Fandi Dirgantara dikenal sebagai pewaris muda triliunan rupiah — CEO muda yang selalu tampil tenang dan elegan di hadapan dunia bisnis. Namun, di balik senyum dinginnya, tersimpan amarah masa lalu yang tak pernah padam. Ketika malam tiba, Fandi menjelma menjadi sosok misterius yang diburu dunia bawah tanah: “Specter”, pemburu mafia yang menebar ketakutan di setiap langkahnya. Ia tidak sendiri — dua sahabatnya, Kei, seorang ahli teknologi yang santai tapi tajam, dan Alfin, mantan anggota pasukan khusus yang dingin dan loyal, selalu berada di sisinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EPI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dia dirgantara
Beberapa menit setelah mendapatkan laporan dan melihat rekaman CCTV lokasi kejadian, Fandi kembali fokus bekerja.
Suara ketikan di ruangannya terdengar tenang, tapi tegang di bawah permukaan.
Tiba-tiba, ponsel milik Epi yang ia bawa berdering di meja.
Nama “Rami” muncul di layar. Fandi menatap sejenak, lalu tanpa ekspresi, ia menekan tombol merah, mematikan panggilan itu.
Ia memasukkan kembali ponsel tersebut ke saku celananya, menatap layar komputernya lagi, dan melanjutkan pekerjaannya seolah tak terjadi apa-apa.
Beberapa detik kemudian—
Tok… tok… tok.
Suara ketukan pintu terdengar dari luar.
“Masuk,” ucap Fandi datar tanpa menoleh.
Seorang karyawan lelaki masuk dengan langkah hati-hati.
“Selamat siang, Tuan. Ada seseorang ingin bertemu dengan Anda,” lapornya sopan.
Fandi menatap sekilas. “Siapa?”
“Atas nama Nona Sila, kekasih Anda, Tuan.” Karyawan itu menunduk hormat, suaranya terdengar ragu.
Kei langsung mendengus kesal. “Kekasih apaan? Dari mana datanya tuh?” gumamnya sinis.
Alfin juga menghela napas panjang, menatap ke arah Fandi.
Fandi menatap kosong ke depan, suaranya dingin dan tajam,
“Usir saja. Katakan aku tidak mengenalnya. Kalau memaksa, laporkan ke kantor polisi.”
Karyawan itu mengangguk cepat, “Baik, Tuan.” Ia keluar dengan langkah cepat.
Beberapa menit kemudian di lobi perusahaan, Nona Sila berdiri dengan wajah kesal, mengenakan dress mewah.
Karyawan tadi menunduk sedikit.
“Maaf, Nona. Tuan Fandi mengatakan… beliau tidak mengenal Anda.”
“Apa?! Kau bercanda?! Aku kekasihnya! Panggil dia ke sini sekarang!” bentak Sila marah.
Karyawan itu tetap tenang, mengangkat tangan.
“Saya hanya menyampaikan perintah, Nona. Mohon maaf.”
Sila semakin emosi, suaranya meninggi.
“Apa kalian gila?! Aku ini siapa, kalian tahu?!”
Namun dua pria berseragam hitam dari tim pengamanan perusahaan maju, berdiri di depan Sila.
Karyawan itu menatap mereka sekilas dan berkata tegas,
“Usir dia. Tuan tidak mengenalnya. Jika dia berontak, laporkan ke polisi. Ini perintah langsung dari Tuan Fandi.”
Sila makin berteriak, tapi kedua petugas keamanan mendekat dan salah satunya berbisik rendah dengan nada tajam,
“Kau keluar baik-baik, atau aku yang pastikan kau gak bakal bisa keluar hidup-hidup dari sini.”
Tubuh Sila menegang seketika. Wajahnya pucat, bibirnya bergetar. Ia menepis tangan mereka dan bergegas pergi sambil memaki pelan.
Di jalan, ia menendang batu kecil sambil mengumpat kasar.
“Dasar sombong! Aku hina dia sedikit langsung kayak gitu?! Lihat aja, Fan, kau pikir siapa aku!”
Dengan amarah yang belum reda, Sila melajukan mobilnya pulang.
Sesampainya di rumah, ia langsung melapor pada orang tuanya.
“Ayah! Ibu! Kak Fandi ngusir aku dari kantornya! Bahkan dia suruh pengawal hampir nyeret aku keluar!”
Ayahnya, David, menatap tajam. “Apa? Kurang ajar benar dia! Ayo, kita temui Bang Atha sekarang!”
Istrinya, Jenar, mengangguk panik. “Iya, jangan diam aja, Dav.”
Tanpa pikir panjang, mereka bertiga langsung menuju kediaman Dirgantara.
Tiga puluh lima menit perjalanan, mereka tiba. Gerbang besar langsung terbuka — para pengawal mengenal mereka.
Salah satu pengawal segera memberi laporan lewat radio kecil ke ajudan Atha.
Beberapa menit kemudian, Matthew dan Zayn, dua pengawal utama Atha, berdiri di sisi kanan dan kiri pria itu di ruang tamu besar.
Ketika David dan keluarganya masuk, suasana langsung terasa berat.
David tak menunggu waktu.
“Bang! Apa-apaan putra mu, ha?! Mengusir Sila begitu aja! Bahkan ngancam mau bunuh dia!”
Atha duduk tenang, menatap mereka tanpa ekspresi.
“David,” ucapnya pelan namun tajam. “Kau tentu tahu anakku seperti apa. Sama seperti aku—tidak suka diusik.
Kau sudah tanya pada putrimu, apa yang sebenarnya ia lakukan sampai Fandi bertindak begitu?”
Sila menunduk, suaranya pelan.
“Aku cuma… minta Kak Fandi datang ke acara ulang tahunku, Om. Aku udah bilang ke teman-teman kalau Om Atha bakal datang bareng Kak Fandi…”
Atha menatapnya dingin. “Kau sudah berpikir sebelum bicara? Kau tahu Fandi tidak akan datang ke acara seperti itu. Dia sedang mengurus bisnis besar, bukan buang waktu di tempat tak penting.”
Nada suaranya meninggi sedikit. “Kau meminta… atau memaksa?”
Sila terdiam.
David mulai gelisah, berusaha menenangkan suasana.
“Sudahlah Bang, anak muda pasti ada salah paham. Lagian kan bagus kalau mereka dekat. Kalau dijodohkan juga lebih baik, dari pada sama orang tak jelas. Kita ini keluarga juga.”
Atha menoleh perlahan, tatapannya tajam bagai pisau.
“David, saya tidak ingin menjodohkan siapa pun. Fandi bebas memilih siapa yang ia mau. Itu hidupnya.”
David masih mencoba bertahan.
“Tapi, Bang… usia Fandi sudah cukup. Apa salahnya kalau mereka bertunangan dulu?”
Atha mencondongkan badan sedikit ke depan, suaranya makin dingin.
“Pergilah, David. Kalau kau cuma datang untuk membicarakan ini.”
David terdiam.
Namun Jenar tak tahan, ikut bicara, suaranya keras.
“Bang Atha, jangan sampai gara-gara ini kita bermusuhan. Sila benar-benar suka Fandi! Kalau terus menolak, bisa-bisa jadi masalah besar nanti!”
Atha menatapnya tajam.
“Apakah kau pikir aku takut, Jenar? Aku tidak peduli kehilangan sahabat, bahkan keluarga, kalau mereka berani cari masalah denganku. Aku tidak segan membunuh. Jangan uji kesabaranku.”
Nada suaranya berat dan menekan. Ruangan seakan mencekam.
Matthew dan Zayn menatap datar, menunggu perintah.
Atha berdiri, menatap keduanya. “Usir mereka. Dan jika mereka datang lagi—jangan izinkan satu pun dari mereka menginjakkan kaki di rumah ini.”
David menatap wajah Atha, pucat dan tak berani membalas.
Mereka bertiga segera digiring keluar.
Di mobil, suasana hening.
Sampai akhirnya David membentak istrinya.
“Apa yang kau pikirkan, Jenar?! Kau mau mati, ha?! Kau hampir bikin kita dikubur hidup-hidup tadi!”
Jenar menunduk, menyesal.
Sila diam, wajahnya merah, tapi ketakutan masih jelas terlihat. Mobil itu melaju cepat, menjauh dari kediaman Dirgantara.
Sementara di sisi lain—
Suryo, Vincent, Mahawira, Kirana, Brahmana, Santara, dan Rendra sedang berkumpul di markas mereka.
Suasana tegang.
Suryo bersandar di kursi, menatap Vincent tajam.
“Vincent, sebaiknya kau berhenti cari masalah dengan Fandi. Lupakan lahan itu.”
Vincent tertawa pendek, sinis. “Kau takut, Suryo?”
Suryo mengetuk meja pelan. “Takut? Bukan. Tapi aku tahu siapa yang kau hadapi. Dirgantara bukan mainan, Bodoh. Pasukanmu entah ke mana. Mati semua atau kabur. Kau pikir Fandi nggak tahu? Kalau dia diam, itu justru yang paling berbahaya.”
Suasana makin panas, beberapa dari mereka mulai debat keras.
Kirana bersuara dingin, “Anak itu terlalu tenang. Kalau dia benar keturunan Atha, lebih baik kita berhenti sebelum semuanya tamat.”
Vincent menatapnya kesal. “Aku nggak peduli siapa dia. Kalau dia halangi aku, dia musuh.”
Suryo mencondongkan badan, menatap Vincent dalam.
“Kalau begitu, siap-siap mati. Karena orang yang menantang Dirgantara… nggak pernah hidup lama.”