“Sah!”
Di hadapan pemuka agama dan sekumpulan warga desa, Alan dan Tara terdiam kaku. Tak ada sedikitpun senyum di wajah meraka, hanya kesunyian yang terasa menyesakkan di antara bisik-bisik warga.
Tara menunduk dalam, jemarinya menggenggam ujung selendang putih yang menjuntai panjang dari kepalanya erat-erat. Ia bahkan belum benar-benar memahami apa yang barusaja terjadi, bahwa dalam hitungan menit hidupnya berubah. Dari Tara yang tak sampai satu jam lalu masih berstatus single, kini telah berubah menjadi istri seseorang yang bahkan baru ia ketahui namanya kemarin hari.
Sementara di sampingnya, Alan yang barusaja mengucapkan kalimat penerimaan atas pernikahan itu tampak memejamkan mata. Baginya ini terlalu cepat, terlalu mendadak. Ia tak pernah membayangkan akan terikat dalam pernikahan seperti ini, apalagi dengan gadis yang bahkan belum genap ia kenal dalam sehari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rienss, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Tidak Akan Menyesal
“Terima kasih.”
Alan yang tengah mengancingkan kemeja di depan cermin refleks menoleh. Beberapa langkah di belakangnya, Tara berdiri dengan senyum samar menghias di bibir.
Namun sepersekian detik berikutnya pria itu kembali menghadap ke cermin. “Tidak usah berterima kasih,” sahut pria itu tenang. “Anggap saja sebagai balas budiku atas pertolonganmu. Jadi... kita impas sekarang.”
Tara mengangguk. Lalu ia melangkah menuju ke lemari pakaian, membuka salah satu pintunya dan mengeluarkan sesuatu dari sana. Ia lalu kembali mendekati Alan. “Ini,” ucapnya seraya menyodorkan sebuah lipatan kain berwarna putih kepada Alan. “Aku menemukannya di saku kemejamu waktu itu. Sudah kucuci.”
Alan menatap kain itu sejenak sebelum mengambilnya. Itu adalah sapu tangan yang diberikan Lira saat mereka baru pacaran dulu. “Terima kasih,” ucapnya yang kemudian menyimpan benda itu ke dalam saku celananya.
Tara tersenyum tipis. “Baiklah, kalau begitu aku akan keluar menemani ayah,” ujarnya sebelum berbalik meninggalkan ruangan itu.
Tapi saat kakinya hendak melangkah menuju pintu, Alan menghentikannya. “Tunggu, Tara.”
Tara berhenti dan menoleh. “kenapa?”
Alan merogoh salah satu saku celananya dan mengeluarkan segepok uang lalu menyerakannya kepada Tara. “Ini untukmu,” ucapnya datar.
Tara menatap uang itu tanpa mau menyentuhnya, “Kenapa memberiku uang? dan darimana kamu mendapatkan uang sebanyak itu?” gadis itu menyipitkan mata curiga. “Kamu tidak mencuri, kan?”
Alan mendengus lalu tanpa pikir panjang menyentil kening gadis itu. “Apa aku terlihat seperti pencuri?” ucapnya jengkel. “Uang ini milikku, dan aku tidak mencurinya.”
Ia menyodorkan kembali uang itu pada Tara. “Ambil. Aku tidak enak hati kalau pergi tanpa meninggalkan apa-apa. Apalagi setelah semua pertolongan yang kalian berikan padaku.”
Sayangnya Tara tetap menolak. “Tidak mau,” ucapnya tegas seraya menjauhkan tangannya.
“Kenapa tidak mau? Apa masih kurang?” tanya Alan spontan.
“Bukan seperti itu,” sahut Tara cepat. Ada jeda sejenak sebelum gadis itu melanjutkan, “Aku tidak mengharapkan pemberian apapun darimu. Lagipula aku menolongmu bukan karena mengharap imbalan. Aku iklas.”
“Tapi aku tidak suka berutang budi,” balas Alan.
“Kalau begitu anggap saja ini bukan utang budi, gampang kan,” jawab Tara spontan.
Alan memandang gadis itu dengan tatapan tak percaya. Sebelum ia bisa menanggapi, Tara kembali berkata, “Lagipula, Tuan kota... bukankah kamu juga sudah menyelamatkanku dari amukan warga desa? Jadi seperti yang kamu bilang tadi, kita impas.”
Hening sejenak, keduanya saling tatap dalam diam.
Beberapa detik kemudian, Alan menarik napas panjang. “Baiklah,” ucapnya pelan, menyerah pada keputusan Tara. “Tapi jangan sampai menyesal karena menolak pemberianku.”
Tara tersenyum kecil. “Kamu tenang saja. Aku tidak akan menyesal.”
Setelah itu ia berbalik dan kembali melangkah meninggalkan kamar itu. Alan sama sekali tidak menahannya. Ia hanya menatap kepergian gadis itu hingga punggungnya menghilang di balik pintu.
Beberapa menit kemudian, Alan menyusul keluar, menemui Arif dan Tara yang sudah menunggu di ruangan kecil yang mereka fungsikan sebagai ruang tamu.
“Yah, aku pergi sekarang,” ucap pria itu berpamitan pada ayah mertuanya.
Meski masih dengan berat hati, Arif mengangguk pelan. “Hati-hati di jalan,” ujarnya seraya menepuk lembut bahu Alan.
Alan menatap Tara sejenak. “Aku pergi.”
Dan Tara hanya menganggukkan kepala.
Alan yang hendak berbalik, tiba-tiba dihentikan oleh Arif. “Tunggu, Nak Alan.” Pria paruh baya itu lalu mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya yang lusuh.
“Ayah hanya bisa memberimu ini, hanya sedikit. Tidak banyak,” ucapnya seraya menyelipkan sebuah amplop kecil ke tangan Alan.
Alan menatap amplop kecil itu sejenak, lalu matanya berpindah pada Arif. “Yah, ini tidak perlu. Aku...”
“Tolong jangan ditolak,” potong Arif cepat. “Kata orang, pamali menolak pemberian orang tua. Anggap saja itu restu dari Ayah untukmu.”
Alan terdiam, menelan ludah. ia menatap amplop itu lsgi beberapa detik sebelum kemudian mengangguk pelan. “Kalau begitu terima kasih, Yah.”
Alan menggenggam amplop itu dengan erat lalu berbalik dan melangkah menuju pintu. Tara dan Arif mengikutinya dari belakang hingga ke teras, mengantar kepergian pria itu dalam diam.
*
Mobil hitam yang membawa Alan melaju perlahan meninggalkan jalan berbatu desa, melewati perumahan penduduk, hamparan sawah, dan pepohonan yang berbaris di tepi jalan.
Pria itu bersandar di kursi penumpang depan, menatap kosong ke luar jendela. Beberapa saat kemudian tangannya terulur membuka amplop pemberian Arif. Di dalamnya ada beberapa lembar uang lusuh yang jumlahnya tak seberapa.
Rico yang duduk di balik kemudi sempat melirik. Dengan hati-hati ia pun membuka suara. “Bos, itu...”
Alan menoleh singkat ke arahnya, lalu kembali menatap ke depan. “Bukan apa-apa,” jawabnya pendek.
Rico mengangguk, tak berani bertanya lebih jauh. Dan perjalanan mereka pun kembali ditemani keheningan.
Sembari fokus ke jalanan, Rico sempat memainkan jemarinya di atas stir sambil berdendang, dan Alan membiarkannya saja, karena Rico memang selalu seperti itu, sebelas dua belas seperti adiknya, Dirga.
“Bos, gadis yang di rumah tua tadi itu...” Rico akhirnya berceletuk, membuat Alan refleks menoleh.
“Kenapa?” tanyanya datar namun nadanya sedikit curiga. “Kamu tertarik?”
Rico terkekeh kecil, “Melihat gadis sebening itu, siapa yang tidak akan tertarik, Bos?” jawabnya santai. “Saya tadi sempat tidak percaya kalau dia berasal dari desa terpencil seperti itu.”
Alan melirik dengan ekspresi datar. “Dan sekarang kamu sudah percaya?” tanyanya dengan nada tajam.
Rico hanya nyengir sembari menggaruk sisi kepalanya. “Yaa... mau tidak mau, Bos. Tapi jujur, kalau gadis itu tinggal di kota, saya yakin pasti banyak pria yang mengantri. Termasuk saya mungkin,” jawab Rico yang diakhiri kekehan.
Alan tak menanggapi. Tatapannya kembali beralih ke luar jendela. Kata-kata Rico tanpa sadar telah menyeret pikirannya kembali pada sosok istri mudanya itu, pada tatapannya, senyumnya, juga pada keras kepalanya Tara yang baru dikenalnya beberapa hari belakangan.
Ia menghela napas, tangannya mengepal di pangkuan. Ia kembali teringat pada ucapannya sendiri, tentang janji untuk menceraikan gadis itu sebelum ia pergi.
Namun sampai sekarang, bahkan ketika mobilnya telah melaju jauh meninggalkan desa, kata Talak itu sama sekali belum keluar dari mulutnya.
Bukan ia lupa. Bukan juga berarti ia mulai menaruh hati dan ingin mempertahankan gadis itu tetap di sisinya. Ia yakin sekali bukan itu alasannya.
Karena baginya, hati, diri, dan cintanya hanya milik Lira seorang, cinta pertamanya sekaligus wanita yang telah ia nikahi tiga tahun yang lalu.
Keheningan kembali merayap di kabin. Alan menyandarkan kepala ke kursi setelah itu, matanya pun terpejam. Sementara Rico kembali fokus ke jalan sembari sesekali melirik sekilas ke arah si bos.
Beberapa jam kemudian, mobil hitam yang kedua pria itu tumpangi akhirnya memasuki kawasan elit di pinggiran ibukota. Deretan rumah megah dengan taman-taman dan gerbang tinggi yang tampak berjajar rapi langsung menyambut mereka.
Rico memperlambat laju kendaraan begitu gerbang besi besar dengan plakat bertuliskan Hardinata Residence di depan dereka terbuka perlahan.
Seorang satpam segera menghampiri dan membukakan pintu belakang. Alan turun dengan tenang, pandangannya menyapu sekeliling halaman luas rumahnya.
“Selamat datang kembali, Tuan,” sapa seorang pria berpakaian pelayan yang barusaja datang menghampiri.
Alan mengangguk tipis. “Terima kasih, Roger,” sahutnya datar.
“Mas!”
Refleks Alan menoleh ke arah teras. Di sana terlihat sosok seorang wanita dengan rambut hitam terurai yang berlarian kecil ke arahnya. Wajahnya seperti biasa, terlihat cantik meskipun tampak sedikit pucat, dan tatapan matanya yang berbinar itu selalu bisa menjadi penyemangat untuk Alan.
Begitu jarak mereka tinggal selangkah, wanita itu langsung menghambur memeluk Alan, membuat tubuh pria itu menegang sejenak.
“Syukurlah... syukurlah akhirnya Mas pulang,” lirih wanita itu dengan suara bergetar di bahu Alan. “Aku takut kehilangan Mas.”
Alan membalas pelukan itu. Dihirupnya aroma lembut parfum khas Lira yang selama beberapa hari terakhir begitu ia rindukan. “Mas minta maaf, Sayang. Telah membuatmu khawatir,” ucapnya pelan.
Lira mendongak menatap wajah suaminya, jemarinya menelusuri bekas luka di pipi dan pelipis pria itu. “Sebenarnya apa yang terjadi padamu, Mas? Siapa yang melakukan ini?” tanyanya cemas.
Alan tersenyum tipis. “Tidak apa-apa, hanya kecelakaan kecil saat di perjalanan kembali dari Jogja. Sekarang Mas baik-baik saja,” jawab pria itu berusaha menenangkan istrinya.
Lira masih menatap pria itu tidak puas. Ia menelusuri tubuh suaminya dari atas sampai bawah, lalu terhenti pada punggung tangan Alan yang masih ditempeli plester. Perlahan jemarinya terjulur mengusap lembut bagian itu.
Tapi tiba-tiba gerakan tangannya terhenti. Untuk sesaat ia terpaku menatap salah satu jemari Alan.
Ia lalu mendongak menatap kembali wajah suaminya. “Mas, cincin Mas Alan ke mana?”