Setelah kecelakaan misterius, Jung Ha Young terbangun dalam tubuh orang lain Lee Ji Soo, seorang wanita yang dikenal dingin dan penuh rahasia. Identitasnya yang tertukar bukan hanya teka-teki medis, tapi juga awal dari pengungkapan masa lalu kelam yang melibatkan keluarga, pengkhianatan, dan jejak kriminal yang tak terduga.
Di sisi lain, Detektif Han Jae Wan menyelidiki kasus pembakaran kios ikan milik Ibu Shin. Tersangka utama, Nam Gi Taek, menyebut Ji Soo sebagai dalang pembakaran, bahkan mengisyaratkan keterlibatannya dalam kecelakaan Ha Young. Ketika Ji Soo dikabarkan sadar dari koma, penyelidikan memasuki babak baru antara kebenaran dan manipulasi, antara korban dan pelaku.
Ha Young, yang hidup sebagai Ji Soo, harus menghadapi dunia yang tak mengenal dirinya, ibu yang terasa asing, dan teman-teman yang tak bisa ia dekati. Di tengah tubuh yang bukan miliknya, ia mencari makna, kebenaran, dan jalan pulang menuju dirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ulfa Nadia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
제8장
Kekesalan yang tiada terkira menyelimuti Ha Young malam itu. Frustrasi yang menumpuk dari pertengkaran dengan sang ayah, ditambah kepedihan atas kepergian ibunya yang tak pernah kembali, membuatnya nyaris meledak. Ia tidak tahu harus ke mana. Ia hanya tahu satu hal: ia ingin melarikan diri dari semuanya.
Dengan pakaian serba hitam, kacamata gelap, dan topi yang menutupi hampir seluruh wajahnya, Ha Young menyamar dan masuk ke sebuah kedai kecil di seberang jalan, tak jauh dari kantor polisi Seoul. Ia duduk di sudut, memesan minuman satu demi satu, hingga delapan botol kosong berjejer di mejanya.
Kepalanya mulai berat, tubuhnya limbung, tapi ia tetap bertahan di kursinya. Ia tidak ingin pulang. Ia tidak ingin ditemukan. Ia hanya ingin tenggelam.
Pemilik kedai, seorang ajumma paruh baya, mulai gelisah. Ia mendekat dengan nada khawatir.
“Nona, kamu harus pulang. Berikan ponselmu. Aku harus menghubungi keluargamu. Kamu sangat mabuk.”
Ha Young mengangkat wajahnya perlahan, matanya sayu di balik kacamata. “gak ajjumma. Aku gak mabuk... cuma sedikit mabuk,” sahutnya dengan suara pelan, kepala sempoyongan.
Ajumma menghela napas panjang. “Kamu itu sudah minum delapan botol. Masih bisa bilang sedikit mabuk? Cepat berikan ponselmu. Aku harus menutup kedaiku.”
Ha Young mencoba berdiri, tapi tubuhnya tak kuat. Ia terhuyung, lalu kembali duduk. “ajjumma... aku bilang aku hanya sedikit mabuk. Tapi... aneh sekali, aku tidak bisa bangkit.”
Ajumma mulai kehilangan kesabaran. “Gadis ini benar-benar...” gumamnya, lalu dengan cepat memeriksa tas tangan Ha Young. Ia berhasil menemukan ponsel di dalamnya.
Namun saat Ha Young melihat ponselnya di tangan ajumma, ia langsung bereaksi. Dengan gerakan tak stabil, ia merebut kembali benda itu.
“Apa yang kamu lakukan, ajjumma?” katanya, suara mulai meninggi, tangan gemetar saat menggenggam ponselnya.
“Hey, berikan padaku ponselmu. Aku harus menelepon keluargamu,” kata ajumma dengan nada sabar yang mulai menipis.
“Tidak akan kuberikan, tidak! Aku juga tidak punya keluarga” sahut Ha Young, suaranya serak.
Ajumma menghela napas panjang, kesabarannya mulai terkikis oleh tingkah Ha Young mabuk yang duduk di sudut kedainya. Ia mendekat, lalu menarik lengan Ha Young dengan maksud mengusirnya keluar. Tapi tubuh Ha Young yang limbung membuatnya terjatuh ke tanah.
“Apa kamu sudah gila?” gerutu Ha Young, berusaha bangkit dengan tubuh yang tak stabil.
“Aku tidak gila. Kau yang gila. Pergilah dari sini!” bentak ajumma, kesal, lalu berbalik hendak masuk kembali ke dalam kedai.
Namun Ha Young, yang sudah kehilangan kendali atas emosinya, menarik kaki ajumma dengan tangan gemetar. “ajjumma, apa kamu kira setelah mendorongku kamu bisa pergi begitu saja? Kamu harus minta maaf dulu.”
Ajumma yang sudah kehilangan kesabaran menatapnya tajam. Ia menarik kakinya yang masih digenggam oleh Ha Young dengan kasar, membuat gadis itu kembali tersungkur ke tanah. Tubuh Ha Young terhempas, kacamata hitamnya terlepas, memperlihatkan wajah yang selama ini ia sembunyikan. Untungnya ajjuma pemilik kedai tak mengenalinya.
Di seberang jalan, Han Jae Wan yang kebetulan lewat menghentikan langkahnya. Matanya langsung tertuju pada keributan di depan kedai. Ia bergegas menghampiri, langkahnya cepat dan penuh tanya.
“Apa yang Anda lakukan, ajumma?” tanya Jae Wan, suaranya tegas namun sopan. Ia menoleh ke arah Ha Young yang berusaha bangkit, dan saat matanya menangkap wajah gadis itu, ia terdiam sejenak.
“Jung Ha Young-ssi?” ucapnya, terkejut.
Ajumma menoleh, heran melihat reaksi pria itu. “Apa kamu kenal dia?” tanya ajjumma sambil menunjuk Ha Young.
“Ya, aku mengenalnya,” sahut Jae Wan, matanya tak lepas dari Ha Young. “Jung Ha Young-ssi, apa yang kau lakukan di sini?”
Ha Young memicingkan mata, mencoba mengenali wajah pria di depannya. “Mmm... sepertinya aku kenal kamu?” gumamnya, tubuhnya masih goyah. “Ah, ya... aku ingat. Kamu detektif yang nolong aku kan, detektif Han Jae Wan” oceh Ha Young yang masih mabuk
Ajumma mengangkat bahu, tampak lega karena urusannya akan segera selesai. “Dia sangat mabuk. Sudah menghabiskan delapan botol. Saat aku bilang ingin menelepon keluarganya, dia menolak. Untung ada kamu. Urus saja dia,” katanya, lalu beranjak pergi.
Namun Ha Young, yang emosinya masih tak stabil, melangkah ingin mengejar. “eh, ajjumma tidak boleh pergi! Kamu harus minta maaf dulu!” serunya, tangan terulur memegang lengan ajjumma tersebut
Jae Wan dengan cepat menarik lengan Ha Young, menahannya dengan lembut namun tegas. “Jung Ha Young-ssi, semua orang saat ini tengah panik mencarimu. Sebaiknya kamu pulang sekarang. Aku akan mengantarmu.”
“Haruskah aku kembali?” tanya Ha Young pelan, matanya kosong menatap jalanan.
Lalu, seolah baru teringat sesuatu, ia menoleh ke arah Jae Wan. “Ahh, iya... aku lupa”kata Ha Young sambil memegang kepalanya yang mulai pusing “kamu kan detektif, Aku ingin melaporkan ayahku. Dia sudah memukuli manajerku. Katakan padaku... apa kamu bisa menangkap ayahku dan memenjarakannya?” ocehnya, suara mulai tak teratur.
Jae Wan terdiam sejenak. Kali ini, ia memanggilnya dengan nada berbeda. “Nona Jung,” katanya pelan, namun tegas. “Sepertinya kamu sangat mabuk... makanya kamu bicara tak karuan. Ayo, aku antar kamu pulang.”
Ia mencoba memegang lengan Ha Young dengan hati-hati, tapi gadis itu cepat-cepat menarik diri. Tubuhnya kehilangan keseimbangan, dan ia kembali terjatuh ke tanah.
“Nona Jung!” panggil Jae Wan, ia benar-benar khawatir, kemudian jongkok di dekat Ha Young sambil mencoba melihat wajah gadis itu yang tertutup rambutnya yang berantakan. Taklama Ha Young mulai menangis.
“Kenapa? Apa ada yang sakit?” tanya Jae Wan panik.
Ha Young tak menjawab dan makin terisak, Jae Wan bingung harus bagaimana, ia memperhatikan sekeliling dan kembali melihat wajah gadis itu dengan iba. “aku antar kamu pulang ya” ujar Jae Wan dengan nada lembut
“Hatiku,” jawab Ha Young, suaranya nyaris tenggelam dalam isak.
“Mwo?” Jae Wan mengernyit, tak yakin mendengar dengan jelas.
“Aku bilang... hatiku,” ulang Ha Young, kali ini dengan tangis yang makin pecah, sesenggukan, seolah semua luka yang ia tahan selama ini akhirnya tumpah.
Jae Wan menatapnya lama. Ia tidak tahu harus berkata apa. Tapi ia tahu, gadis di depannya sedang hancur. Bukan karena alkohol. Tapi karena luka yang tak pernah diberi ruang untuk sembuh.
“Nona Jung, ayo... aku bantu kamu berdiri,” katanya lembut, lalu menyentuh bahu Ha Young dengan hati-hati.
Ha Young mencoba bangkit, tapi tubuhnya goyah. Kepalanya terasa berat, dunia seolah berputar. Dan sebelum ia sempat berkata apa-apa, tubuhnya menegang, lalu ia memuntahkan seluruh isi perutnya.
Jae Wan terdiam. Terkejut. Lalu muntahannya tumpah ke pakaian Jae Wan. Ha Young sempat berusaha meminta maaf, tapi sebelum kata itu benar-benar keluar, tubuhnya limbung dan jatuh ke pelukan Jae Wan tak sadarkan diri.
“Ha Young-ssi?” panggil Jae Wan, panik. Ia menepuk pipi gadis itu pelan, mencoba membangunkannya. Tapi Ha Young hanya terdiam, napasnya berat, wajahnya pucat.
Tanpa membuang waktu, Jae Wan mengangkat tubuh Ha Young ke dalam mobilnya. Ia menyelimuti gadis itu dengan jaket bersih dari kursi belakang, lalu menghubungi nomor Eunjung yang sempat ia dapatkan dari laporan pencarian, sambil membersihkan bajunya yang terkena muntah Ha young. Untungnya Jae Wan membawa baju ganti di mobilnya. Ia pun langsung mengganti bajunya yang kotor.
Tak lama kemudian, ia tiba di titik pertemuan yang telah disepakati. Di sana, Eunjung dan Yeo Jin berdiri gelisah di bawah lampu jalan, wajah mereka penuh kecemasan. Begitu mobil berhenti, Eunjung berlari ke arah pintu, matanya langsung mencari sosok sahabatnya.
“Ha Young ahh!” seru Eunjung, nyaris menangis.
Jae Wan membuka pintu dan membantu menurunkan tubuh Ha Young yang masih tak sadar. “Dia pingsan setelah muntah. Sepertinya terlalu banyak minum,” jelasnya singkat.
Yeo Jin menutup mulutnya, terkejut melihat kondisi Ha Young. “Ya Tuhan... kami mencarinya ke mana-mana,” gumamnya, suaranya bergetar.
Eunjung segera memeluk tubuh sahabatnya yang lemah. “Kamu sudah ditemukan... kamu selamat,” bisiknya, seolah ingin meyakinkan dirinya sendiri.
Jae Wan menyerahkan tas kecil Ha Young kepada Yeo Jin. “Dia butuh istirahat. Dan mungkin... lebih dari itu. Dia butuh tempat yang aman.”
Yeo Jin mengangguk, matanya masih berkaca-kaca. “Terima kasih... sungguh jika bukan karena detektif, aku tidak tahu harus cari Ha Young dimana lagi.”
Jae Wan menatap mereka bertiga sejenak, lalu mundur pelan. Ia tahu perannya malam ini sudah selesai. Tapi di dalam hatinya, ia tahu ia baru saja menyelamatkan seseorang dari kehancuran yang tak terlihat.
Dan di bawah langit malam Seoul yang mulai tenang, Ha Young akhirnya pulang. Bukan hanya ke tempat tinggalnya, tapi ke pelukan orang-orang yang benar-benar peduli.
Pagi itu, salju masih turun perlahan di luar jendela. Udara dingin menyelimuti kota, tapi di dalam apartemen, Eunjung mencoba menciptakan kehangatan. Ia memutar lagu Merry Christmas dari ponselnya, membiarkan melodi ceria mengisi ruang yang semalam penuh kecemasan.
Dengan langkah ringan, Eunjung masuk ke kamar Ha Young. Ia membuka gorden, membiarkan cahaya pagi masuk dan menyapu bayangan gelap di sudut ruangan. Di atas ranjang, Ha Young masih terlelap, wajahnya tenang namun pucat.
“Merry Christmas, Jung Ha Young!” seru Eunjung, ceria namun penuh harap.
Ha Young terbangun dengan kaget, duduk tegak di kasurnya. “Apa katamu? Christmas?” ujarnya, terkejut. Matanya langsung menoleh ke jam weker di meja samping. “Mati aku!” serunya, lalu berlari ke kamar mandi tanpa menjelaskan apa pun.
Eunjung mengernyit, bingung. Ia tahu Ha Young tidak punya jadwal hari ini. Natal biasanya jadi hari istirahat. Tapi ekspresi panik itu... seperti ada janji yang terlupakan.
Setelah mandi, Ha Young sibuk memilah pakaian di lemari. Eunjung masuk ke kamar, menatap sahabatnya yang terlihat gelisah.
“Kau ingin pergi, ya?” tanya Eunjung penasaran.
“Eunjung-ah, aku lupa! Hari ini aku harus bertemu dengan Hee Jae oppa. Kamu tahu kan, Kami selalu merayakan Natal bersama. Aku sangat terlambat!”
“Sudah kamu beri tahu dia?” tanya Eunjung, mulai khawatir.
“Untuk apa? Eoppa bilang kami akan merayakan Natal bersama setiap tahun,” jawab Ha Young sambil terus memilih baju.
“Ha Young-ah, apa tidak sebaiknya kau beri kabar dulu? Jangan-jangan dia punya rencana lain.”
Ponsel Ha Young berbunyi. Ia melihat layar dan tersenyum bangga. “Lihat! Hee Jae-oppa mengirim pesan padaku,” katanya, menunjukkan notifikasi yang belum dibuka.
Namun begitu ia membuka pesan itu, senyumnya menghilang. Wajahnya berubah muram. Ia segera menelepon Hee Jae.
“Kenapa tidak bisa, oppa? Apa kau sedang sibuk?” suaranya pelan, nyaris memohon.
Setelah menutup telepon, tubuhnya lemas. Ia duduk di tepi ranjang, menatap lantai.
“oppa bilang dia ada pertemuan dengan seorang clien di pulau Jeju” gumamnya. “Itu sebabnya kami tidak bisa merayakan Natal seperti biasanya”
Eunjung mendekat, duduk di sampingnya. “Ada apa?” tanyanya lembut.
Ha Young tidak menjawab. Ia hanya diam, mencoba mengingat-ingat sesuatu. Lalu tiba-tiba matanya terbelalak.
“Eunjung-ah... apa yang kulakukan kemarin? Bukankah aku...” Ia tak meneruskan kalimatnya. Ingatan itu datang seperti kilatan kedai kecil, muntah, dan Han Jae Wan.
“Aku... aku muntah di bajunya,” gumam Ha Young, suaranya nyaris tak terdengar seraya memegang kepalanya.
Eunjung mendekat perlahan. “Bajunya siapa?” tanyanya lembut.
“Han Jae Wan... detektif itu...” Ha Young menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Aku ingat samar-samar... aku mabuk... aku jatuh... lalu dia datang... tapi setelah itu... aku tidak ingat apa-apa.”
Eunjung duduk di sampingnya, menatap sahabatnya dengan hati yang ikut gelisah. “Kamu benar-benar tidak ingat?”
Ha Young menggeleng pelan. “Aku ingat kedai kecil... ajumma yang marah... aku muntah... lalu... gelap. Aku tidak tahu bagaimana aku sampai di sini. Aku tidak tahu apakah aku mengatakan hal-hal yang memalukan... atau menyakitkan... atau...”
Eunjung menggenggam tangan Ha Young, hangat dan mantap. “Kamu gak muntahin Detektif Han, kan?” tanyanya, mencoba mencairkan suasana.
Ha Young menggeleng pelan, lalu mengangkat bahu. “Aku... aku gak ingat. Rasanya kayak kabut. Gimana kalau aku ngelakuin sesuatu yang gak sopan? Atau nyakitin dia?”
Ia menarik napas panjang, tapi dadanya tetap sesak. Pikirannya berputar-putar, tak memberi ruang untuk tenang. Apa yang sebenarnya ia katakan malam itu? Apakah Jae Wan melihat sisi dirinya yang selama ini ia sembunyikan, sisi yang rapuh dan kacau?
Eunjung menatapnya lama, lalu berkata pelan, “Kalau kamu benar-benar mau tahu, satu-satunya cara ya tanya langsung ke Detektif Han.”
Ha Young terdiam. Kata-kata itu sederhana, tapi mengguncang. Ia tahu Eunjung tidak bermaksud menekan, tapi tetap saja, bayangan tentang dirinya yang mabuk dan mungkin kehilangan kendali membuatnya takut. Ia tak yakin siap menghadapi kebenaran apalagi jika kebenaran itu menyakitkan.