dia bekerja di pabrik hanya beberapa hari saja sehingga ibu tidak bisa meminta jatah lagi padanya." keluhnya lagi mengeluarkan semua beban yang ada di pikiran nya.
"Lebih baik suruh Iwan tinggal di sini lagi, Bu. Sekarang usaha dia kan lagi lancar, otomatis duitnya juga banyak. Masa sih Raisa enak-enakan nikmatin uang Iwan, sementara Ibu nggak dikasih sepeser pun?" ujar Udin, mencoba mempengaruhi pikiran sang ibu.
"kamu benar din...iwan harus tinggal lagi di sini, siapa lagi yang bisa nurut sama ibu selain iwan."ucap nya dengan senyum berbinar.
Udin tersenyum puas, itu yang dia mau karena selain sang ibu udin juga sering meminta ini itu kepada iwan. Apalagi di saat iwan melajang udin sering memakai kendaraan nya sesuka hati nya ,bahkan dia sering mengambil uang dari dompet maupun saku celana adik nya itu.
Seore hari nya, iwan dan raisa berkunjung kerumah atun. Atun memang sengaja menelpon iwan dengan alasan ingin mengobrolkan sesuatu yang penting.
"ada apa bu? Tumben banget!" sindir iwan dengan berjalan ke arah sang ibu,tidak lupa tangan nya mengandeng sang istri.
Atun yang melihat itu hanya mencibir,dan menatap raisa dengan sinis. Namun, beberapa detik kemudian atun mengubah ekspresi nya menjadi ramah .
" duduk dulu wan."titah sang ibu dengan suara yang iwan jarang dengar ,yaitu kelembutan.
Raisa mengerutkan dahi nya merasa heran dengan sikap lembut mertuanya.
Iwan masih setia mengandeng tangan sang istri,iwan menatap raisa dengan tatapan yakin bahwa ibu nya telah berubah.
Setelah iwan dan raisa duduk di atas kursi yang sudah sedikit usang.
"Begini, Wan... Ibu tuh sekarang sering merasa kesepian. Gimana kalau kamu tinggal di sini lagi sama istrimu? Kan enak, bisa kumpul keluarga," rayu Atun dengan nada manis, meski matanya melirik tajam ke arah Raisa.
Iwan dan raisa saling pandang. Beberapa detik mencerna perkataan mertuanya akhirnya raisa membuka suara.
"Kesepian? Bukannya di rumah ini sudah ada Udin sama Risma, Bu?" balas Raisa, tersenyum tipis, menyembunyikan sindiran tajam di balik suaranya.
Seolah-olah tahu maksud dan tujuan mertuanya menyuruh dirinya dan iwan untuk tinggal bersama nya lagi.
"iwan kan yang lebih dekat dengan ibu sa...jangan lah kamu menghalangi seorang suami untuk menjauh dari ibu nya."jelas atun dengan sedikit memojokan sang istri.
Tangan raisa terkepal erat. Dia menatap atun dengan tatapan dingin namun penuh kebencian.
"Maaf, Bu. Bukan maksud Iwan menolak. Tapi, di sini sudah ada Udin dan Risma. Ibu sendiri tahu kan, mereka sama sekali nggak cocok sama Raisa. Aku cuma nggak mau nanti malah jadi masalah, malah bikin Raisa sakit hati," jawab Iwan, tegas namun tetap sopan.
Raisa menoleh ke arah suaminya ,raisa sedikit tidak percaya. Namun, senyuman bangga yang tidak bisa ia sembunyikan.
Atun yang melihat pemandangan itu merasa geram tangan nya terkepal kuat ,tapi demi bisa melancarkan dan meluluhkan hati putra nya atun menahan semua amarah itu.
senyum nya kembali terukir walaupun terlihat sangat tidak tulus."Ibu ngerti, Wan... Tapi, siapa tahu, kalau kalian tinggal di sini, malah jadi doa baik. Siapa tahu, Raisa bisa hamil," ucap Atun lembut, seolah tulus, padahal menyelipkan harapan terselubung.
Iwan diam mematung, iwan yang memang ingin segera memiliki keturunan pun hati nya sedikit tergoyah kan. Senyum puas terukir manis di bibir atun, tidak lupa ia memandang penuh ejekan kepada menantu nya itu.