Siapapun tak ingin mendapatkan takdir yang tak sejalan dengan keinginan, termasuk Asha. Sejak awal ia tahu hidupnya tak pernah sempurna, namun tak pernah ia bayangkan bahwa ketidaksempurnaan itu akan menjadi alasan seseorang untuk merendahkannya—terutama di mata Ratna, ibu mertuanya, wanita yang dinginnya mampu merontokkan kepercayaan diri siapa pun.
"Untuk apa kamu menikahi wanita seperti dia?!"
Satu kalimat yang terus menggetarkan jantungnya, menggema tanpa henti seperti bayang-bayang yang enggan pergi. Kalimat itu bukan hanya penghinaan. Itu adalah vonis, sekaligus penjara yang tak pernah bisa ia hindari.
Sejak hari itu, Asha belajar diam. Bukan karena ia lemah, tetapi karena setiap kata yang keluar dari mulutnya hanya akan memicu luka baru.
Namun ada satu hal yang membuatnya tetap bertahan.
Aditya.
Namun saat kehadiran Nadia, semua mulai berubah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CEMBURU
Pagi itu masih sunyi. Kabut tipis menggantung rendah di antara pepohonan ketika mobil Adit perlahan berhenti di depan rumah Nadia. Mesin mobilnya berdengung lembut sebelum akhirnya ia matikan, membuat suasana sekitar kembali tenggelam dalam keheningan yang menggantung.
Rumah Nadia tampak tenang—terlalu tenang. Cahaya matahari yang baru muncul hanya menyentuh sedikit bagian teras, memberi warna keemasan pada daun-daun yang masih basah oleh embun. Pintu rumah tertutup rapat, tirai jendela masih menutup, seakan penghuninya belum benar-benar terjaga.
Adit diam beberapa detik di balik kaca depan. Napasnya mengembun tipis, dadanya naik turun perlahan. Ada sesuatu yang berat menekan pikirannya sejak semalam, tentang Nadia. Tentang janin yang ada di dalam kandungan wanita itu.
Gerakan kecil itu. Pergerakan lembut dari bayi yang tengah berkembang di rahim Nadia—sesuatu yang bahkan belum pernah ia lihat secara langsung, namun sudah mampu mengguncang hatinya.
Di perjalanan menuju kantor, sebenarnya Adit tidak berniat mampir ke mana pun. Namun entah bagaimana, mobilnya justru berbelok sendiri ke arah deretan toko yang mulai buka pagi-pagi itu. Ada dorongan halus, nyaris seperti suara hati yang membuatnya ingin menepi.
Ia turun, masih dengan pikiran yang penuh tentang bayi itu. Di salah satu toko roti kecil, aroma hangat roti baru matang menyambutnya. Ia membeli roti gandum lembut, juga segelas susu hangat yang dikemas rapi. Lalu ia pergi ke kios buah di sampingnya, memilih beberapa potong buah segar yang bagus… semuanya untuk Nadia, tapi lebih tepatnya untuk janin yang sedang bertumbuh dalam tubuh wanita itu.
Ia paham betul, bayi itu bukan darah dagingnya. Tidak ada ikatan apa pun yang seharusnya membuatnya peduli sejauh ini.
Namun justru karena tahu betapa rapuhnya hidup kecil itu… betapa beratnya masa lalu yang melingkupi kelahirannya… Adit merasa hatinya bergerak sendiri, tanpa logika, tanpa alasan yang bisa ia pahami. Seolah naluri yang selama ini tersembunyi muncul begitu saja.
"Nadia..." Sapanya sambil mengetuk-ngetuk pintu rumah sederhana itu. Sementara, sebelah lengannya lagi memegang kantong belanjaan berisi makanan itu. "Nadia, ini aku."
Hening. Tak ada jawaban. Adit kemudian menengok sebentar ke arah jendela, melihat tirai yang masih tertutup. "Nadia, ini aku." Ulangnya.
“Pak Adit.”
Suara itu muncul tiba-tiba dari arah jalanan kecil di depan pagar. Adit sontak menoleh. Seorang bapak paruh baya—tetangga Nadia, penampilannya rapi sambil membawa sekantung berisi makanan, tampaknya seporsi sarapan untuknya sebelum beraktivitas. Tatapannya heran sekaligus ramah, seperti seseorang yang terbiasa melihat siapa saja yang lewat setiap pagi.
“Pak Adit tidak pulang ke rumah semalaman?” Tanya bapak itu dengan polos, berjalan mendekat sambil tetap berada di luar pagar. “Terkunci di luar, atau bagaimana pak?”
Pertanyaan itu menghantam Adit seperti angin dingin. Bahunya sedikit menegang. Seketika ia merasa seperti tersentak dari pikirannya sendiri. Tangannya yang memegang kantong makanan ikut mengencang—seolah ia tertangkap basah melakukan sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan.
"Hmm... sa-saya..." Adit berdeham, seakan mengejutkan dirinya sendiri. "Saya—"
Krek
Suara kenop pintu bergoyang ke bawah. Nadia muncul dari dalam dan mendapati kegugupan Adit. Matanya lalu menoleh ke arah yang Adit pandangi. "Pak Hasan." Gumamnya.
"Mbak Nadia," Pria itu melempar senyum. "Suaminya gak pulang, Mbak?"
"Oh. Hmmm... I-Iya, Pak. Kebetulan, suami saya beberapa minggu ini sedang lembur kerja dan sekarang baru pulang."
Pak Hasan mengangguk sembari membulatkan bibirnya membentuk vokal O. "Kalau begitu, saya permisi dulu."
Nadia hanya mengangguk. Adit yang berdiri kaku di depan pintu, menatap punggung Pak Hasan yang perlahan menjauh sambil merapikan letak pecinya. Begitu lelaki paruh baya itu hilang di balik pagar, keheningan kembali turun seperti kabut tipis.
"Mas, kamu pagi-pagi sekali sudah datang ke rumah," Kata Nadia memecah keheningan.
Adit lalu mengangguk sembari memberikan sekantung makanan yang sedari tadi di jinjingnya. "Untukmu. Bayi yang ada dalam kandungan kamu. Ambillah."
Nadia sempat ragu, namun perlahan, ia mengambil kantung itu dengan kedua tangan—seolah takut kantung plastik ringan itu bisa pecah hanya karena sentuhan kecilnya. Jemarinya sedikit gemetar. “Terima kasih…” Ucapnya pelan, hampir tak terdengar.
"Pak Hasan itu..."
"Dia wakil RT di kampung ini." Potong Nadia seolah tahu kemana arah pertanyaan Adit tertuju. "Dia memang seperti itu orangnya. Terlalu lancang di bilang perhatian, dan terlalu bebas untuk di bilang ramah."
Adit hanya mengangguk.
"Meski begitu, waktu pamanku dibawa oleh polisi dan sekarang mendekam di penjara karena kasus judi online, juga... Pak Hasan yang lebih dulu bergerak cepat untuk menenangkan warga sekitar." Lirih Nadia. "Mas?" Matanya menangkap penuh wajah Adit. "Apa kamu keberatan untuk tinggal bersamaku di sini dua atau tiga hari?"
Pertanyaan itu jatuh begitu pelan, namun efeknya menghantam dada Adit lebih keras dari apa pun. Ia terdiam. Detik-detik panjang menggantung di udara, sementara Nadia masih menatapnya—dengan mata yang tak sepenuhnya berani berharap, tapi juga tak sanggup menyembunyikan rasa takutnya.
Tak lama, ponsel Adit bergetar di saku celananya. Suaranya pelan, tapi di sela-sela ketegangan mereka itu getarannya terasa jelas—memotong kesunyian di antara mereka seperti pisau tajam.
Adit mengeluarkan ponselnya kemudian. Layarnya menyala dan sepotong nama yang muncul membuat dadanya langsung mengeras.
Asha.
"Siapa, Mas?" Tanya Nadia.
Adit menghela udara lalu dihembuskannya perlahan. "Istriku."
Jawaban itu membuat bahu Nadia merosot halus. Kepalanya menunduk, pandangannya menjauh, mencoba menyembunyikan rasa yang tiba-tiba menusuk—rasa yang tidak seharusnya ada, tapi tetap saja muncul.
Adit menatap punggungnya sejenak, ada dorongan untuk menjelaskan, menenangkan, atau sekadar berkata maaf… namun lidahnya kelu.
Ponsel bergetar lagi di tangannya.
Dan dengan gerakan pelan, hampir ragu, Adit memutar tubuhnya menjauh dari Nadia. Jemarinya menekan tombol hijau, mengangkat panggilan itu. “Halo, sayang…” suaranya terbit pelan, terbelah antara dua dunia yang sama-sama menuntut dirinya.
Sementara, Kata sayang yang terdengar di telinga Nadia itu menyeruak jelas ke telinganya, menusuk lebih dalam daripada yang ia sangka. Tatapannya perlahan meredup, dan di dadanya muncul sesak yang sulit dijelaskan. Ia tak mendengar seluruh percakapan Adit dengan Asha—yang ia tangkap hanya satu kata itu. Satu kata yang menegaskan jarak, batas, dan kenyataan.
"Mas, kamu udah berangkat kerja?"
"Um... iya, sayang. Maafin aku ya, aku gak sempat pamit sama kamu. Aku takut, kamu bangun."
"Mas, bangun pagi kan harus. Kenapa hari ini kamu biarin aku tidur sementara kamu sibuk sendiri bahkan yang nyiapin baju kamu aja, kamu sendiri, Mas."
Adit menggaruk-garuk kepala yang tak terasa gatal. "Iya, sayang. Aku merasa kamu capek karena dinner kita kemarin malam. Jadi, aku pikir kamu perlu istirahat yang cukup. Maafin aku ya, sayang."
"Ya udah Mas, gak apa-apa. Hari ini, aku ada jadwal ngajar sampai sore. Aku gak akan bawa mobil hari ini, kalau kamu gak keberatan... kamu yang jemput aku nanti ya, Mas?"
Adit merapatkan bibirnya.
"Mas?"
"Hmm. I-Iya, sayang. Nanti aku kabari lagi, ya."
"Ya udah kalau gitu, kamu semangat kerja hari ini ya, Mas."
"Makasih ya, sayang. Kamu juga semangat ngajarnya. Love you. "
Nadia menelan saliva mendengar kata itu meluncur dari bibir Adit. Ada getar halus yang menyayat hatinya. Cemburu.
****