Doni Pradipta, seorang koki berbakat yang kehilangan segalanya dalam kebakaran lima tahun lalu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena sebuah undian aneh: menjadi personal chef (Koki Pribadi) bagi Naira Adani, aktris terkenal yang tengah terpuruk setelah perceraian dan skandal besar.
Pertemuan keduanya yang semula hanya soal pekerjaan perlahan berubah menjadi perjalanan penyembuhan dua hati yang sama-sama retak mencoba untuk bertahan. Di dapur itu, Naira menemukan kembali rasa aman, sementara Doni menemukan alasan baru untuk percaya pada cinta kembali.
Ikuti kisah mereka yang penuh emosi, tawa, dan luka yang perlahan sembuh.
Jangan lupa dukung karya ini dengan Like, Comment, dan Vote agar cerita mereka bisa terus berlanjut. 🤍✨
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardonii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 5. ORIENTASI LENGKAP DAN ATURAN BERLAPIS
..."Beberapa kontrak ditulis dengan tinta, tapi yang paling berbahaya adalah yang ditulis dengan perasaan."...
...---•---...
Doni terbangun pukul empat pagi. Bukan karena alarm, tapi karena kebiasaan yang sudah mendarah daging. Tubuhnya terlatih untuk bangun sebelum matahari terbit, warisan dari bertahun-tahun menjalankan restoran.
Kali ini, ketika matanya terbuka di kamar asing dengan tempat tidur terlalu empuk, ia butuh beberapa detik untuk mengingat di mana ia berada. Langit-langit putih tinggi, bukan langit-langit kamar kos yang retak. Seprai lembut dan dingin, bukan selimut tipis yang sudah lusuh. Keheningan yang terlalu sempurna, tanpa bunyi angkot lewat atau pedagang sayur yang berteriak.
Rumah Naira Adani. Dago Pakar. Hari kedua dari seribu hari.
Ia bangkit, berjalan ke jendela. Bandung masih gelap, hanya lampu-lampu jalan yang berkelip di kejauhan seperti kunang-kunang raksasa. Kabut pagi menyelimuti taman, membuat segalanya terlihat seperti lukisan kabur di balik kaca berembun. Udara sejuk menyelinap lewat celah jendela, menyentuh kulitnya yang hangat.
Doni mandi cepat, mengenakan kemeja putih lengan panjang dan celana koki hitam yang sudah disiapkan di lemari. Pakaian itu pas di tubuhnya, tidak terlalu ketat tidak terlalu longgar. Tentu saja, tim PT Kulina Rasa Sejahtera sudah mengukur dirinya sejak jauh-jauh hari.
Pukul setengah lima, ia sudah berada di dapur. Satu per satu lampu ia nyalakan, dan ruangan megah itu perlahan hidup. Ia membuka kulkas, mengeluarkan bahan-bahan untuk sarapan. Hari ini ia berencana membuat pancake buttermilk dengan sirup mapel dan buah segar. Sederhana, manis, menghibur. Makanan yang dirancang untuk sulit ditolak siapa pun.
Tangannya mulai bekerja dengan ritme yang familiar. Tepung diayak pelan, butiran halus jatuh seperti salju ke mangkuk besar. Telur dipecah satu per satu, kuningnya bulat sempurna tenggelam di lautan putih. Mixer menyala, bilahnya berputar cepat, mengocok telur sampai berbusa. Suara dengung motor memenuhi keheningan dapur, seperti musik pagi yang menenangkan.
Adonan pancake mengental, teksturnya lembut dan creamy di bawah spatula kayu. Doni menuangnya ke wajan panas dengan minyak tipis. Bunyi desis lembut langsung terdengar, gelembung-gelembung kecil mulai terbentuk di permukaan adonan. Aroma buttermilk yang sedikit asam bercampur bau mentega hangat menguar ke udara, memenuhi dapur dengan kehangatan.
Tapi di tengah kesibukannya, pintu dapur terbuka. Doni menoleh. Yang berdiri di ambang pintu adalah seorang pria tinggi berkacamata, mengenakan kemeja biru dan membawa koper hitam besar. Wajahnya datar, profesional, tapi ada keramahan tipis di senyumnya.
"Selamat pagi. Anda pasti Pak Doni," sapa pria itu. "Saya Adrian, penasihat hukum dari PT Kulina Rasa Sejahtera. Maaf ganggu pagi-pagi begini."
Doni mematikan mixer, menyeka tangannya di apron. "Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?"
"Sebenarnya saya yang akan bantu Bapak." Adrian masuk dan meletakkan kopernya di meja makan dengan bunyi gedebuk pelan. "Ada beberapa dokumen tambahan yang perlu kita bahas. Ini bagian dari orientasi lengkap untuk koki pribadi. Kemarin Ibu Ratna hanya bacakan kontrak utama, tapi masih ada lima puluh pasal detail yang harus dijelaskan satu per satu."
Lima puluh pasal. Doni merasakan dadanya sedikit mengencang, napasnya tertahan sebentar. "Sekarang?"
"Saya tahu ini tidak ideal, tapi ini prosedur wajib. Harus diselesaikan dalam empat puluh delapan jam pertama." Adrian membuka kopernya, mengeluarkan tumpukan dokumen tebal. "Tenang saja, saya akan buat seefisien mungkin. Mungkin sekitar dua jam."
Dua jam. Doni melirik adonan pancake yang baru setengah jadi. "Sarapan harus siap jam tujuh."
"Tidak masalah. Kita bisa mulai sekarang, Bapak tetap bisa masak sambil mendengarkan. Saya hanya perlu Bapak dengarkan dengan saksama dan tanda tangani beberapa dokumen." Adrian duduk di kursi, membuka berkas pertama dengan gerakan efisien. "Kita mulai dari Pasal Satu versi lengkap."
Doni tidak punya pilihan. Ia kembali ke kompor, menyalakan api kecil, lalu menuang adonan pancake sambil mendengarkan. Tangan bekerja, telinga siaga.
"Pasal Satu: Durasi Kontrak. Koki pribadi akan melayani klien selama seribu hari kalender berturut-turut. Tidak ada cuti kecuali kondisi darurat kategori A yang disetujui secara tertulis oleh pihak ketiga."
Adrian berhenti membaca, menatap Doni. "Kategori A berarti: kematian anggota keluarga inti, kecelakaan serius yang memerlukan rawat inap, atau bencana alam yang merusak properti pribadi Bapak. Selain itu, tidak ada alasan yang diterima untuk meninggalkan tugas. Termasuk sakit ringan seperti flu atau demam. Paham?"
Doni membalik pancake dengan spatula. "Paham. Jadi kecuali saya hampir mati atau ada yang mati, saya tidak boleh meninggalkan rumah ini."
"Secara teknis, ya." Adrian tersenyum tipis, tidak ada kehangatan di sana. "Tapi ada kompensasi. Bapak dapat pemeriksaan kesehatan gratis tiap bulan, asuransi kesehatan premium, dan kalau sakit, dokter pribadi Nona Naira yang akan menangani."
"Pasal Dua: Jam Kerja. Koki pribadi wajib tersedia dua puluh empat jam sehari untuk memenuhi kebutuhan makan klien. Waktu makan standar adalah sarapan pukul tujuh, makan siang pukul dua belas tiga puluh, dan makan malam pukul enam sore. Namun, klien berhak meminta makanan di luar jam tersebut tanpa pemberitahuan sebelumnya."
"Jadi kalau Nona Naira ingin makan jam tiga pagi, saya harus masak?" Tanya Doni sambil menata pancake pertama di piring. Tangannya sempat berhenti sebentar di udara, spatula terangkat.
"Tepat sekali. Dan Bapak harus siap maksimal tiga puluh menit setelah permintaan."
Doni meletakkan spatula dengan sedikit keras. Bunyi logam bertemu marmer terdengar tajam di dapur yang sunyi. Tiga puluh menit. Bahkan di Dapur Sari, aku punya waktu istirahat. Di sini, aku bukan koki. Aku pelayan yang kebetulan bisa masak.
"Pasal Tiga: Menu dan Preferensi. Koki pribadi wajib menyesuaikan menu dengan selera, alergi, dan kebutuhan diet klien. Koki pribadi juga harus proaktif mempelajari selera klien dan mengantisipasi kebutuhan tanpa diminta."
"Bagaimana kalau kliennya tidak makan sama sekali?" Doni tidak bisa menahan diri. Tangannya menuang adonan lagi, tapi gerakannya kurang hati-hati, adonan tumpah sedikit ke pinggiran wajan. "Bagaimana saya tahu seleranya kalau dia bahkan tidak sentuh makanan?"
Adrian terdiam sejenak. Ada sesuatu yang berubah di wajahnya, topeng profesionalnya retak tipis. "Pak Doni, saya tahu ini berat. Nona Naira sedang dalam kondisi khusus. Tapi justru itu tugas Bapak: menemukan cara supaya dia mau makan lagi. Bukan dengan paksaan, tapi dengan memahami apa yang dia butuhkan secara emosional."
"Pasal Dua Belas bilang saya tidak boleh terlibat emosional," ucap Doni datar, matanya tetap fokus pada pancake yang mulai bergelembung.
"Terlibat emosional dan memahami emosi itu dua hal berbeda." Adrian menutup dokumen pertama, gerakannya pelan, seperti memberikan waktu bagi Doni untuk mencerna. "Bapak tidak boleh jatuh cinta, tapi Bapak harus peduli. Tidak boleh jadi teman dekat, tapi harus peka. Di situlah garis tipisnya."
Doni berhenti sepenuhnya. Spatula di tangannya tidak bergerak. Ia menatap Adrian, matanya tajam. "Bagaimana caranya? Bagaimana saya bisa peduli tanpa terlibat? Bagaimana saya bisa menyembuhkan tanpa menyentuh?"
Adrian terdiam. Untuk pertama kalinya, topeng profesionalnya benar-benar retak. Ia melepas kacamatanya, mengusap pelipis dengan jari telunjuk. "Saya tidak tahu, Pak Doni. Tidak ada yang tahu. Tapi itulah yang diminta kontrak ini."
Garis tipis antara peduli dan terlibat. Atau mungkin garis itu tidak pernah ada sejak awal.
Doni kembali membalik pancake, tapi kali ini gerakan tangannya kasar, frustasi. Spatula menyentuh tepi pancake terlalu keras, membuatnya robek sedikit. Tepi pancake gosong, hitam di satu sisi. Ia menatapnya dengan frustrasi yang tidak pernah ia rasakan terhadap makanan.
Dulu, memasak untuk Sari tidak pernah punya aturan.
Pikirannya melayang jauh, ke dapur kecil Dapur Sari yang penuh kehangatan. Aku boleh menyentuh rambutnya saat ia mencicipi sup. Boleh bertanya kenapa ia sedih hari itu. Boleh memeluknya kalau makanan gosong dan kami tertawa bersama.
Sekarang, aku harus memasak untuk seseorang dengan jarak satu meter, tanpa sentuhan, tanpa pertanyaan, tanpa kehangatan.
"Pasal Lima: Kewajiban Berbelanja. Koki pribadi bertanggung jawab untuk membeli bahan makanan segar. Anggaran bulanannya tiga puluh juta rupiah, sudah ditransfer ke rekening terpisah yang bisa diakses dengan kartu debit khusus. Semua pengeluaran harus disertai struk dan dicatat dalam laporan mingguan."
Adrian mengeluarkan kartu debit dari amplop dan menyerahkannya pada Doni. Kartu hitam berlogo PT Kulina Rasa Sejahtera itu terasa dingin dan berat di tangannya, seperti logam yang membeku. "PIN-nya tanggal lahir Bapak. Jangan kasih ke siapa pun. Jangan pakai untuk keperluan pribadi. Setiap transaksi dimonitor."
Tiga puluh juta sebulan untuk bahan makanan. Lebih besar dari omzet bulanan Dapur Sari di bulan yang bagus.
"Pasal Delapan: Protokol Kesehatan. Koki pribadi wajib menjaga higienitas maksimal. Cuci tangan sebelum masak, gunakan sarung tangan food-grade saat menangani bahan mentah, dan selalu pakai penutup rambut. Dapur harus dibersihkan setiap selesai sesi masak, dan semua peralatan disterilkan sesuai standar restoran bintang lima."
Pancake ketiga sudah matang, walaupun tidak sesempurna yang pertama. Doni menumpuknya rapi di atas piring, membentuk menara kecil. Ia mulai memotong buah stroberi, blueberry, pisang. Gerakan pisaunya cepat dan presisi, tapi pikirannya tidak ada di sana.
Pisaunya berhenti. Jari-jarinya gemetar sedikit di sekitar gagang pisau.
Bagaimana kalau jarak itu sendiri yang membunuh?
"Pasal Dua Belas: Batasan Profesional." Adrian berbicara dengan nada lebih serius, lebih pelan. "Ini yang paling penting, Pak Doni. Saya perlu Bapak dengarkan baik-baik."
Doni meletakkan pisau. Tangannya berhenti bergerak.
"Koki pribadi dilarang keras terlibat dalam hubungan pribadi di luar konteks profesional dengan klien. Tidak ada kontak fisik yang tidak perlu, termasuk berjabat tangan, menepuk bahu, atau bentuk sentuhan apa pun, kecuali dalam kondisi darurat medis."
"Tidak ada percakapan yang terlalu pribadi, atau pertanyaan yang menyinggung privasi klien. Bapak tidak boleh tanya tentang kehidupan pribadi Nona Naira, kecuali dia yang mulai lebih dulu."
"Tidak ada pemberian hadiah, ucapan ulang tahun berlebihan, atau gestur romantis dalam bentuk apa pun."
Adrian melepas kacamatanya, menatap Doni dengan tatapan yang lebih manusiawi. "Pak Doni, Nona Naira baru keluar dari pernikahan yang tidak sehat. Ia dalam masa pemulihan. Pihak sponsor dan keluarganya sangat protektif. Mereka tidak ingin ada pria yang memanfaatkan keadaannya."
"Saya mengerti," jawab Doni pelan, suaranya hampir tidak terdengar. Tenggorokannya tercekat.
"Pelanggaran terhadap Pasal Dua Belas akan mengakibatkan pemutusan kontrak sepihak tanpa kompensasi, denda lima ratus juta rupiah, dan kemungkinan tuntutan hukum."
Lima ratus juta. Angka yang bisa menghancurkan sisa hidupnya.
Doni mengangguk, tapi dadanya terasa sesak. Ia menatap pancake yang telah ia susun dengan rapi, sirup mapel mengalir di sisinya, buah-buah segar menghiasi piring dengan warna-warna cerah. Perfect, beautiful, tapi ia tidak tahu apakah Naira akan makan.
Adrian membuka dokumen berikutnya. "Kita lanjut pasal-pasal tentang kerahasiaan dan batasan wilayah, Pak Doni."
...---•---...
...Bersambung...