Fandi Dirgantara dikenal sebagai pewaris muda triliunan rupiah — CEO muda yang selalu tampil tenang dan elegan di hadapan dunia bisnis. Namun, di balik senyum dinginnya, tersimpan amarah masa lalu yang tak pernah padam. Ketika malam tiba, Fandi menjelma menjadi sosok misterius yang diburu dunia bawah tanah: “Specter”, pemburu mafia yang menebar ketakutan di setiap langkahnya. Ia tidak sendiri — dua sahabatnya, Kei, seorang ahli teknologi yang santai tapi tajam, dan Alfin, mantan anggota pasukan khusus yang dingin dan loyal, selalu berada di sisinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EPI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pemakaman
Rekaman CCTV dari lokasi pembunuhan mulai diputar.
Gambar bergetar, buram karena hujan dan kabut malam. Beberapa siluet pria bersenjata tampak di layar, berlari menyeberang jalan dengan cepat — sekitar sepuluh orang, berbaris kacau seperti sedang mengejar seseorang.
“Gak kelihatan jelas,” gumam Alfin sambil menyipitkan mata.
“Hanya siluet. Tapi jelas mereka lagi ngejar target,” tambah Kei.
Beberapa jam kemudian, Fandi tiba di kediaman pemerintah tempat upacara penghormatan untuk mendiang Pak Hans berlangsung. Suasana ramai, mobil-mobil mewah berjejer di depan halaman.
“Selamat siang, Tuan Muda Fandi,” sapa Hengki, putra almarhum.
“Selamat siang, Pak Hengki,” balas Fandi sembari menjabat tangannya dengan sopan.
Tak lama, seorang pria paruh baya menghampiri mereka. Gerak-geriknya tenang, namun tatapannya penuh perhitungan.
“Selamat siang, Tuan Muda Fandi,” ucapnya ramah, kemudian menoleh ke Hengki. “Tuan Hengki, saya turut berduka atas kepergian ayah Anda.”
Fandi mengangguk singkat, tapi pandangannya tetap menelusuri wajah pria itu. Ada sesuatu yang terasa ganjil—gerak halus di ujung mata pria itu seperti menyimpan gugup yang berusaha disembunyikan.
Dalam hati, pria itu mengumpat pelan. Tatapan itu… sama seperti Atha. Dingin, menembus. Jangan-jangan dia tahu sesuatu.
“Selamat siang, Tuan Mahawira,” sapa seseorang dari belakang.
Mahawira menoleh cepat. “Tuan Suryo,” balasnya dengan senyum datar, kemudian berbisik pelan, “Kau datang juga?”
Suryo menatapnya santai. “Aku hanya ingin memastikan. Jadi benar… kau yang melakukannya?”
Mahawira menahan napas sejenak, lalu tersenyum tipis. “Tentu. Dia tahu terlalu banyak. Bahkan sempat masuk rumah sakit milikku—terekam CCTV. Aku tidak punya pilihan selain menyingkirkannya.”
Suryo mengangguk pendek. “Bagus. Mari kita masuk. Jangan sampai ada yang memperhatikan.”
Keduanya berjalan pelan melewati Fandi. Tatapan pria muda itu mengikuti langkah mereka tanpa ekspresi, membuat Mahawira sedikit gelisah.
“Lihat anak itu,” bisik Mahawira. “Tatapannya membuatku tak nyaman. Ia benar-benar mirip Atha.”
“Jangan menatapnya balik,” jawab Suryo datar. “Dia keturunan Atha Dirgantara. Dulu, siapa pun yang mencoba menantang Atha… tak pernah bertahan lama.”
Mahawira melirik tajam. “Kau tahu sejarah itu, tapi tetap membiarkan Vincent bertindak bodoh menyerangnya?”
Suryo mendesah kecil. “Aku baru tahu belakangan. Kalau darah itu benar menurun padanya, berarti kita sedang bermain api.”
Wajah Mahawira menegang. “Kemarin Vincent mengirim pasukan untuk membunuhnya. Tapi lihatlah, dia berdiri di sini—hidup. Menurutmu, apa yang terjadi pada anak buah Vincent?”
Suryo terdiam beberapa detik. “Kalau begitu, mereka gagal. Tapi… bagaimana mungkin dia bisa setenang itu?”
Mahawira menepuk bahu Suryo dengan kesal. “Justru orang yang tenang seperti itu yang paling berbahaya. Ayo pergi sebelum dia mencurigai kita.”
Mereka berdua bergegas meninggalkan tempat itu, sementara Fandi masih memandang ke arah mereka hingga bayangan keduanya lenyap di balik kerumunan.
Sementara itu, di rumah Fandi, Epi terbangun dengan tubuh yang masih lemah. Ia mencoba berdiri, memegang sisi meja untuk menjaga keseimbangan.
“Di mana ponselku…” gumamnya pelan. Ia berjalan ke arah pintu, tapi gagangnya tak bisa digerakkan.
“Terkunci?” desahnya. Ia menghela napas, kembali ke ranjang dengan wajah cemas.
Di sisi lain Di kontrakan kecil yang ditempati Rora dan Rami, suasana terasa tegang dan gelisah.
Rora duduk di lantai dengan rambut berantakan, matanya terus menatap layar ponsel yang gelap.
“Ram, udah dua belas jam, HP-nya Epi masih nggak aktif. Terakhir online jam sepuluh malam,” katanya pelan, tapi suaranya bergetar.
Rami, yang sejak tadi mondar-mandir di depan jendela, menghentikan langkahnya. “Dia sempat kirim pesan ke kamu, kan? Voice note itu.”
Rora mengangguk cepat. “Iya. Aku udah denger berkali-kali, dan… suaranya parah banget, Ram. Dia kayak lari, terus ada suara tembakan. Dua kali. Setelah itu… senyap.”
Rami menelan ludah, rahangnya menegang. “Kau yakin itu suara tembakan?”
“Yakin banget. Aku denger jelas. Dia sempat bilang ‘aku di Jalan H, aku liat mereka bunuh dua orang lelaki tua’, terus—dor! dor!—habis itu putus.”
Rora menunduk, menggenggam ponsel erat-erat, matanya mulai berkaca-kaca. “Kalau dia ketembak gimana, Ram? Kita harus ngelapor polisi.”
Rami menatapnya tajam. “Dan bilang apa? Bahwa temen kita dikejar orang nggak dikenal karena liat pembunuhan? Tanpa bukti, Ror, kita malah disangka ngawur.”
Rora mengusap wajahnya kasar. “Tapi diem juga nggak akan bantu dia!”
Suasana mendadak hening.
Kembali kediaman Setelah upacara selesai, Fandi bersama Kei dan Alfin kembali ke mobil.
Kei membuka percakapan terlebih dahulu. “Kalian ngerasa nggak, ada yang aneh sama Mahawira dan Suryo?”
Alfin mengangguk. “Iya. Mereka kelihatan terlalu hati-hati. Aku yakin mereka tahu sesuatu.”
Fandi masih menatap lurus ke depan. “Pelakunya Mahawira.”
Kei menatap Fandi serius. “Kau yakin?”
“Yakin,” jawab Fandi datar. “Alfin, kau sudah suruh Arviano ambil data CCTV?”
“Sudah. Dia baru kirim hasilnya. Mau lihat di mobil atau di kantor?”
“Ke kantor saja,” sahut Fandi tanpa menoleh.
Di Dirgantara Group, mereka naik lift menuju lantai paling atas. Begitu sampai, Alfin segera menyalakan laptop dan membuka file rekaman.
Dua menit kemudian, ia berbalik menatap Fandi. “Kau benar. Mahawira orangnya.”
Fandi menatap layar tanpa ekspresi.
Kei menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Kenapa dia bunuh Pak Hans?”
“Mungkin bentrok kepentingan. Atau… Pak Hans tahu sesuatu yang seharusnya tidak ia ketahui,” jawab Alfin pelan.
Fandi menatap layar lebih lama. “Gadis itu, apakah terekam?”
“Tidak. Lokasinya di seberang jalan, terlalu gelap. Mungkin dia melihat kejadian itu, tapi tidak melihat wajah pelaku.”
Fandi terdiam. Matanya menatap kosong pada layar,