"Tolong mas, jelaskan padaku tentang apa yang kamu lakukan tadi pada Sophi!" Renata berdiri menatap Fauzan dengan sorot dingin dan menuntut. Dadanya bergemuruh ngilu, saat sekelebat bayangan suaminya yang tengah memeluk Sophi dari belakang dengan mesra kembali menari-nari di kepalanya.
"Baiklah kalau tidak mau bicara, biar aku saja yang mencari tahu dengan caraku sendiri!" Seru Renata dengan sorot mata dingin. Keterdiaman Fauzan adalah sebuah jawaban, kalau antara suaminya dengan Sophia ada sesuatu yang telah terjadi tanpa sepengetahuannya.
Apa yang telah terjadi antara Fauzan dan Sophia?
Ikuti kisahnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝐈𝐩𝐞𝐫'𝐒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 7
Tiga hari telah berlalu dari kepergian almarhum Fajar, Renata begitu bersemangat menyambut hari ini, ia berencana hendak belanja ke pasar sebelum berangkat kerja bahkan sudah meminta bertukar shift.
Tepat pukul lima pagi Ranata keluar dari rumahnya dengan mengenakan piyama yang dilapisi kardigan dan jilbab instan yang menutupi kepalanya. Meskipun jarak rumah ke pasar tidak jauh, tapi ia memilih menggunakan sepeda motornya untuk mempersingkat waktu perjalanan. Sebab harus masuk kerja pada pukul tujuh.
Kepulangan Fauzan nanti malam, akan dimanfaatkannya untuk berbicara dari hati ke hati ia akan mengutarakan keinginannya perihal bagaimana rencana kedepannya tentang momongan, ia akan berusaha meyakinkan Fauzan tentang kasih sayangnya pada si kembar meskipun nanti sudah memiliki anak sendiri.
.
.
.
"Hai Re... Pagiii"
"Pagi juga"
"Selamat pagi Rena! kamu masuk pagi, jadinya tukeran sama siapa?"
"Sama Nurul, kebetulan dia hari ini mau nemenin ibunya ada acara."
"Oke, semangat! duluan ya..."
Seperti itulah obrolan Renata saat baru datang dengan temannya yang hendak pulang, mereka sudah seperti keluarga yang saling memberikan semangat.
Renata duduk setelah meletakkan tas nya, ia mulai membuka beberapa berkas pasien dan mulai mencatat datanya untuk laporan bulan ini, sambil menunggu jam praktek poli kebidanan yang akan dibuka sekitar lima belas menit lagi. Namun saat ia tengah fokus pada berkas data pasien, getar ponselnya yang ada didalam tas mengalihkan fokusnya.
Renata menatap jam tangannya sekilas lalu dengan cepat menggeser ikon hijau dilayar ponselnya saat mengetahui sang ibu yang menghubungi.
"Assalamualaikum, selamat pagi bu! ibu dan bapak apa kabarnya hari ini?" Ucapnya membuka percakapan dengan menanyakan kabar sang ibu dan bapaknya yang berada di kampung halamannya, Solo.
Waalaikumsalam, Alhamdulillah baik nak. Kamu sendiri dan suamimu gimana kabarnya?
"Alhamdulillah kalau fisik sangat baik Bu, meski enggak dipungkiri kami masih berduka. Ada apa ibu tumben pagi-pagi sekali sudah nelepon?" Tanya Renata tak bisa menutupi rasa penasarannya, sebab biasanya sang ibu kalau mau nelepon pasti mengiriminya pesan terlebih dulu menanyakan jam kerjanya.
"Emmm, itu. Insya Allah hari Jum'at menjelang tujuh hariannya nak Fajar ibu sama bapak akan takziah ke Bandung sekalian silaturahmi sudah lama kami enggak bertemu."
"Serius Bu? jadi enggak sabar pengen cepet-cepet hari Jum'at Rena kangen banget sama ibu!" Seru Renata antusias.
"Iya nak, ibu juga sama kangen sekali baik-baik ya disana. Ibu gak bisa lama-lama ngobrolnya bapak sudah mau berangkat. Sampai ketemu hari Jum'at Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam" Renata mendekap ponselnya di dada, bahagia membuncah di dadanya saat mengetahui kedua orangtuanya Jum'at depan akan datang ke Bandung yang pastinya mereka akan segera bersua setelah sekian bulan tidak bertemu.
"Bu Rena. Ada pasien darurat ibu hamil yang pendarahan, ayo!"
Tanpa banyak bertanya Renata langsung memasukkan kembali ponsel yang sudah ia silent ke dalam tas. Kemudian berdiri, dengan langkah tergesa ia meninggalkan ruangannya menuju ruang bersalin.
Meskipun Renata termasuk bidan muda di usianya yang baru dua puluh tujuh tahun, namun prestasi dan pengalamannya tidak bisa dianggap remeh. Sebab ia pernah bertugas menjadi bidan desa di pelosok daerah yang jauh dari kota. Menangani banyak pasien ibu-ibu melahirkan dengan berbagai kendala, kondisi fisik, serta segala keterbatasan di pelosok. Ia sukses dan berhasil membuat daerah itu lebih maju dengan terus menerus memberi edukasi pada masyarakat awam bagaimana pentingnya kesehatan dan parenting, yang sering dianggap sepele oleh kebanyakan masyarakat yang tinggal di pelosok.
"Ibu, mulai merasakan kontraksi dari jam berapa?" Renata menatap lembut perempuan berusia tiga puluhan yang tengah berbaring di hadapannya. Tangannya tak henti mengusap perut yang terlihat mengencang, untuk memberikan rasa nyaman di tengah rasa sakitnya yang entah seperti apa. Karena ia sendiripun belum pernah merasakannya.
"Dari tengah malam Bu bidan." Jawab seorang laki-laki yang setia berdiri di samping ibu hamil tersebut, yang di duga suaminya.
"Tengah malam!" Renata membeo, dengan mata yang sedikit membulat. Tak lama kemudian Renata langsung menoleh kearah jam dengan bibir yang bergerak seolah tengah menghitung sesuatu. "Ya ampun, ini sudah tujuh jam tapi masih pembukaan empat!" Ucap Renata, kemudian ia memanggil perawat. "Sus, dokter Rima sudah datang belum?"
"Sebentar Bu, saya lihat dulu!" Sahut sang perawat lalu keluar meninggalkan ruang bersalin.
Tak sampai lima menit si perawat kembali masuk sambil memegang ponselnya yang sudah terhubung dengan dokter kandungan. "Bu, dokternya masih di jalan. Ini beliau mau bicara sama bu Rena." Ucapnya sembari menyodorkan ponsel pada Renata.
"Iya dok, ini ada pasien baru sampai..." Ucap Renata langsung menjelaskan tentang kondisi sang pasien.
[....]
"Oke, dok. Terimakasih banyak, kami tunggu!" Renata memberikan kembali ponselnya pada si perawat, lalu ia kembali menghampiri ranjang pasien dan memeriksa perkembangannya berharap ada kemajuan.
.
.
Sore hari sesampainya di rumah Renata mengabaikan rasa lelahnya ia langsung melaksanakan kewajibannya, tak sampai sepuluh menit perempuan kelahiran Semarang dua puluh tujuh tahun silam itu langsung menuruni undakan tangga.
Rasa letih ia hempaskan demi menyambut sang suami yang yang siang tadi mengabarkan akan berangkat dari Bandung sekitar pukul lima sore selepas acara tahlilan yang di gelar setelah Ashar.
Jam lima dari Bandung, berarti telat-telatnya jam tujuh sudah sampai di sini. Syukurlah masih ada waktu istirahat dan bersih-bersih setelah masak.
Setelah satu jam lebih berkutat di depan kompor, Renata bernapas lega. Beres juga Alhamdulillah Gumamnya dengan senyum penuh kepuasan. Rawon dan capcay seafood andalannya sudah selesai dimasak, nanti tinggal dihidangkan.
Setelah memastikan kompor mati dan perabotannya bersih. Renata meninggalkan dapur hendak membersihkan diri dan bersiap sholat. Tapi sebelum memasuki kamar mandi ia kembali mengecek ponsel dan masih belum ada kabar apa tidur? Batinnya seraya meletakkan benda pintarnya di atas meja rias.
.
.
.
Detik berlalu terasa melambat. Renata yang tengah duduk di sofa depan tv menatap kearah jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh, kemudian ia beralih menatap kearah pintu. Namun sama sekali belum ada tanda-tanda kepulangan Fauzan.
Sambil melangkah ia mencoba menghubungi Fauzan, namun hingga dering ketiga. Panggilannya tak kunjung di jawab oleh suaminya, tenang Rena! mas Zan paling kesusahan mau ngambil ponselnya, atau bisa saja dia sudah di depan rumah dan baru turun dari mobil.
Gumamnya terus menenangkan diri, meski sebenarnya hatinya sudah dilanda gelisah. Karena sedari siang tadi Fauzan tak ada menghubunginya lagi, bahkan panggilan dan pesan yang ia kirim pun diabaikannya.
Ditengah hati yang kian gelisah, ia duduk dengan menopangkan kedua tangannya di atas meja makan, netranya menatap lekat pada ponsel yang sedari tadi tak pernah jauh dari jangkauannya. Berulang kali ia menghembuskan napas, menunggu dalam kesunyian hanya ditemani detak jarum jam yang terus berputar adalah hal yang paling memuakkan, terlebih tanpa ada kabar yang bisa meredam kekhawatiran dan gelisah dalam dirinya.
Tak ingin gila sendiri dalam kekhawatiran, Renata kembali meraih ponsel. Ia berniat menghubungi mertuanya untuk menanyakan tentang keberangkatan Fauzan dari Bandung. Jemarinya bergerak mencari nama sang mertua di daftar kontaknya, tak lama kemudian ia langsung menekan tombol panggil pada nomor ibu mertuanya.
Tak butuh waktu lama, panggilannya langsung terhubung. Renata menelan ludah untuk membasahi kerongkongannya yang terasa kering, kemudian ia membuka suara dengan hati-hati. "Assalamualaikum. Bu, maaf mengganggu waktunya..."
Waalaikumsalam, iya Re. Ada apa?
"Maaf bu mau nanya, kalau mas Zan tadi berangkatnya dari Bandung jam berapa? tadi siang sekitar tengah hari, beliau bilang mau berangkat jam lima tapi sampai sekarang belum ada juga. Di telepon juga enggak diangkat." Tutur Renata yang entah kenapa jantungnya tiba-tiba berdebar menunggu jawaban Kartika.
"Oh, tunggu sebentar."
"Iya bu" sahut Renata lirih, entah kenapa perasaannya semakin tidak karuan.
Zaann... Istrimu nelepon! emang hape kamu ditaruh mana? Rena katanya dari tadi nelepon kamu.
Deg.
Jadi! mas Zan enggak jadi pulang? gumamnya lirih, matanya menatap nanar makanan yang dimasaknya beberapa waktu yang lalu.
"Halo sayang! maaf mas enggak jadi pulang hari ini si kembar malah demam dari jam dua tadi, mas enggak tega ninggalin mereka. Disini laki-laki hanya ada bapak karena pak Wira enggak jadi datang. Maaf mas belum sempat ngabarin, barusan ada tamu dari perusahaan tempat Fajar bekerja. Kamu enggak apa-apa kan?"
Suara Fauzan di seberang sana yang berbicara panjang lebar membuyarkan lamunan Renata, perempuan itu hanya tersenyum kecut. Berbagai rencana yang telah di susunnya kini hanya angan belaka, bagi Fauzan saat ini tak ada hal yang lebih penting dari si kembar.
"Halo Re, kamu dengar mas kan?"
"Iya mas, dengar." Sahutnya pendek, suaranya tercekat di tenggorokan.
"Bener kamu enggak apa-apa? mas minta maaf ya, mas disini juga bukan main atau hura-hura. Mas cuma berusaha menjadi seseorang yang bertanggung jawab dan menepati janji untuk menjaga si kembar."
Ucap Fauzan berusaha menjelaskan, berharap sang istri bisa memahami dirinya.
Sedangkan Renata sama sekali tidak menyahut, ia hanya tersenyum getir merutuki angannya yang terlalu tinggi. Padahal ia sudah tahu suaminya itu tidak bakalan bisa menolak permintaan ibunya tentang si kembar Azka dan Azkia.
"Ya sudah mas, aku nelepon hanya ingin menanyakan mas saja. Sedari tadi khawatir takut terjadi apa-apa dijalan karena setahuku mas pulang sore ini. Assalamualaikum."
Tanpa menunggu jawaban dari Fauzan, Renata langsung mematikan sambungan teleponnya. Kecewa dan khawatir yang sedari tadi mencokol dihatinya, kini pecah menjadi tangis.
Kamu aja yg di telpon gak mau ngangkat 😏😏😏
baru juga segitu langsung protes 😏😏
Rena selalu bilang gak apa apa padahal dia lagi mendem rasa sakit juga kecewa tinggal menunggu bom waktunya meledak aja untuk mengeluarkan segala unek unek di hati rena😭
scene nya embun dan mentari juga sama
bikin mewek 😭
jangan bikin kecewa Napa ahhhhh😭😭
aku sakit tau bacanya
padahal bukan aku yang menjalani kehidupan rumah tangga itu😭😭😭
suka watir aku kalauu kamu udah pulang ke bandung 😌😌