Willie, seorang pengusaha muda yang sukses, hidupnya hancur seketika ketika sang istri, Vira meninggal secara tragis setelah berusaha membuka kasus pemerkosaan yang melibatkan anak didiknya sendiri.
Kematian Vira bukan kecelakaan biasa. Willie bersumpah akan menuntut balas kepada mereka yang telah merenggut keadilan dan istrinya.
Namun di balik amarah dan tekadnya, ada sosok kecil yang menahannya untuk tidak tenggelam sepenuhnya, putri semata wayangnya, Alia.
Alia berubah menjadi anak yang pendiam dan lemah sejak kepergian ibunya. Tidak ada satu pun yang mampu menenangkannya. Hanya seorang guru TK bernama Tisha, wanita lembut yang tanpa sengaja berhasil mengembalikan tawa Alia.
Merasa berhutang sekaligus membutuhkan kestabilan bagi putrinya, Willie mengambil keputusan untuk melakukan pernikahan kontrak dengan Tisha.
Willie harus memilih tetap melanjutkan dendamnya atau mengobati kehilangan dengan cinta yang tumbuh perlahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cerita Tina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sakit
Beberapa pasang mata masih menatap Tisha. Ia menoleh ke seluruh ruangan. Aina dan Anton tampak asyik bercengkerama dengan relasinya. Aina memangku Alia tanpa menyadari apa yang baru saja terjadi.
Tisha melirik ke atas. Terdengar tawa laki-laki, riuh dan ringan. Mereka terlihat bersenang-senang.
Dadanya terasa sesak. Tak pikir panjang, Tisha melangkahkan kakinya ke luar. Begitu pintu utama terbuka, hujan menyambutnya dengan deras.
Tisha berdiri di teras. Kata-kata para perempuan tadi masih bergaung di kepalanya, menjadi gema yang menyayat.
Tanpa disadari, air matanya jatuh. Perlakuan serendah itu belum pernah ia terima sebelumnya dari siapa pun.
“Aku ingin pulang saja,” gumamnya.
Ia melangkah, menerobos hujan, berjalan cepat menuju gerbang.
Di lantai atas, Willie berdiri di tepi jendela. Tanpa sengaja, matanya menangkap sosok perempuan yang berjalan sendirian di tengah hujan.
Jantungnya seperti terhenti sepersekian detik. “Tisha…” lirihnya.
Willie segera berlari menuruni tangga, tak lagi peduli tatapan siapa pun. Tangannya meraih payung di dekat pintu masuk, lalu ia menerobos hujan yang turun semakin deras.
“Tisha!” panggilnya begitu melangkah keluar gerbang.
Jalanan tampak lengang, basah, dan sepi. Ia melangkah lebih jauh, menyusuri sisi jalan, menoleh ke kanan dan kiri.
“Tisha!” serunya lagi, kali ini lebih keras.
Ia mulai panik. Tisha sudah tidak ada. Ia tidak mungkin salah mengenalinya tadi.
Dadanya terasa mengencang. Willie berhenti di tengah jalan, lalu buru-buru mengeluarkan ponselnya.
Ia menekan panggilan ke nomor Tisha.Nada sambung terdengar panjang, namun Tisha tidak mengangkatnya. Ia mencoba lagi sampai beberapa kali. Namun tetap sama.
Di pikiran Willie muncul bayangan wajah Tisha yang menahannya, genggaman di lengannya yang meminta ia tetap di sampingnya, kini berkelebat satu per satu.
Willie mengusap wajahnya dengan kasar. Hujan terdengar menepuk-nepuk payung di atas kepalanya, dingin mulai terasa. Tapi yang paling menusuk adalah timbul rasa bersalah dihatinya.
“Seharusnya aku tidak meninggalkannya tadi.” gumamnya kesal pada diri sendiri.
Willie kembali masuk ke rumah itu. Pandangannya langsung menyusuri seluruh ruangan, mencari orang tuanya dan Alia.
Ia menemukan mereka di kamar tamu. Alia sudah terlelap di atas ranjang. Kedua orangtuanya berada di sisi Alia.
Aina menoleh saat Willie masuk. “Alia sudah tidur. Dia menginap saja di sini malam ini. Tidak apa-apa, kan?” tanyanya.
Willie mengangguk. “Iya, Ma.”
Anton menepuk bahunya, “Ambil kesempatan ini. Habiskan waktu berdua dengan istrimu,” ujarnya sambil terkekeh kecil.
Willie hanya mengangguk. “Baik. Kalau begitu, Willie pamit pulang dulu.”
Ia segera keluar, lalu melangkah cepat menuju parkiran. Begitu masuk ke mobil, ia menyuruh sopirnya untuk menyetir arah pulang.
Di dalam perjalanan, pikirannya gelisah. Ia berharap Tisha sudah pulang ke rumah.
***
Di sisi lain, Tisha sudah berada didalam taksi yang dipanggilnya beberapa saat lalu. Matanya memandang kosong ke arah luar jendela mobil.
Pikirannya tiba-tiba teringat kepada Alia. "Dia pasti baik-baik saja kan bersama kakek dan neneknya." Batinnya.
Dingin mulai terasa ditubuhnya, Tisha sedikit gemetar. Ia menoleh ke jalanan di depan mobil itu.
"Sebentar lagi sampai," pikirnya.
Beberapa saat kemudian, taksi itu berhenti didepan rumah. Tisha segera menekan sandi di pintu dan langsung masuk. Ia berjalan sambil memeluk tubuhnya yang gemetaran.
Ratih muncul dari ruang tengah, ia sangat kaget melihat Tisha pulang dalam keadaan basah kuyup. Ia segera lari mengambil handuk dan menyelimuti tubuh tisha.
"Ya ampun... Bu, kenapa Anda basah begini?"
Ratih melirik ke arah pintu, namun tidak ada tanda-tanda keberadaan Willie dan Alia.
Tisha masih tidak menjawab, Ratih kembali bertanya, "Apa yang terjadi, kenapa anda pulang sendiri?"
Tisha menoleh, "Bi, saya mau Istirahat dulu ya."
Tanpa menunggu jawaban, Tisha melanjutkan langkah menuju kamarnya. Lalu ia langsung ke kamar mandi dan menyalakan shower. Air hangat mengguyur tubuhnya yang terduduk lemas dan masih lengkap dengan gaun tadi.
Setelah beberapa saat, ia bangun dan menatap wajahnya di cermin dikamar mandi itu. Ada bekas maskara yang luntur dibawah matanya.
"Kupikir aku hanya akan merawat Alia saja, aku tak menyangka akan sampai ke titik ini." Ucapnya terisak.
Jari-jarinya mengusap airmata yang jatuh dikedua sisi pipinya. Lalu ia segera membersihkan dirinya dan memakai baju tidur yang hangat.
Willie tiba di rumah dan mendapati Ratih berjalan dari arah dapur menuju kamar Tisha.
“Bi,” panggilnya. “Tisha sudah pulang?”
Ratih mengangguk. “Sudah, Tuan.”
Raut wajah Ratih menunjukkan kebingungan yang sejak tadi ditahannya.
“Tuan… boleh saya bertanya?” ucapnya hati-hati. “Kenapa Bu Tisha pulang sendiri, dalam keadaan basah kuyup dan gemetaran?”
Willie terdiam. Ada hentakan kecil di dadanya. Namun ia memilih tidak menjawab. Ia hanya menggeleng pelan.
Pandangan Willie jatuh pada nampan dan secangkir minuman hangat yang dipegang oleh Ratih.
“Itu untuk Tisha?” tanyanya.
“Iya, Tuan.”
Willie memberi isyarat singkat.
“Panggilkan dia.”
Ratih mengangguk lalu mengetuk pintu kamar Tisha pelan sampai beberapa kali.
“Bu… saya bawakan teh hangat.”
Di dalam kamar, Tisha baru saja mematikan hair dryer. Ia segera membuka pintu.
Begitu pintu terbuka, ia kaget melihat Willie sudah berdiri di depan pintu kamarnya.
“Pak Willie,” ucapnya lirih.
Willie mengambil alih nampan dari tangan Ratih tanpa banyak bicara, lalu melangkah masuk. Ratih berbalik badan meninggalkan mereka berdua.
Tisha tanpa sadar mundur beberapa langkah. Willie menutup pintu kamar dan meletakkan nampan di atas meja. Ia lalu berbalik, menatap Tisha.
“Katakan apa yang terjadi.”
Tisha menunduk. Kepalanya menggeleng.
Willie menarik napas pendek.
“Jangan sembunyikan apapun. Kenapa kau pulang sendiri tengah hujan?”
Tisha hanya diam. Nada suara Willie mengeras, bukan marah tapi lebih pada menahan cemas.
“Tolong katakan.”
Beberapa detik berlalu, akhirnya Tisha menjawab. “Saya sudah menahan rasa kesal setengah mati dalam menghadapi Anda seorang,” ucapnya dingin, tanpa menatap ke arah Willie.
“dan malam ini saya harus menghadapi mereka segerombolan.” ketus Tisha.
Tangannya mengepal di sisi tubuh. “Itu terlalu melelahkan untuk saya.”
Willie merasa hatinya mencelos, saat tahu bahwa ia dan keluarga besarnya menjadi penyebab kekesalan Tisha.
"Maaf." gumam Willie.
Tisha menyela cepat, "Saya ingin istirahat, tolong keluar."
Willie mengangguk, "Baiklah, jangan lupa minum ini supaya badanmu hangat." ujarnya.
Sebelum Willie keluar, ia sempat sekilas menatap Tisha sekali lagi. Lalu menutup pintu kamar itu meninggalkan Tisha dengan hatinya yang kacau.
kopi untuk mu