Gairah di Balik Ranjang CEO

“Ka-ka kamu?!” kaget Keira, suaranya pecah, tubuhnya menegang begitu melihat wajah pria itu jelas di depan matanya Dean. Pria yang sama sekali tidak pernah ia bayangkan akan muncul lagi setelah malam itu.

“Buang.” ucap pria itu singkat, dingin, tapi penuh tekanan saat dia meraih pisau di tangan Kei.

Tanpa memberi kesempatan Keira bergerak, Dean menepis pisau itu, menangkap pergelangan tangan gadis itu, lalu menyimpannya ke dalam laci meja samping tempat tidur.

Gerakannya cekatan, seolah ini bukan pertama kalinya ia menghadapi seseorang yang melakukan hal bodoh atau mungkin Keira yang terlalu lemah hingga terlihat mudah diatasi.

Kemudian, dengan cara seenaknya, Dean meraih tubuh kecil Keira, mengangkatnya dengan mudah seakan gadis itu tidak lebih berat dari bantal. Keira terperangah, tubuhnya kaku, otaknya belum memproses apa yang sebenarnya terjadi. Dia dibaringkan di sofa panjang di dalam ruangan VIP itu, posisi tubuhnya dibenarkan oleh pria itu.

Pria ini… Dean.

Seseorang yang baru dikenalnya beberapa jam sebelum hidupnya runtuh. Seseorang yang ia kira hanyalah pria bayaran… tapi kini berdiri di hadapannya seperti badai.

Dean mengambil kotak obat dari meja, menarik plester, alkohol swab, dan kapas.

“Sepertinya plester ini cukup. Hanya tergores sedikit.” suaranya dingin tapi stabil. “Apa kau bodoh? Membiarkan diri mu berdiri di ujung kematian seperti itu. Kau mengakhiri hidupmu sendiri, apa kau gila?”

Keira mengedip pelan, dadanya bergetar. “Ka-ka kau… kenapa ke sini?” tanyanya lirih, takut, namun juga bingung.

Dean berhenti membersihkan luka kecil di pergelangan tangan Kei. Matanya menatap tajam, seolah kata-kata Keira baru saja menghina harga dirinya.

“Ke sini?” ulangnya.

“Harusnya aku yang bertanya, nona Keira Adelina. Kau mengambil malam pertama ku yang berharga dan pergi begitu saja. Apa kau kira aku pria untuk semua wanita? Dengan surat dan uang receh yang kau tinggalkan itu?” nada suaranya tajam seperti pisau.

Keira membeku. “Ma-maksudmu apa? Kau kan seorang gigolo… aku membayar mu. Apa aku salah?” tanya Keira polos, wajahnya masih dibasahi air mata.

Dean memejamkan mata sesaat, menahan kesal. “Aku bukan gigolo atau budakmu. Kau salah masuk kamar. Kamarmu itu 666, sedangkan aku 999. Gadis bodoh. Gadis cebol!”

Seperti disengat listrik, tubuh Keira menegang. Matanya membesar bukan karena terkejut tapi karena ngeri.

Jadi…

Malam itu…

Ia salah kamar?

Dan pria yang menemaninya…

BUKAN pria bayaran?

“Ta-ta tapi… aku tidak tahu. Apa aku salah?” Keira memegangi sisi sofa, tubuhnya mulai gemetar.

“Jelas kau salah!” bentak Dean.

“Dan kau mau bunuh diri hanya karena pria itu? Di mana otakmu?!”

Keira sontak berdiri, memukul dada Dean dengan kedua tangannya. Pukulan yang lemah, lebih seperti ekspresi putus asa daripada kemarahan.

“Kau tidak tahu masalahku! Kau tidak tahu apa yang sudah terjadi!” teriak Kei dengan suara pecah.

“Aku sudah tujuh tahun bersama dia! Tujuh tahun! Tapi dia selingkuh. Dia memutuskan aku. Dia meninggalkan aku… dan aku sudah… aku sudah jadi gadis rusak…” suaranya hilang di akhir, berubah menjadi isak yang mengguncang seluruh tubuhnya.

Dean menatap Keira lama, matanya akhirnya sedikit melunak tapi hanya sepersekian detik sebelum kembali keras.

“Kau menangis karena kau jadi gadis rusak?” Dean menaikkan alis.

“Aku harusnya begitu. Kau merusak masa depan ku. Itu pertama kali bagiku, apa kau tahu itu, nona?”

Keira mendongak kaget. “A-apa…?”

Dean menarik tangan Keira, memaksanya berdiri. Gadis itu mendongak karena postur Dean jauh lebih tinggi. Dean memegang kedua pipi Keira, menekannya hingga pipi gadis itu menggembung lucu.

“Kau harus bertanggung jawab. Prinsipku jelas. Sekali dengan wanita yang sama seumur hidup. Kau paham?” tatapannya tajam, tak memberi ruang untuk kabur.

“Tanggung jawab? Maksudnya?” Keira kian bingung.

Dean menjawab tanpa berkedip.

“Kau harus menjadikan aku suamimu.”

“HAH?!” Keira langsung mendorong dada bidang pria itu.

“Apa kau GILA?!”

Dean tidak bergeming sedikit pun.

“Kau gila! Kita melakukannya… karena sama-sama mau! Atas dasar apa kau bilang aku harus menjadikanmu suami?!” Keira memelototinya.

Dean menunduk sedikit, suaranya rendah. “Sudah kukatakan. Aku hanya melakukannya sekali seumur hidup. Dan dia harus menjadi istriku. Jika tidak, aku akan melaporkanmu atas pelecehan seksual. Kau yang memaksa aku malam itu, ingat?”

“A-aku—k-kau juga mau, kan?!” Keira hampir menangis karena frustasi.

“Aku mau karena kau merengsek. Kau lupa?” Dean masih santai seolah membahas cuaca.

Sebelum Keira sempat meledak lagi, pintu ruangan terbuka.

Mathew masuk, ekspresinya datar tapi suaranya formal. “Tuan, Nyonya Besar terus menelpon. Dia menanyakan keberadaan Anda. Sepertinya anggota keluarga besar sudah melaporkan kegiatan Anda.”

Dean mendengus. “Sial. Sudah kuduga.”

Ia menatap Keira lagi.

“Tunggu di sini. Aku akan membawa mu pulang. Kau yang melempar dirimu sendiri padaku. Ikut aku ke Roma, dan kita akan menikah.”

“KAU GILAA?!” jerit Keira. “Pernikahan itu bukan cuma… begitu saja!”

Dean mendekat, menatap lurus ke mata Keira. “Cinta sudah mati untukku. Dan untukmu juga, bukan? Jadi pikirkan baik-baik. Kau mau bunuh diri, atau mau menyelamatkan hidupmu dari status ‘gadis rusak’ menurutmu itu, dan menjadi istriku.”

Dean keluar bersama Mathew, meninggalkan Keira terpaku seperti patung. Dunia seakan berputar cepat, tapi tubuhnya diam tak bergerak.

“Kenapa hidupku seperti sinetron jam 2 pagi? Kenapa pria aneh itu tiba-tiba ingin menikahi aku? Apa dia kurang kerjaan?” Kei mengacak rambutnya sendiri frustrasi.

Pintu terbuka lagi.

“Nona, makan buah Anda.” ucap Mathew datar.

“Eh! Kaget… i-iya kak…” Kei segera mengambil buah yang rupanya Dean kupas.

Keira mengunyah pelan sambil menatap tangannya yang diperban. “Tunggu… dia pakai bahasa Indonesia? Jadi… apa dia orang Indonesia juga?!”

Gadis itu panik, langsung berlari keluar kamar.

Di lorong, Keira mendapati Dean berbicara dengan beberapa pria lain. Bukan orang sembarangan.

“Eh! Kau!” teriak Keira.

Lukas menoleh cepat. “Halo kakak ipar! Kau sudah bangun?”

“KAKAK APA?!” Keira membeku.

Dean memutar badan, menatap Keira dengan wajah datar. “Ya. Sepertinya dia bilang ya. Benar begitu, Keira Adelina?”

Keira mematung. Lalu mendengar Shasa berkata:

“Dean, apa dia calon istrimu? Cantik sekali, benar kan suamiku?”

“Hmm kau lebih cantik, sayang.” balas Luis.

Keira benar-benar berhenti bernafas sejenak.

Dia menatap Dean.

Kemudian Luis.

Kemudian Shasa.

Kemudian Lukas.

“Ha-hah? Sebenarnya siapa pria ini…? Kenapa dia kenal orang-orang hebat ini? Bukankah dia Luis William? Kenapa semua orang gila ini kumpul di sini…?”

Kepala Keira berputar lebih cepat dari komedi putar.

Dan malam itu… hidupnya berubah total tanpa ia sadari.

...----------------...

Sebelum lanjut ke bab berikutnya, jangan lupa follow dan masukkan ke favorit supaya kalian tidak ketinggalan update.