NovelToon NovelToon
Bayangan Sang Triliuner

Bayangan Sang Triliuner

Status: sedang berlangsung
Genre:Crazy Rich/Konglomerat / Mafia
Popularitas:523
Nilai: 5
Nama Author: EPI

Fandi Dirgantara dikenal sebagai pewaris muda triliunan rupiah — CEO muda yang selalu tampil tenang dan elegan di hadapan dunia bisnis. Namun, di balik senyum dinginnya, tersimpan amarah masa lalu yang tak pernah padam. Ketika malam tiba, Fandi menjelma menjadi sosok misterius yang diburu dunia bawah tanah: “Specter”, pemburu mafia yang menebar ketakutan di setiap langkahnya. Ia tidak sendiri — dua sahabatnya, Kei, seorang ahli teknologi yang santai tapi tajam, dan Alfin, mantan anggota pasukan khusus yang dingin dan loyal, selalu berada di sisinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EPI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Gadis yang malang

Malam itu begitu senyap.

Mobil hitam milik Fandi melaju cepat, menghilang di balik kabut. Bau logam darah masih terasa di udara, bercampur asap mesin yang belum sempat dingin.

Sesampainya di rumah pribadi Fandi — rumah besar bernuansa gelap, tenang, tapi dingin — Alfin langsung turun, membuka pintu mobil, dan membantu Fandi yang menahan luka di lengan kirinya.

“Duduk dulu, bro. Gue keluarin pelurunya.”

“Cepat aja. Jangan banyak ngomong,” balas Fandi datar.

Alfin menyiapkan alat medis di meja. Sementara itu Kei mondar-mandir, membuka tas yang tadi ia ambil dari mobil musuh.

“Hmm… liat nih.” Kei melempar sebuah map ke meja.

Foto-foto Fandi berceceran di atas meja, bersama ponsel-ponsel rusak milik orang-orang yang mereka bunuh.

Kei tersenyum miring. “Vincent udah mulai main kotor. Nih, fotonya aja udah dikasih kode prioritas. Dia kayaknya bener-bener pengen lo, Fan.”

Fandi cuma menatap luka di lengannya, tanpa ekspresi. “Biarin.”

Alfin mendesis pelan, menusukkan pinset ke luka Fandi.

“Biarin? Nih peluru segede gini juga lo bilang ‘biarin’? Gila lo.”

Fandi menghela napas pelan, “Bukan pelurunya yang bikin gue marah… tapi kenapa mereka berani nyerang di tengah kota.”

“Berarti mereka udah ngerasa lo ancaman,” sahut Kei sambil menyalakan rokok. “Lucu juga, padahal lo belum ngapa-ngapain ke mereka.”

Fandi menatap Kei lewat pantulan kaca jendela. “Mungkin ini waktunya.”

Sementara itu, di seberang kota

Epi, gadis muda berseragam minimarket, baru saja menggantung apron kerjanya.

“Rami, aku pulang dulu, ya.”

“Iya, hati-hati, Pi. Oya, Rora masak mie pangsit di kos. Katanya enak banget tuh.”

Epi tertawa kecil. “Wah, kalau gitu aku langsung ke sana deh, udah laper banget.”

Ia berjalan di jalan sempit yang mulai gelap. Lampu jalan banyak yang mati, hanya suara sandal dan langkahnya sendiri yang terdengar.

Tiba-tiba—

DOR! DOR! DOR!

Tiga tembakan memecah kesunyian. Epi terhenti. Nafasnya tercekat. Di kejauhan, ia melihat dua orang terkapar di tanah, dan seseorang berdiri di belakang mereka — berpakaian hitam, membawa senjata.

“T-Tolong! Tolong!” teriak salah satu korban dengan sisa tenaga.

Epi menutup mulut, tubuhnya gemetar. Ia ingin lari, tapi kakinya seperti tertanam di aspal.

Seseorang dari kelompok itu menoleh.

“Siapa di sana!”

Seketika Epi tersadar. Ia berlari sekuat tenaga, napasnya tersengal. “Ya Tuhan… ya Tuhan tolong aku!”

Sepuluh orang berpakaian hitam mulai mengejarnya.

“Kejar dia!” teriak salah satu.

Epi berlari menembus gelap, air matanya bercampur hujan tipis. Suara langkah mereka makin dekat.

DOR! DOR!

Peluru menghantam kaki kirinya, satu lagi menembus bahunya. Ia jatuh terjerembab di aspal, menjerit kesakitan.

“Aaakhhh!!”

Ia menoleh — bayangan hitam itu semakin dekat. Dengan tenaga tersisa, ia bangkit dan berlari lagi ke arah jalan besar.

“Jangan biarkan dia kabur!!”

Tiba-tiba, dari arah berlawanan—

BRAAAAK!!!

Cahaya lampu mobil menyilaukan matanya. Tubuh Epi terpental keras, darah memancar dari pelipis dan bibirnya. Mobil yang menabraknya berhenti sebentar, lalu kabur begitu saja.

Epi tergeletak di jalan, napasnya tersengal, darah terus mengalir. Ia menatap langit yang kabur di matanya.

Air matanya jatuh. Bibirnya bergetar, “Mama…”

Seseorang menyeberang dari kejauhan, langkahnya cepat tapi tenang.

Pria itu berhenti di depan tubuh Epi yang terkapar.

“Tabrak lari…” gumamnya pelan, suaranya datar tapi dingin.

Ia menunduk, memeriksa napas gadis itu. “Masih hidup.”

Tanpa pikir panjang, pria itu mengangkat tubuh Epi dan membawanya masuk ke mobil hitam yang berhenti di pinggir jalan.

Mobil itu melaju cepat, menembus hujan malam.

Di rumah besar berwarna coklat tua dan putih, lampu ruang tengah menyala.

Kei yang sedang duduk di sofa langsung menoleh saat mendengar suara pintu dibuka keras.

“Heh, Fan, anak siapa yang lo bawa itu?” teriaknya kaget.

Alfin muncul dari dapur, “Anak pingsan? Dari mana lagi lo dapet korban begini, hah?”

Fandi tidak menjawab. Ia membawa gadis itu ke kamar tamu, merebahkannya di kasur.

“Panggil dokter. Suruh bawa alat medis lengkap.”

Nada suaranya datar, tapi tajam.

Kei dan Alfin saling pandang.

“Kayak mayat hidup,” gumam Kei lirih.

Tak lama, dokter dan dua perawat datang. Mereka segera masuk ke kamar. Kei menunjuk ke arah gadis itu tanpa banyak bicara.

Beberapa menit kemudian, Fandi keluar dari kamar. Ia berjalan pelan, duduk di kursi panjang sambil menatap jendela yang meneteskan air hujan.

Kei membuka mulut lebih dulu, “Lo kenal cewek itu?”

“Enggak.”

“Terus kenapa lo bawa ke sini?” tanya Alfin heran.

“Entah. Gue cuma ngerasa harus.”

Kei mendengus. “Perasaan lo aneh. Biasanya orang mati aja lo cuekin, sekarang bawa cewek luka berdarah ke rumah?”

“Diam, Kei.” suara Fandi datar, tapi tegas.

Hening beberapa detik.

Alfin duduk di sebelah Fandi, menatap sahabatnya itu.

“Fan, luka lo belum kering, tapi lo malah sibuk nolong orang. Gue nggak ngerti cara kerja otak lo.”

Fandi hanya menatap kosong ke luar jendela.

“Hari ini, terlalu banyak darah tumpah.”

Sementara itu di sisi lain kota—

Beberapa mobil berhenti di gudang tua. Para pria berbaju hitam turun dengan wajah tegang.

“Bos,” kata salah satu, “yang tadi kabur udah mati. Ditabrak mobil pas lari. Pasti kehabisan darah sekarang.”

Seorang pria berjas duduk di kursi besi, menatap tajam. “Bagus. Lebih cepat lebih baik.”

Ia menegakkan badan, meletakkan cerutunya di asbak. “Kalau dia sempat ngomong ke siapa pun, bisnis kita tamat. Kalian cari ponselnya. Semua rekaman harus hilang.”

“Udah kami periksa, bos. Kosong.”

“Cari terus. Jangan biarkan barang itu jatuh ke tangan siapa pun.”

Suara petir membelah langit, menggema keras. Pria itu menatap ke luar jendela, wajahnya dingin.

“Malam ini, jangan ada jejak. Kalau ada yang tau… kita semua selesai.”

Malam semakin larut.

Hujan di luar mereda, menyisakan suara rintik yang jatuh di atap rumah besar itu. Di ruang tamu, Kei dan Alfin duduk menunggu sambil menyeruput kopi yang sudah dingin.

Pintu kamar tamu terbuka pelan. Dokter dan dua perawat keluar dengan wajah lelah.

“Selamat malam, Tuan Fandi,” ucap sang dokter sopan.

Fandi yang berdiri tak jauh dari pintu langsung menatap mereka tajam. “Bagaimana keadaannya?”

Dokter wanita itu menarik napas panjang. “Peluru di kaki dan bahu sudah kami keluarkan. Tapi untuk kesadarannya… kami belum bisa pastikan, Tuan. Kondisinya cukup berat.”

Kei dan Alfin saling berpandangan, ekspresi mereka berubah serius.

“Peluru?” gumam Kei. “Tunggu, maksud dokter—dia juga ditembak?”

Fandi mengernyit, nadanya datar tapi keras. “Apa maksud Anda? Saya lihat dia cuma ditabrak mobil.”

Dokter itu menggeleng pelan, lalu mengeluarkan dua butir logam kecil dari kantong steril.

“Inilah peluru yang kami temukan. Satu bersarang di punggung, satu di paha kanan. Kalau Tuan menemukan dia di jalan, berarti dia bukan hanya korban tabrak lari… dia juga korban penembakan.”

Ruangan seketika hening.

Kei dan Alfin kembali saling pandang, kali ini dengan tatapan curiga yang sama.

Alfin mengusap dagunya. “Fan, ini udah nggak masuk akal. Kalau dia cuma korban tabrak lari, dari mana peluru ini bisa nyasar ke badannya?”

Kei menimpali, “Kayaknya ada yang berusaha ngilangin dia. Ngeri banget…”

Dokter itu menutup tas medisnya. “Perawat kami akan kembali setengah jam lagi untuk mengganti infus dan perban. Tolong pastikan tidak ada yang menyentuh lukanya dulu.”

Fandi hanya mengangguk singkat.

“Terima kasih,” ucapnya pendek.

Setelah dokter dan perawat pergi, Fandi melangkah masuk ke kamar itu. Kei dan Alfin mengikutinya dari belakang.

Cahaya lampu kamar lembut menyorot tubuh Epi yang terbaring tak berdaya di ranjang. Wajahnya pucat, rambutnya acak-acakan, di tangan dan kakinya terpasang infus serta perban. Ada luka lecet di siku dan betisnya, kulitnya lebam-lebam akibat gesekan aspal.

Fandi berdiri di tepi ranjang, menatap diam-diam. Tatapannya dingin tapi ada sesuatu yang samar—entah iba, entah rasa penasaran.

Kei bersandar di kusen pintu, menatap gadis itu.

“Malang banget, ya. Lihat… luka di kakinya parah banget,” gumamnya pelan.

Alfin mengangguk, nada suaranya ikut melembut. “Iya. Yang nabrak pasti ngebut banget. Tapi… gue makin nggak ngerti, kenapa bisa ada peluru di tubuhnya.”

Kei mendecak. “Ini jelas nggak wajar, Fin. Bisa jadi pembunuhan berencana.”

“Hmm,” Alfin mengangguk pelan. “Mungkin dia ngeliat sesuatu. Atau jadi saksi salah satu aksi mereka.”

“Siapa mereka?” tanya Kei lirih.

Alfin mengangkat bahu. “Entahlah. Tapi dari luka dan pelurunya, ini kerjaan orang profesional. Kayak pasukan yang biasa dipakai Vincent.”

Nama itu membuat ruangan terasa berat.

Fandi tidak menjawab. Ia masih menatap gadis yang terbaring itu dengan mata dingin tapi dalam.

Kei menoleh ke arah Fandi. “Fan, lo beneran nggak kenal dia?”

Fandi menggeleng pelan. “Nggak. Tapi kalau benar dia ditembak, berarti dia bukan orang biasa.”

Alfin mendekat, menatap Fandi. “Lo curiga dia bagian dari mereka?”

Fandi menatap balik, datar tapi tegas. “Aku nggak tahu. Tapi aku nggak percaya pada kebetulan.”

Mereka bertiga saling berpandangan. Udara di kamar itu terasa menekan, seperti ada sesuatu yang akan terjadi.

Beberapa detik kemudian, Fandi berbalik dan berjalan keluar tanpa sepatah kata pun. Kei dan Alfin mengikuti, masing-masing larut dalam pikirannya sendiri.

Sementara itu, di rumah mewah Vincent —

Ia berdiri di depan jendela besar, menatap kota yang diselimuti kabut. Wajahnya tampak gelap, rahangnya mengeras.

“Diko!” serunya keras.

Ajudannya langsung masuk, menunduk sopan. “Ya, Tuan?”

“Kenapa belum ada kabar dari anak buahku? Mereka belum melapor sejak malam kemarin. Apa dia sudah memastikan Fandi mati atau belum?”

Diko menelan ludah. “Maaf, Tuan… belum ada kabar. Saya sudah menghubungi Jya, tapi nomornya tidak aktif.”

Vincent menghela napas kasar, meninju meja dengan keras. “Sialan! Semua bodoh! Jangan-jangan mereka semua mati!”

Ia berjalan mondar-mandir, pikirannya kalut.

“Cari tahu. Sekarang juga. Aku nggak mau kehilangan satu pun jejak. Kalau ada yang tahu mereka gagal, nama kita habis!”

“Baik, Tuan,” jawab Diko cepat, lalu bergegas keluar.

Vincent berdiri di depan kaca, menatap pantulan dirinya sendiri.

“Fandi… kalau kau masih hidup, berarti ini belum selesai.”

Pagi pun tiba.

Matahari muncul pelan dari balik tirai tebal rumah Fandi. Bau antiseptik samar tercium di udara.

Perawat yang datang tadi malam baru saja mengganti infus Epi. Ia menatap monitor tekanan darah di samping ranjang, lalu tersenyum kecil.

“Dia mulai merespons,” bisiknya pelan. “Mungkin sebentar lagi sadar.”

Kei yang kebetulan melintas di depan pintu kamar menatap sekilas ke dalam.

“Fan!” panggilnya cepat.

Fandi yang duduk di ruang tamu segera berdiri dan menghampiri.

“Ada apa?”

“Cewek itu… kayaknya mau sadar.”

Fandi menatap ke arah pintu kamar, napasnya tertahan sesaat.

Suara detak jantung dari mesin monitor perlahan meningkat. Jari tangan Epi bergerak pelan, matanya bergetar di balik kelopak.

Kei menatap Fandi. “Kayaknya dia bangun, Fan.”

Fandi berdiri diam di ambang pintu, menatap tubuh lemah gadis itu yang mulai menggeliat pelan.

Sebuah bisikan lirih keluar dari bibir Epi, nyaris tak terdengar.

“…tolong…”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!