Alya, gadis kelas 12 yang hidup sederhana, terkejut saat mengetahui ayahnya terlilit hutang besar pada Arka Darendra — CEO muda paling berpengaruh di kota itu.
Saat debt collector hampir menyeret ayahnya ke polisi, Arka datang dengan satu kalimat dingin:
“Aku lunasi semuanya. Dengan satu syarat. Putrimu menjadi istriku.”
Alya menolak, menangis, berteriak—tapi ayahnya memaksa demi keselamatan mereka.
Alya akhirnya menikah secara diam-diam, tanpa pesta, tanpa cinta.
Arka menganggapnya “milik” sekaligus “pembayaran”.
Di sekolah, Alya menyembunyikan status istri CEO dari teman-temannya.
Di rumah, Arka perlahan menunjukkan sisi lain: posesif, protektif, dan… berbahaya.
Mereka tinggal seatap, tidur sekamar, dan gairah perlahan muncul—walau dibangun oleh luka.
Konflik berubah ketika masa lalu Arka muncul: mantan tunangan, dunia bisnis yang penuh ancaman, dan rahasia gelap kenapa ia sangat tertarik pada Alya sejak awal.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34: Izin untuk Jujur
Setelah badai air mata dan amarah mereda, keheningan yang tersisa di kamar tidur utama adalah keheningan yang penuh dengan kejujuran yang pahit. Arka dan Alya masih berpelukan, berbaring berdampingan di ranjang, di bawah selimut tebal, tetapi kini mereka berbicara. Ini adalah percakapan pertama mereka yang benar-benar jujur, tanpa sandiwara, tanpa peran tuan dan tawanan.
Alya melepaskan diri sedikit dari dada Arka, matanya menatap langit-langit yang gelap.
“Tuan Arka,” kata Alya, suaranya tenang. “Saya ingin jujur. Anda sudah jujur tentang ketakutan Anda, sekarang giliran saya. Saya tidak ingin Anda membuat keputusan berdasarkan emosi semata.”
Arka membalikkan tubuh, menopang kepalanya dengan satu tangan, menatap Alya. “Bicaralah, Alya. Aku mendengarkan. Semua yang ada di hatimu.”
“Saya takut,” akunya. “Bukan hanya takut menjadi Aida. Saya takut dengan masa depan saya. Saya masih 18 tahun, Tuan Arka. Saya tidak siap menjadi Nyonya Darendra. Saya belum lulus. Saya ingin bersekolah, tetapi gosip itu… bagaimana jika saya pergi ke sekolah dan semua orang menatap saya sebagai gadis yang diculik dan dipaksa menikah?”
Alya melanjutkan, nadanya kini penuh kerentanan. “Saya juga takut dengan diri Anda. Saya mencintai Anda, ya, saya mengakuinya. Tapi cinta ini terasa seperti bom waktu. Saya takut Anda akan marah lagi dan menarik saya menjauh dari semua yang saya sukai. Saya takut, jika saya tidak bisa memberikan Anda apa yang Anda inginkan—misalnya, ahli waris—Anda akan menceraikan saya dan saya akan kembali menjadi siapa-siapa, dengan nama yang sudah hancur.”
Arka mendengarkan setiap kata, raut wajahnya berubah menjadi kesedihan yang mendalam.
“Kau pantas mendapatkan kejujuran yang sempurna dariku, Alya. Dan aku akan memberikannya. Mengenai kekhawatiranmu, aku berjanji: Aku telah memerintahkan tim hukum untuk memproses izinmu kembali bersekolah. Aku akan memastikan kau memiliki perlindungan yang mutlak. Mengenai gosip, kita akan menghadapinya bersama. Dan ahli waris… itu tidak penting. Yang penting adalah kau, Alya. Hanya kau.”
Arka menarik napas panjang. Dia tahu, ini adalah saatnya untuk mengungkap rahasia yang ia simpan selama bertahun-tahun—rahasia yang menjadi alasan sejati di balik obsesi awalnya.
“Kau bertanya mengapa aku memilihmu, Alya. Ya, kau mirip Aida. Itu benar. Tetapi bukan itu alasan aku memilihmu. Itu hanya memicu aku untuk mencarimu lebih keras,” kata Arka, matanya kini berkaca-kaca karena kenangan masa lalu.
“Alasan aku mencarimu bertahun-tahun, alasan aku tahu siapa dirimu, siapa orang tuamu, dan hutang keluargamu… itu kembali jauh, jauh sebelum Aida. Itu kembali ke saat aku masih kecil, saat aku seumuran dirimu ketika kau bertemu denganku pertama kali, sekitar 10 tahun.”
Flashback Kecil: Masa Lalu yang Terlupakan
Arka mulai menceritakan, suaranya pelan, hampir berbisik.
“Waktu itu, Darendra Group belum sebesar ini. Ayahku berselisih dengan salah satu mitra bisnisnya. Aku, sebagai anak tunggal, diincar sebagai sandera. Aku tidak ingat banyak, hanya ingat aku diculik dari sekolah dan dibawa ke gudang tua yang dingin di pinggiran kota.”
Alya mendengarkan, matanya terpaku pada wajah Arka.
“Aku dipukuli, Alya. Mereka ingin aku menyampaikan pesan pada ayahku. Aku berdarah dan ketakutan. Aku sendirian selama dua hari, dan aku yakin aku akan mati di sana. Aku tidak berani bergerak, aku tidak berani menangis.”
“Sampai pada malam kedua, ada anak perempuan kecil yang menyelinap masuk ke gudang itu. Dia kira gudang itu kosong. Dia datang untuk mencari kucingnya yang hilang. Dia adalah gadis kecil yang kotor dan kurus, tapi matanya… matanya penuh dengan keberanian dan api yang sama sepertimu sekarang.”
“Dia melihatku. Berdarah dan terikat. Dia tidak lari. Dia mendekatiku, dengan gemetar, dan dia berbisik, ‘Jangan takut. Aku akan membantumu.’ Dia tidak bisa melepaskan tali di tanganku, jadi dia hanya memberiku sepotong roti yang sudah dingin dan botol air kumal. Dia menyanyikan lagu anak-anak untukku, lagu yang sangat konyol, tapi lagu itu membuatku merasa aman.”
Alya menahan napas. Dia merasa ada lapisan ingatan yang kabur, samar-samar.
“Dia tidak bisa menyelamatkanku, Alya. Dia hanya anak kecil. Tapi dia berjanji akan kembali dengan polisi. Dan dia melakukannya. Polisi tiba setengah jam kemudian. Aku selamat. Dan pria yang menculikku ditangkap.”
Arka menatap Alya, matanya penuh air mata.
“Sejak hari itu, aku mencari gadis itu. Gadis yang memberiku kekuatan untuk bertahan hidup. Aku tidak ingat namanya. Aku hanya ingat wajahnya yang kotor dan matanya yang berani. Aku mencari di semua sekolah, di semua panti asuhan. Ketika aku bertemu Aida, dia sangat mirip, jadi aku pikir... mungkin itu dia. Aku mencintai Aida dengan pemikiran dia adalah gadis yang menyelamatkanku.”
Arka meraih tangan Alya. “Tapi Aida meninggal. Dan aku kehilangan harapan. Sampai suatu hari, aku melihat foto dirimu, Alya. Foto di profil media sosial teman sekelasmu. Dan aku melihat nama belakangmu: Santoso. Itu nama keluarga yang sama dengan nama yang dicatat polisi sebagai saksi cilik. Aku melakukan penyelidikan, aku melihat foto masa kecilmu, dan aku menyadari… Kaulah gadis itu, Alya.”
“Kau yang menyelamatkanku. Kau yang memberiku roti dan air, kau yang membuatku aman. Sejak saat itu, aku tahu. Aku harus memilikimu. Aku tidak bisa membiarkanmu hilang lagi. Obsesi itu, Alya, bukan hanya karena Aida. Itu karena janji masa kecil yang harus aku penuhi: aku harus melindungimu. Selamanya.”
Alya Syok dan Tersentuh
Alya terdiam. Dia syok. Kisah yang didengarnya begitu fantastis, begitu sinematik. Dia berusaha mengingat, tetapi ingatannya tentang masa kecil sangat kabur. Gudang? Kucing? Roti? Samar-samar, ada bayangan.
“Aku… aku tidak ingat. Aku hanya ingat aku pernah mencari kucingku, Si Miko, di gudang tua. Dan aku melihat seorang anak laki-laki… yang terluka,” bisik Alya.
Arka mengangguk, matanya bersinar dengan kelegaan. “Itu kau, Alya. Kaulah alasanku hidup hari ini. Aku tidak menikahi pengganti. Aku menikahi penyelamatku, takdirku.”
Air mata Alya kini mengalir lagi, tetapi ini adalah air mata kelegaan. Dia bukan korban yang dipilih secara acak. Dia bukan bayangan dari masa lalu yang tragis. Dia adalah takdir. Dia adalah alasan mengapa Arka Darendra hidup dan bernapas.
Semua obsesi Arka, semua kontrol, semua perlindungan yang mematikan, kini masuk akal. Itu bukan karena trauma Aida, melainkan karena utang nyawa yang tidak terbayar, dikemas dalam ketakutan akan kehilangan.
Alya meraih wajah Arka. “Mengapa Anda tidak pernah memberitahu saya?”
“Bagaimana aku bisa memberitahumu? Aku adalah pria yang memaksa gadis muda untuk menikah dengannya. Aku adalah penculikmu. Aku takut kau akan lari jika tahu betapa besarnya utang hidupku padamu. Aku takut kau akan merasa terbebani.”
Alya memeluk Arka dengan kekuatan baru, memeluknya bukan lagi sebagai tahanan, tetapi sebagai wanita yang kini memahami segalanya.
“Anda tidak perlu takut, Tuan Arka. Saya tidak akan lari. Anda tidak mencintai bayangan. Anda mencintai saya, Alya.”
Malam itu, semua dinding runtuh. Arka mendapatkan izin untuk jujur sepenuhnya, dan Alya mendapatkan kebenaran yang membebaskan jiwanya dari rasa menjadi korban. Cinta mereka yang rumit, kini diresmikan oleh takdir masa kecil.