Di bawah pesona abadi Kota Roma, tersembunyi dunia bawah yang dipimpin oleh Azey Denizer, seorang maestro mafia yang kejam dan tak tersentuh. Hidupnya adalah sebuah simfoni yang terdiri dari darah, kekuasaan, dan pengkhianatan.
Sampai suatu hari, langitnya disinari oleh Kim Taeri—seorang gadis pertukaran pelajar asal Korea yang kepolosannya menyilaukan bagaikan matahari. Bagi Azey, Taeri bukan sekadar wanita. Dia adalah sebuah mahakarya yang lugu, sebuah obsesi yang harus dimiliki, dijaga, dan dirantai selamanya dalam pelukannya.
Namun, cinta Azey bukanlah kisah dongeng. Itu adalah labirin gelap yang penuh dengan manipulasi, permainan psikologis, dan bahaya mematikan. Saat musuh-musuh bebuyutannya dari dunia bawah tanah dan masa kelam keluarganya sendiri mulai memburu Taeri, Azey harus memilih: apakah dia akan melepaskan mataharinya untuk menyelamatkannya, atau justru menguncinya lebih dalam dalam sangkar emasnya, meski itu akan menghancurkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Veronica, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebening Embun di Bara
Di kamar mansion yang luas, cahaya lampu temaram menari di dinding, menciptakan bayangan yang mencekam. Taeri duduk gelisah, mendekap bantal erat-erat. Gaun putih mini pemberian Orellana sore itu terasa seperti jerat yang mengikatnya. Jari-jarinya gemetar menggulir layar ponsel, mencari secercah harapan terkait informasi perusahaan keluarganya. Matanya membulat, napasnya tercekat.
"Dia... secepat ini?" bisiknya lirih. "Perusahaan Daddy lolos dari tuntutan... tapi bagaimana bisa?" Jantungnya berdebar saat membaca baris berikutnya. "Paman Minsook... dikorbankan? Tidak mungkin..."
Saat Taeri masih terpaku pada layar, pintu berderit pelan, memecah keheningan. Azey berdiri di ambang pintu, siluetnya tampak gelap dan mengancam. Senyum sinis terukir di bibirnya saat ia melangkah masuk, menatap Taeri tajam.
"Belum tidur, kelinci kecil?" Suara Azey rendah dan berat, setiap kata mengandung ancaman. "Atau sengaja menungguku, hmm?" Ia memancing, ingin melihat ketakutan di mata Taeri, meruntuhkan keberaniannya.
Taeri berdiri, tubuhnya gemetar namun matanya memancarkan kemarahan. "Mengapa mengorbankan orang tak bersalah?" Suaranya bergetar, namun penuh tekad. "Kau tidak punya hati? Menjerat orang yang tidak tahu apa-apa dalam rencana busukmu?"
Azey tertawa dingin, tidak terpengaruh amarah Taeri. Dengan tiba-tiba, ia mengangkat Taeri ke pundaknya, seperti karung beras. Taeri menjerit, meronta, memukuli punggung Azey sekuat tenaga.
"Lepaskan aku, bajingan gila! Beraninya kau?! Lepaskan aku, sialan!" Setiap kata adalah luapan kemarahan dan ketakutan.
Namun, cengkeraman Azey terlalu kuat. Ia membawa Taeri ke ranjang dan menghempaskannya. Taeri meringkuk, tubuhnya bergetar hebat. Matanya membelalak melihat Azey membuka kemejanya, memperlihatkan dada bidang yang mengintimidasi.
"A...apa yang akan kau lakukan?" bisik Taeri, air mata mengalir di pipinya. "Saya mohon... jangan sentuh saya. Kau bilang aku aman di sini... kau berjanji..." Suaranya pecah, dipenuhi ketakutan.
Azey menatapnya dengan tatapan gelap dan lapar, seolah menelanjangi Taeri. Ia menindih Taeri, menahan kedua tangannya di atas kepala. Bibirnya menerkam bibir Taeri, melumatnya kasar dan tanpa ampun. Tangannya merayap di tubuh Taeri, meremas dadanya, lalu turun ke perutnya dan menyusup ke bawah gaunnya, mencari sentuhan terlarang di balik kain renda tipis.
Saat Azey melepaskan bibirnya, Taeri terisak, air mata membasahi wajahnya. Tatapannya kosong, dipenuhi trauma dan ketakutan yang tak terlukiskan.
"Brengsek... kau benar-benar iblis tak berperasaan! Kau menjijikkan! Semoga suatu hari nanti kau merasakan pembalasan yang jauh lebih mengerikan dari semua yang kau lakukan padaku!" Taeri meludahkan kata-kata itu dengan jijik yang mendalam. Setiap sentuhan Azey membuatnya merasa ternoda, seolah jiwanya ikut kotor. Pria itu hanya menyeringai dingin, mengusap pipinya dengan sentuhan lembut yang mengejek.
Dengan kasar, Azey menarik diri dan berbaring di sampingnya, menatapnya dengan mata yang merendahkan. "Kau benar-benar menyedihkan. Hilang sudah nafsu ku. Kupikir kau sesuatu yang istimewa, ternyata kau hanya sampah murahan seperti yang berserakan di jalanan Roma." Dia menghela napas panjang, lalu bangkit dengan niat untuk pergi, meninggalkan Taeri yang terpaku dengan penghinaan itu.
Amarah membakar Taeri. Wajahnya memerah padam. Tidak terima disamakan dengan sampah, dia meraih ponsel di samping bantal dan melemparkannya sekuat tenaga ke kepala Azey.
"Bajingan tak tahu malu! Kau baru saja merenggut harga diriku, lalu dengan entengnya menyebutku sampah? Apa kau buta? Kau sendiri lebih hina dari sampah!" teriaknya histeris. Azey, yang terkena lemparan ponsel di belakang kepalanya, hanya menyunggingkan senyum tipis.
Inilah yang kuinginkan, pikirnya. Sifat liar Taeri, keberaniannya yang membara. Dia berbalik dan kembali menghampirinya. Taeri meringsut mundur, ketakutan yang bercampur dengan amarah berkecamuk di dadanya.
"Sayang... kau baru saja memberiku hadiah yang tak ternilai. Aku terlalu cepat menghakimimu. Ternyata kau adalah permata sejati yang bersinar di tempat terkutuk ini," bisiknya serak. Hasratnya untuk memiliki Taeri kembali membuncah, lebih kuat dari sebelumnya. Dia membelai pipinya, lalu dengan tiba-tiba mencekik lehernya dengan lembut, mengirimkan gelombang kejutan ke seluruh tubuh Taeri.
Dengan sekuat tenaga, Taeri menampar wajah Azey. "Singkirkan tangan kotormu dariku, sialan! Apa kau sudah tak laku sehingga harus memaksaku melayani nafsu bejatmu? Menyedihkan sekali!" makinya sengit. Dia meludahi wajah Azey, mengembalikan semua penghinaan yang telah diterimanya.
Azey menyeka ludah Taeri di wajahnya dengan gerakan santai, lalu menjilatnya, seolah itu adalah hadiah kecil yang lezat. Mata Taeri membelalak tak percaya. Dia belum pernah melihat pria sekeji dan segila Azey sepanjang hidupnya.
"Astaga... kau benar-benar gila! Apa yang kau lakukan? Kau sudah kehilangan akal sehatmu!" serunya tak percaya.
"Kenapa, kelinci kecil? Bukankah wajar jika aku mencicipi sedikit dari tubuh yang sebentar lagi akan menjadi milikku sepenuhnya?" bisiknya di telinga Taeri, membuat bulu kuduknya meremang. Dengan satu tarikan kasar, gaun tidur Taeri robek menjadi dua, memperlihatkan tubuhnya yang telanjang. Azey menatapnya dengan mata gelap yang membara, lalu menyudutkannya ke sisi ranjang hingga Taeri memekik ketakutan.
"Berhenti, bajingan! Apa yang akan kau lakukan? Lepaskan aku, bodoh! Jangan sentuh aku, atau kubunuh kau!" geramnya histeris. Dia memukul-mukul pundak Azey yang mencoba meraihnya, namun kewarasannya perlahan menghilang saat merasakan sensasi aneh dan memabukkan di antara kedua pahanya. Dia menggigit bibir bawahnya erat-erat, mencoba menahan desahan yang ingin lolos dari bibirnya. Di tengah perasaan yang membingungkan itu, Taeri dengan sekuat tenaga menggigit dada Azey hingga berdarah. Namun, bukannya melepaskan, Azey justru semakin menggila, menciumi lehernya dengan kasar dan penuh nafsu.
Di malam yang terasa seperti mimpi buruk yang tak berujung, Taeri merasakan jantungnya hancur berkeping-keping. Ia harus menyerahkan diri, tubuhnya, kehormatannya, kepada seorang pria asing yang baru dikenalnya beberapa jam. Setiap sentuhan terasa seperti luka bakar, setiap desahan tertahan adalah jeritan pilu yang tak terucapkan. Bibirnya digigit kuat, bukan untuk menikmati, melainkan untuk membungkam rasa jijik dan putus asa yang menggerogoti jiwanya.
Azey, dengan gerakan yang kasar namun terukur, merenggut setiap inchi dirinya. Ia melumat dadanya, gigitannya—yang seharusnya membangkitkan gairah—justru menambah rasa sakit dan kehilangan. Tatapannya intens, namun kosong dari cinta atau kelembutan.
"Kau memang berbeda, sayang," bisiknya serak, napasnya panas menerpa kulit Taeri yang dingin. "Gadis yang masih utuh. Aku tidak salah memilihmu." Kata-kata itu bagai pisau yang menghujam ulu hatinya. Ia merasa seperti barang, sebuah trofi yang dipamerkan, bukan seorang manusia dengan perasaan dan impian.
Di sisi lain dunia, mentari pagi menyinari Korea dengan hangat, kontras dengan kegelapan yang merundung Taeri. Jongsu duduk di teras rumahnya, menyesap teh bersama Soojin, istrinya. Pemandangan indah dan kehangatan keluarga seharusnya menenangkan, namun bayangan Minsook merusak ketenangan itu.
"Apa kamu benar-benar yakin Minsook yang berkhianat?" tanya Soojin, suaranya lembut namun sarat keraguan. "Dia sudah lama berinvestasi di Kim Grup, bahkan sejak Papa masih memimpin." Ia mengusap lengan Jongsu, mencoba menghibur suaminya.
Jongsu menghela napas, menggenggam tangan Soojin erat. "Awalnya Papa juga tidak percaya, Ma. Tapi pengacara muda itu punya bukti kuat. Minsook terus mendesak Papa untuk turun jabatan, bahkan sebelum masalah ini muncul." Nada bicaranya pahit, mencerminkan pengkhianatan yang mendalam.
"Bagaimana bisa dia tega melakukan ini?" Soojin menggeleng, matanya berkaca-kaca. "Kita selalu memperlakukan investor dan karyawan dengan baik. Mama tidak habis pikir, kenapa orang yang kita percaya justru menusuk dari belakang." Tanpa mereka sadari, pengorbanan Taeri, putri mereka, adalah harga yang harus dibayar untuk menyelamatkan Kim Grup dari kehancuran.
Fajar merayap masuk ke kamar di Roma, menyoroti tubuh Taeri yang terbaring dalam pelukan Azey. Setiap inci kulitnya terasa perih, memar-memar menjadi saksi bisu malam yang merenggut paksa dirinya. Ia membuka mata, dan seketika, realita pahit menghantamnya. Air mata langsung menggenang, wajah Azey adalah pengingat kejam atas apa yang telah terjadi. Dalam gerakan panik, ia meraih gelas di nakas dan membantingnya ke lantai. Suara pecahan kaca yang memekakkan telinga bergema, memecah kesunyian pagi. Azey tetap memejamkan mata, berpura-pura tidur, menunggu dan mengamati.
Taeri naik ke atas tubuh Azey, pecahan kaca tajam terangkat tinggi di tangannya. Jantungnya berdebar kencang, antara amarah dan ketakutan. Ia membayangkan darah mengalir, membalaskan dendam atas kehormatannya yang direnggut. Namun, saat ujung pecahan itu menyentuh leher Azey, ia membeku.
"Tidak... jangan jadi monster, Taeri," bisiknya pada dirinya sendiri, suaranya bergetar hebat. "Kau bukan pembunuh. Kendalikan dirimu, jangan biarkan dia menghancurkanmu."
Dengan tangan gemetar, ia melempar pecahan gelas itu ke bawah ranjang. Ia mengusap wajahnya kasar, berusaha meredam gejolak emosi yang mengamuk di dalam dirinya. Azey membuka matanya perlahan, tatapannya dingin dan tanpa ekspresi. Ia mengusap perut Taeri pelan, sentuhan yang membuatnya tersentak dan merasa jijik.
"Kenapa tidak kau lakukan, kelinci kecil?" tanya Azey datar, suaranya tanpa nada. "Kau sangat membenciku, bukan? Kenapa tidak kau bunuh saja aku dan pergi dari sini?" Tangannya naik, menyentuh pipi Taeri yang basah oleh air mata, sentuhan yang terasa seperti hinaan.
"Hiks... aku tidak sepertimu, bajingan," isaknya tertahan, dadanya sesak oleh kesedihan dan kemarahan. "Aku bukan orang yang bisa hidup dengan tenang setelah membunuh orang lain. Aku masih punya hati nurani, tidak seperti dirimu." Kata-kata itu menusuk Azey, entah kenapa membuatnya tidak nyaman. Ia lebih suka melihat Taeri yang berani dan penuh amarah daripada gadis rapuh yang menangis di hadapannya.
"Justru itu yang membuatmu berbeda, Taeri," ucap Azey, suaranya melembut. "Itu sebabnya kau ada di sini, di ranjang ini. Karena hanya kau yang pantas menjadi permata di istana yang dibangun di atas darah dan penderitaan." Ia mengusap air mata di pipi Taeri, gerakannya lembut namun terasa mengancam. Taeri tidak beranjak dari atas tubuh Azey, ia memejamkan mata, mencoba mencerna setiap kata yang diucapkannya. Perasaan campur aduk berkecamuk di dalam dirinya: benci, takut, bingung, dan yang paling menakutkan, sedikit rasa ingin tahu.
Melihat Taeri yang membisu di atasnya, Azey mengangkat tubuhnya sedikit, lalu menggendong gadis itu menuju kamar mandi. Taeri tak lagi meronta, ia hanya memejamkan mata, pasrah ketika tubuhnya direndam dalam bathtub.
Azey memilih mandi terpisah di bawah pancuran, sementara Taeri, dengan wajah merona, mencuri pandang pada tubuh telanjang Azey yang basah oleh air. Ia berusaha menenangkan diri, menggosok tubuhnya sendiri dengan kasar.
Usai mandi dan sarapan dalam diam, Azey pergi begitu saja, meninggalkan Taeri seorang diri di meja makan.
“Sialan, setelah semua yang dia lakukan padaku, dia pergi tanpa satu kata maaf atau penyesalan? Semoga truk menabraknya di jalan,” gerutunya penuh amarah, menggigit daging dengan keras.
Orela hanya tersenyum tipis, memahami apa yang menimpa nona mudanya semalam.
“Nona, jangan memulai hari dengan kemarahan. Bagaimana jika kita ke taman saja?” tawar Orela hati-hati sambil membersihkan meja bersama beberapa pelayan lain.
Mata Taeri sedikit berbinar.
“Ide bagus, aku sudah sesak napas seharian di dalam rumah ini. Aku ingin sekali menghirup udara segar. Kalau di sini, aku hanya akan terus memikirkan pria psikopat itu,” jawabnya dengan nada jengkel.
Mendapat persetujuan dari nona mudanya, Orela segera membawanya ke taman. Di sana, Taeri duduk lesu di kursi rotan gazebo, menatap taman yang dipenuhi patung dengan ekspresi tak percaya.
“Taman macam apa ini, tidak ada satu pun bunga,” serunya kecewa. “Bibi, ini yang Bibi sebut taman? Ini lebih mirip kuburan, sepi dan menyeramkan dengan patung-patung aneh ini.”
Taman yang ada di benak Taeri jauh berbeda dari kenyataan di hadapannya. Orela tersenyum lembut.
“Nona pasti terkejut karena temanya tidak sesuai harapan, ya?” ucapnya dengan nada penuh pengertian. “Tapi begitulah Tuan, beliau bukan tipe orang yang akan menghiasi tempat tinggalnya dengan bunga. Kehidupan beliau sejak dulu jauh dari keindahan.”
Orela membayangkan masa kecil Azey yang penuh penderitaan, sementara Taeri terdiam, mencoba mencerna perkataan bibinya.
“Memangnya kenapa, Bi? Bukankah wajar kalau pria psikopat seperti dia tidak menyukai keindahan?” tanya Taeri dengan nada ragu.
Orela mengerti bahwa Taeri membenci Azey, tetapi ia merasa perlu memberikan penjelasan.
“Begini, Nona,” ucapnya sambil menatap Taeri dengan serius, “Tuan tidak memiliki kehidupan seperti orang biasa. Beliau sudah menderita sejak kecil. Saat berusia delapan tahun, ayah Tuan dibunuh oleh kelompok mafia lain, dan sejak saat itu beliau harus berjuang menjadi penerus dengan menanggung trauma dan darah.”
Nada Orela terdengar sendu, mengenang masa kecil Azey yang begitu pahit.
Taeri duduk terpekur, menyerap setiap kata Orela tentang masa lalu Azey. Ia menangkap beban di pundaknya, luka yang tersembunyi di balik topeng dinginnya, keputusan-keputusan yang terlanjur salah, dan kerapuhan yang begitu rapat ia sembunyikan dari dunia.
Namun, pemahaman itu sama sekali tak meredakan kebencian yang mengakar lebih dalam. Taeri tahu, tanpa keraguan sedikit pun, bahwa amarah dan sakit hatinya tak bisa diobati dengan sekadar penjelasan. Azey telah merenggut kehormatannya, melanggar batas yang tak seharusnya disentuh oleh siapa pun. Kepahitan itu terasa menusuk hingga ke sumsum tulang, membara tanpa ampun, menolak untuk padam.
"Aku mengerti," ucapnya dengan suara setenang es, namun setegas baja, "tapi itu tidak mengubah apa pun. Aku tetap membencinya. Dia tidak bisa menjadikan masa kecilnya yang rusak sebagai pembenaran untuk membunuh dan memperkosa orang lain, Bi. Dia tidak punya hak untuk itu. Dia harus membayar semua dosanya dengan kematian yang menyakitkan." Kebenciannya meluap dalam setiap kata.
Tak ada ampun, tak ada kompromi. Hanya garis hitam pekat yang memisahkan dirinya dan Azey, jurang yang terlalu lebar untuk dijembatani.
Orela menatap Taeri dengan hati pilu. Ia bisa merasakan beratnya beban yang dipikul gadis muda itu.
"Bibi hanya berharap, suatu hari nanti Nona bisa menemukan kebahagiaan, bisa melepaskan semua belenggu yang membebani pikiran Nona. Bibi selalu berdoa untuk kalian berdua, meskipun Nona benar, Tuan mungkin tidak pantas untuk bahagia, apalagi bersama Nona." Meski begitu, secercah harapan masih bersemi di hatinya. Ia berharap Taeri bisa menemukan kedamaian, meski bukan dengan orang yang telah menyakitinya.
Tiba-tiba, seorang pelayan menghampiri mereka di gazebo, wajahnya datar namun tegang. Taeri menatapnya dengan rasa ingin tahu.
"Maaf mengganggu, Nona, saya lancang masuk ke sini," ucapnya hati-hati, "tapi di luar ada puluhan truk yang mengantarkan barang untuk Nona, atas perintah Tuan Azey." Informasi itu singkat, namun cukup untuk mengalihkan perhatian mereka sepenuhnya.
"Untukku?" tanya Taeri dengan nada tak percaya. Pelayan itu mengangguk. "Kenapa pria gila itu tiba-tiba membelikanku sesuatu? Apa dia merasa bersalah? Atau ini hanya taktik liciknya agar aku tidak melawan lagi? Cih, dasar psikopat penuh tipu daya!"
Orela memahami kecurigaan Taeri, tak berkomentar lebih, namun tetap menunjukkan kepedulian. Ia tahu Taeri belum bisa mempercayai Azey, tapi ia juga mengerti arti penting dari semua ini.
"Nona, bagaimana kalau kita lihat saja? Siapa tahu ada barang yang Nona butuhkan," tawar Orela lembut. Taeri mengangguk ragu. Tanpa sepatah kata pun, mereka berdua bangkit, langkah mereka beriringan meski pikiran mereka berkecamuk. Mereka meninggalkan ketenangan gazebo, menuju ruang utama.
Sesampainya di sana, Taeri ternganga lebar, menatap gunung-gunung barang yang baru tiba. Tas-tas mewah, pakaian berkelas, sepatu hak tinggi, perlengkapan make-up, dan perawatan tubuh, semua itu hanya memicu kemarahan yang mendidih di dalam dirinya.
"Apa yang ada di kepala pria gila itu? Ya Tuhan, dia benar-benar sudah kehilangan akal sehatnya!" teriaknya histeris. "Dia pikir bisa menebus semua kejahatannya dengan ini semua? Siapa yang peduli dengan barang-barang murahan ini!" Setiap benda terasa seperti tamparan, mengingatkannya pada Azey, pada semua yang telah direnggut dan dihancurkan.
"Aku harap kau mati saja, Tuan, dan tidak pernah kembali ke sini." Ia mengutuk Azey dalam hati.
Orela memahami amarah Taeri dan bertindak cepat.
"Nona, jangan pikirkan tentang Tuan. Anggap saja semua ini milik Nona. Bagaimanapun juga, Nona membutuhkan barang-barang ini untuk tinggal di sini," ucapnya lembut dan penuh perhatian.
Taeri mengangguk pasrah.
Mendapat persetujuan dari nona mudanya, Orela memastikan semuanya tertangani dengan baik. Ia memerintahkan para pelayan untuk membawa semua barang ke kamar Taeri, menata setiap item dengan rapi, berharap bisa sedikit meringankan beban di hati Taeri.
Taeri mengamati proses itu, amarahnya sedikit mereda.