Aku memang perempuan bodoh soal cinta, pacaran 5 tahun tapi menikah hanya 8 bulan. Tak pernah mendengar nasehat dari orang tua dan sahabatku, perkara pacarku itu. Aku nekad saja menikah dengannya. dalihku karena sudah lama kenal dengannya aku yakin dia akan berubah saat menikah nanti.
Ternyata aku salah, aku serasa teman tidur saja, bahkan aku tak diberi nafkah lahir, ditinggal dikontrakan sendiri, keluarganya tidak pernah baik padaku, tapi aku masih bodoh menerima dan sabar menghadapi tingkahnya. Bahkan cicilan dan biaya rumah sakit aku yang meng-cover. Gila gak? bodoh banget otakku, hingga aku di KDRT, dan itulah titik balikku berpisah dengannya, hingga menemukan kebahagiaan bersama seseorang yang sama sekali tak kukenal, tapi bisa mewujudkan impian pernimahan yang aku inginkan, hanya karena apa? restu orang tua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HANG OUT
"Gak dicari suami?" tanya Pinkan yang mengajak aku dan Melda makan malam setelah pulang kantor, langsung diangkut ke mobilnya menuju cafe langganan.
"Gas, Mbak. Punya suami rasa janda kok," ucapku jujur. Melda menatapku sembari menggeleng. Meski dia tak suka dengan Akbar, tapi Melda tak suka kalau kau bicara ngawur.
"Halah, palingan kalau datang ke kontrakan juga kamu mau ngangkang!" sindir Pinkan yang memang sudah tahu kebiasaan marah ala suami istri. Dia adalah janda anak satu setelah suaminya meninggal karena kecelakaan kerja.
Aku hanya tertawa saja, saat jauh memang aku gak mencari kabar Mas Akbar. Tapi kalau dia sudah mampir ke kontrakan, aku selalu lemah dan tetap melayani meski dia begitu menyebalkan.
Kami bertiga memesan makanan sesuai kesukaan masing-masing. Suasana cafe begitu rame dengan kalangan anak muda yang mungkin sedang hang out dengan teman kuliah atau pacar. Aku sempat menoleh, menyisir area cafe yang memang malam itu sudah ramai.
"Mbak Pinkan gak berniat menikah lagi?" tanyaku penasaran, sekarang anaknya sudah 8 tahun, itu artinya sudah hampir 6 tahun Pinkan menjadi janda. Sontak saja mendengar pertanyaan itu ia menggeleng.
"Aku gak tahu ke depannya bertemu pria baik lagi apa enggak, yang jelas untuk saat ini lebih baik sendiri, merawat anak sampai menyekolahkan udah. Lagian kalau aku disuruh hamil lagi, urus bayi, aduh terimakasih. Anak aku sudah 8 tahun, rasanya mandiri banget, serasa bestie aja kalau lagi jalan sama dia," ujar Pinkan mengutarakan pendapatnya soal menikah lagi.
"Soal biologis, Mbak?"
"Waduh, bahas adegan dewasa nih," ucap Melda yang di antara mereka dia sendiri yang belum menikah.
"Buat pelajaran aja, Mel. Dengerin sebelum kamu nikah nanti. Nah soal biologis, entah ya. Rasanya aku kok gak kepikiran untuk menuntaskan, kamu tahu kan setelah urusan kantor, aku sama anak, kemudian kalau Mawar sudah selesai belajar dan curhat keseharian begitu, aku bikin stok frozen untuk jualan, jadi aku sibukkan dengan hal lain saja biar gak menjurus ke urusan begitu. Lagian, Mir, seorang perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya, jarang sekali mau menikah, karena apa, dirinya malas kalau harus memulai rumah tangga lagi, belum tentu rumah tangganya lebih baik dari pernikahan awal, jadi lebih baik menjalani yang sudah ada tanpa mencari yang baru. Lagian kita pasti udah tahu lah, masalah rumah tangga yang bikin kita emosi, maka lebih baik single era saja. Kenapa? Kamu mau gabung?" canda Mbak Pinkan, namun kutanggapi dengan anggukan. Jelas Pinkan dan Melda langsung tersedak kaget. Pernikahanku belum seumur jagung tapi aku sudah punya rencana seperti itu.
"Heh, ngomong yang benar kamu, Mir!" protes Pinkan sembari menepuk tanganku. Tak suka kalau pada akhirnya aku berstatus janda.
"Kamu juga gitu, Mir. Banyak tanda kalau Akbar gak baik buat kamu, masih saja kamu trabas."
"Emang Akbar kenapa?" tanya Pinkan yang tak begitu mengenal suamiku. Ya hanya sekedar tahu saja, tidak seperti Melda yang tahu karakter buruk Akbar, saat masa kuliah dulu.
"Patriaki banget menurutku, Mbak. Narsis juga." Aku hanya diam mendengar penilaian Melda sekali lagi.
"Kok kamu tahu?" tanya Pinkan.
Melda menceritakan tabiat Akbar semasa pacaran denganku saat masih kuliah dulu. Kalau tengkar begitu, pasti aku disuruh tidak masuk kuliah. Belum lagi, kalau aku gak mau kencan, karena banyak tugas pasti Akbar marah, bahkan pernah merobek diktatku sampai aku pinjam pada Melda untuk ku copy ulang. Melda semakin serius saat bahas uang beasiswaku, Pinkan sampai tak meneruskan makannya sangat serius mendengar penjelasan Melda.
"Lah terlihat begitu kenapa kamu mau nikah sama dia, Mir?" sebuah pertanyaan yang tak bisa kujawab dengan lugas, karena aku merasa sudah terbiasa dengan sikap Akbar dan berharap berubah setelah menikah. "Menikah bukanlah ajang untuk merubah karakter seseorang, Mir. Apalagi kamu cewek, yang biasa disuruh nurut apa kata suami. Karakter itu gak bisa diubah, karena itu sudah melekat dalam diri. Mungkin berkurang iya, tapi kalau sudah bibit narsis, patriaki, bahkan mokondo begitu ya ngapain kamu lanjutkan," ujar Pinkan sampai terlihat jijik.
"Noh, dengar!"
"Kenapa kamu gak konsultasi sama kita sih, Mir!" pada akhirnya Mbak Pinkan ikut kesal padaku.
"Sudah konsultasi sama aku dan kedua orang tuanya gak setuju, Mbak. Cuma dia aja yang kecintaan, berasa paling bisa merubah Akbar. Ujung-ujungnya dia yang susah," aku menabok lengan Melda yang begitu benci pada sikapku yang terlalu menye-menye pada Akbar.
Pinkan menggelengkan kepala, "Dengar ya, Mir. Bahagianya perempuan itu dilihat dari perlakuan suaminya. Kalau saat pacaran kamu sudah sering mengalah begitu, terus kamu berharap dia memahami kamu dan mau minta maaf setelah menikah, ya gak mungkin banget, Mir! Astaghfirullah." Sepertinya Mbak Pinkan gemas juga dengan aku yang mau saja diinjak oleh egonya si Akbar.
"Sekarang doi menyesal menikah sama Akbar," ucap Melda ketus.
"Benar, Mir?" tanya Pinkan memastikan, dan aku mengangguk. Pinkan pun menghela nafas pelan.
"Menyesal banget, Mbak. Sampai sekarang aku belum pernah dikasih uang bulanan, omongannya juga gak enak didengar, seenaknya sendiri. Apa yang terjadi sekarang pada hubungan kita karena aku yang tidak sabar," ucapku menahan tangis. Pinkan mengelus lenganku, tanda empati. Sedangkan Melda hanya berdecak sebal, mungkin dirinya tak tega denganku yang sudah hilang perawan tapi tak dianggap istri dengan layak.
"Berdoa dulu saja, Mir. Mengetuk langit, biar Akbar bisa care sama kamu. Kalau boleh tahu, kenapa kamu gak putus sama dia, aku yakin sebenarnya kamu udah muak dengan dia sih."
Aku mengangguk. "Saat itu aku hanya menggertak Akbar, kita sudah pacaran 5 tahun kok gak ada pembahasan ke pernikahan, sebagai perempuan juga gak enak dong, digandeng doang tanpa ada kepastian. Aku bilang, kamu mau nikahin aku atau kita putus. Aku tahu Mas Akbar paling tidak suka dikasih pilihan, siapa aku yang bisa menekan dia. Yah, aku pikir dia akan memilih putus, karena pasti dia gak mau menika muda. Tapi ternyata tidak, dia mau menikahiku. Ya udah, terus kalau aku mundur, jelas aku yang dimarahi abis-abisan sama dia."
"Parah sih, toxic banget sepertinya hubungan kalian. Masalahnya gini ya, Mir. Menurut pengalaman gue menikah sama almarhum, sejak awal kita komit menikah, maka yang pertama kita tekankan dalam diri kita adalah saling menghargai sebagai pasangan. Kalau kita salah ya harus minta maaf, kalau kita butuh bantuan ya kita minta tolong, kalau kita ada masalah kita diskusikan, begitu."
'Ya itu pasangan normal, Mbak. Si Akbar enggak," sengak Melda yang sudah muak dengan tabiat suamiku itu.
"Mas Akbar gak mau diskusi, kalau dia punya keinginan harus dituruti, aku gak perlu memberi saran atau larangan. Kalau aku ingin sesuatu ya harus pakai uangku sendiri."
"Sinting suami kamu, Mir. Gak layak dianggap suami, dan kamunya juga terlalu menye-menye."
"Betul banget. Sekali-kali jadi perempuan nekad, lawan dia. Kalau dia teriak, teriak balik, jangan sampai terlihat lemah!" ujar Melda mengomporiku, dan sepertinya akan aku lakukan saran Melda tersebut.
up teros sampe pagi