"Jangan lagi kau mencintaiku,cinta mu tidak pantas untuk hatiku yang rusak"
Devan,mengatakannya kepada istrinya Nadira... tepat di hari anniversary mereka yang ke tiga
bagaimana reaksi Nadira? dan alasan apa yang membuat Devan berkata seperti itu?
simak cerita lengkapnya,di sini. Sebuah novel yang menceritakan sepasang suami istri yang tadinya hangat menjadi dingin hingga tak tersentuh
Jangan lupa subscribe dan like kalo kamu suka alur ceritanya🤍
Salam hangat dari penulis💕
ig:FahZa
tikt*k:Catatan FahZa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tulisan_nic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Belajar jadi suami
"Aku di mana?"
Mata Nadira mengerjap-ngerjap,menatap ke sekeliling.
Interior kamar yang asing membuatnya lupa kalau saat ini ia sedang berada di apartemen Henry.
"Oh...iya aku sedang bersama Henry.Tapi kenapa nyenyak sekali tidurku malam ini.Apa karena rasa aman berada di sini?"
"Iya,aku merasa Henry sangat menjagaku."
Nadira mengelus perutnya perlahan,ada sedikit perubahan di sana.Tidak terlalu rata,seperti permukaan yang sedikit menonjol."Nak,kamu betah ya disini?" Sambil tersenyum,Nadira merasa janin dalam kandungannya sudah bisa mendengar suaranya.
***
Nadira membuka pintu kamar pelan-pelan, langkahnya masih berat oleh kantuk. Cahaya lembut dari luar membuat wajahnya tampak terang alami.
Henry sudah berada di sofa balkon.Memegang cangkir kopi. Nadira berjalan mendekatinya,dengan senyuman.
Mendengar langkah mendekat. Henry menoleh,melihat Nadira yang tersenyum ia pun tersenyum tipis.Hangat dan tenang.
“Kau sudah bangun?" Henry bertanya sambil menaruh cangkir kopinya di meja.
“Iya aku terbangun dan hampir lupa aku dimana"
Henry tertawa kecil mendengar pengakuan itu. "Memangnya kau di mana?"
"Entahlah,aku merasa sedang berada di tempat yang aman dan nyaman.Seperti sedang di jaga 24 jam".
"Itu,berlebihan."
"Aku benar-benar merasakannya,dan tidurku tidak merasakan apa-apa"
"Tidurmu nyenyak ya?"
"Iya,aku rasa bayiku juga merasakannya."
Henry menaikkan bahu sedikit,"Bayimu,cepat sekali beradaptasi"
Nadira mengangguk pelan,setuju dengan apa yang Henry katakan.
Henry menggeser cangkirnya,kembali menatap langit yang masih pucat.Nadira memegang sandaran sofa. wajahnya menegang seperti sedang menahan sesuatu dari dalam tubuhnya.
Ia menarik napas pendek, lalu menutup mulut dengan punggung tangan.Bahunya naik turun cepat, tanda gelombang mual datang tanpa aba-aba.
Henry langsung mendongak.
“Nadira?”
Nadira menggeleng pelan, matanya terpejam.
“Sebentar,perutku agak…begini lagi.”Ia menelan ludah keras.Aroma kopi di udara yang tadinya menenangkan, kini seperti menusuk hidungnya.Wajahnya memucat tipis, keringat dingin muncul samar di pelipis.
Henry buru-buru memindahkan cangkir kopinya menjauh, perlahan mendekat.“Nadira, duduklah” ujarnya panik.
Nadira merosot duduk perlahan, memegang bagian bawah perutnya seakan mencari kestabilan.Ia mengatur napas, pelan- pelan,sampai gelombang mualnya surut.
“Maaf,” bisiknya, tersenyum lemah.“Bayinya selalu protes setiap pagi.”
Henry menatap cemas.“Kenapa malah meminta maaf?
apa aku harus memanggil dokter untukmu?"
Nadira tertawa kecil,meski masih pucat,"Tidak perlu. Kau seperti sedang belajar menjadi seorang suami Henry".
Tatapan cemas Henry berangsur memudar,senyuman tipis karna ucapan Nadira barusan membuatnya terlihat karismatik.
"Apa yang akan suami lakukan jika menghadapi istri yang sedang hamil seperti mu Nadira?"
"Biasanya,yang aku tonton di drama-drama.Para suami akan panik menghadapi istri yang sedang begini"
"Panik? Kenapa?"
"Ia merasa tidak tega melihat istrinya kesakitan, mungkin" Nadira sedikit menaikkan bahunya.
"Berarti,tadi aku sudah seperti suami untukmu?"
Pertanyaan Henry tidak langsung Nadira jawab,ia pura-pura merapikan rambutnya sambil menatap ke arah lain.
Henry menunduk,senyum tipis masih menghiasi wajahnya.'Kau kekasihku,wajar saja aku mencemaskanmu' lirihnya dalam hati.
"Nadira,apa kau mau sarapan? Aku akan membuatkannya untukmu?"
"Ehm...kau bisa masak?"
"Jangan ragukan kemampuan ku"
"Benarkah?"
"Ayo,aku akan buktikan padamu".
***
Meja makan kecil itu sudah tertata rapi ketika Nadira berjalan menghampiri.Langkahnya pelan, satu tangan masih memegang sisi pinggang seperti menstabilkan tubuhnya dari sisa mual.
Di atas meja, roti gandum panggang tersusun dalam piring keramik putih, masih hangat.Uap tipisnya melayang seperti garis kabut yang perlahan hilang di udara. Aroma gandumnya ringan,pas untuk perut yang sensitif.
Henry berdiri di dapur, membalik telur orak-arik lembut di wajan. Ia menoleh sebentar, memastikan Nadira duduk dengan nyaman sebelum melanjutkan gerakannya yang tenang dan terlatih.
Nadira menarik kursi perlahan dan duduk. Ia menatap roti itu sejenak, ekspresi lega muncul tanpa kata.
Henry datang membawa dua piring.
“Try the bread first,” katanya lembut sambil meletakkan piringnya di hadapan Nadira.
“It’s easier on your stomach.”
Nadira merobek sedikit ujung roti itu. Teksturnya renyah di luar, tapi empuk di bagian tengah. Ia mengunyah perlahan,hampir hati-hati.Rasa mual yang tadi masih membayangi pelan-pelan memudar.
Henry memperhatikan,dengan tatapan singkat. memastikan ia baik-baik saja, lalu kembali menata sendok garpu agar mudah dijangkau Nadira.
“Bagaimana?” tanyanya, suaranya serendah bisikan pagi.
“Baik,” jawab Nadira pelan.
“Roti ini… tidak membuatku mual.”
Henry mengangguk kecil, lalu duduk di seberang.
“Good. You need something simple to start the day.”
Roti gandum itu menjadi semacam jembatan,hal kecil yang membuat pagi yang kacau berubah menjadi lebih lembut, lebih tenang, dan entah bagaimana… terasa lebih dekat.
*
*
*
~ Henry belajar jadi suami untuk ibu hamil? ,emang boleh?
~ Salam hangat dari Penulis 🤍