Berada di titik jenuh nya dalam pekerjaan Kania memutuskan resign dari pekerjaan dan menetap ke sebuah desa. Di mana di desa tersebut ada rumah peninggalan sang Kakek yang sudah lama Kania tinggalkan. Di desa tersebutlah Kania merasakan kedamaian dan ketenangan hati. Dan di desa itu jugalah, Kania bertemu dengan seorang, Bara.
Season 2 : 35. Pernikahan di Lembah Bintang
Dua bulan kemudian. Sore hari menjelang senja. Area upacara dihiasi kain tenun dan bunga sedap malam, dengan latar belakang Bukit Bintang.
Kania berdiri di altar sederhana di tengah kebun kopi. Ia mengenakan gaun pengantin sederhana namun elegan, perpaduan antara sutra dan tenun. Bara menunggunya, terlihat gagah dalam balutan jas yang dipadukan dengan aksen tradisional.
Musik tradisional Sunda mengalun indah, suara angin lembut, dan kicauan burung.
Ayah Kania, Mr Haryo, menyerahkan tangan Kania pada Bara. Air mata bahagia terlihat di wajah Ibu Wati dan Ibu Sinta. Seluruh Desa Ranu Astri, termasuk Radit dan Dini yang bertindak sebagai wedding organizer dadakan.
Setelah prosesi ijab kabul, Bara dan Kania berdiri berhadapan untuk mengucapkan janji pribadi mereka.
Bara menatap Kania, suaranya terdengar mantap dan sungguh-sungguh. “Kania. Dulu aku berjanji padamu dengan kata-kata cinta yang aku sangka sudah cukup. Ternyata tidak. Hari ini, aku berjanji padamu dengan pondasi yang sudah kita bangun. Aku berjanji untuk selalu menjaga kepercayaan ini, melindunginya dari rasa cemburu, dan dari keraguan diriku sendiri. Aku berjanji untuk menjadi akar yang menumpang segala mimpi-mimpimu.”
Kania menahan air mata haru. “Mas Bara. Aku berjanji akan selalu menjadi pasangan-mu. Aku berjanji tidak akan pernah meninggalkan rumah ini, baik itu pondok yang kita bangun, maupun hati yang sudah kita jaga. Aku berjanji untuk terus membawakanmu cahaya bintang yang bersinar, dan memastikan kamu tidak akan merasa sendiri lagi. Aku mencintaimu, Mas Bara.”
Mereka bertukar cincin, dan Bara mencium Kania di bawah senja yang mulai mewarnai langit.
Malam Hari.
Resepsi diadakan di teras Kedai Senja yang dihiasi lampu-lampu indah. Mr Haryo dan Ibu Wati berdansa sebentar, melambangkan penyatuan dua dunia yang berbeda.
Bara dan Kania menyelinap pergi. Mereka berjalan ke bukit kecil di mana rumah mereka hampir selesai.
Kania melihat ke sekeliling, dari rumah baru mereka sampai ke kebun kopi. “Ini adalah akhir yang paling indah, Mas Bara.”
Bara memeluk Kania dari belakang. “Ini bukan akhir, Sayang. Ini adalah awal dari perjalanan kita yang abadi.”
Mereka berdiri di tempat yang kini menjadi rumah mereka, menatap langit Desa Ranu Asri yang dipenuhi miliaran bintang, mendengarkan Senandung Hening yang kini benar-benar damai dan milik mereka.
Kamar Pengantin di Rumah Baru Mereka di kebun kopi. Kamar itu sederhana, tetapi dipenuhi cahaya lilin dan aroma bunga.
Kania dan Bara memasuki kamar pengantin mereka. Pakaian pengantin sudah ditanggalkan, kini mereka hanya mengenakan pakaian tidur yang nyaman. Cahaya lilin menari, menciptakan bayangan lembut di dinding kayu. Terdengar suara jangkrik dari luar yang menenangkan.
Bara berjalan ke arah Kania, meraih tangannya. Ia menatap Kania. Tatapannya kini bukan lagi tatapan kekasih yang bersemangat, melaintakan tatapan suami yang penuh rasa syukur dan tanggung jawab.
“Kita berhasil, Kani. Kita melewati badai dan membangun ini.”
Mata Kania berkaca-kaca. “Kita berhasil, Mas Bara. Aku mencintaimu.”
Bara tidak berkata apa-apa lagi. Ia mengangkat tangan Kania dan mencium telapak tangannya yang halus, sentuhan yang dipenuhi rasa sayang yang mendalam.
Mereka saling berpelukan erat. Pelukan yang bukan hanya menyatukan tubuh, tetapi menyatukan dua jiwa yang telah berjuang keras untuk saling percaya dan saling memiliki.
Di kamar sederhana itu, Bara tidak lagi mencium pasangannya yang cerdas dari kota, dan Kania tidak lagi mencium petani yang dulu penuh keraguan. Mereka adalah suami dan istri, meleburkan semua masa lalu, semua keraguan, dan semua pertarungan menjadi satu ikatan yang abadi.
Mereka berdua bergerak ke tempat tidur, lampu dipadamkan, hanya menyisakan cahaya lilin yang hangat. Keheningan yang hanya diisi oleh nafas yang saling bersahutan.
Malam itu, di rumah yang mereka bangun dengan keringat dan kejujuran, komitmen mereka disegel, dan janji mereka dikukuhkan dengan kehangatan yang tak terlukiskan. Kania tahu, di pelukan Bara, ia telah menemukan akar sejati dan kedamaian yang ia cari selama ini.
Pagi Harinya.
Kania dan Bara sudah bangun. Kania berdiri di dapur kayu sederhana rumah baru mereka. Bara, dengan pakaian santai, sedang melakukan ritual pertamanya di dapur itu; menyeduh kopi. Ia menggunakan grinder manual kecilnya. Terdengar suara grinder kopi yang lembut, dan suara Bara yang bersenandung pelan.
Kania bersandar di kusen pintu, mengamati Bara. Tidak ada lagi teras rumah mewah, tidak ada lagi kecemasan. Hanya Bara, di tengah kebun kopinya, menyeduh kopi untuknya.
“Kamu terlihat bahagia sekali pagi ini, Tuan Bara.” Ujar Kania dengan suara lembutnya.
Bara tersenyum, tanpa menoleh. “Aku sedang membuat kopi pertama di rumah kita, Kani. Rasanya…lebih enak dari kopi mana pun yang pernah kubuat. Kau harus lihat.”
Bara menuang kopi ke dua cangkir, lalu berjalan ke teras, tempat Kania sudah duduk di bangku kayu.
Mereka duduk berdampingan, menyesap kopi panas. Dari sini, mereka bisa melihat seluruh kebun kopi yang kini menjadi milik mereka berdua.
Kania menatap Bara. “Kau tahu, saat aku di kota, aku selalu berpikir, aku akan kembali ke sini hanya jika aku bisa membuatmu meninggalkan kecemburuanmu. Dan kau melakukannya.”
Bara meraih tangan Kania, mencium buku jarinya. “Itu adalah tantangan yang paling berharga. Aku berjanji, setiap kopi yang ku seduh dirumah ini, setiap panen yang kita dapatkan, adalah janji bahwa aku akan selalu percaya padamu.”
“Aku percaya” angguk Kania.
Mereka berdua menikmati kopi dalam keheningan yang lama, keheningan yang terasa berbeda—penuh kepastian, bukan lagi penuh keraguan.