Bagaimana jadinya jika seorang wanita yang dulunya selalu diabaikan suaminya bereinkarnasi kembali kemasalalu untuk mengubah nasibnya agar tidak berakhir tragis. jika ingin tau kelanjutannya ikuti cerita nya,,!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon clara_yang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Hari-hari berikutnya di rumah sakit berlalu dengan lebih ringan. Setiap pagi, matahari seolah sengaja mengirimkan cahaya lebih hangat ke dalam ruangan Kenny, membawa semangat baru bagi proses pemulihannya. Perawat yang datang rutin memeriksa kondisinya pun selalu tersenyum—bukan hanya karena kondisi Kenny membaik, tapi karena semua orang bisa melihat bagaimana Keyla merawatnya dengan sepenuh hati.
Dalam seminggu, kekuatan Kenny mulai kembali. Wajahnya tidak lagi pucat seperti sebelumnya, tubuhnya mulai bisa bergerak tanpa terlalu banyak rasa sakit, meski luka-luka di dadanya masih harus dirawat dengan sangat hati-hati. Dokter pun mengabarkan bahwa jika tidak ada komplikasi, Kenny bisa pulang dalam dua atau tiga hari lagi.
Begitu mendengar itu, Keyla tersenyum lebar. Senyum yang membuat seluruh dunia Kenny terasa lengkap.
Namun di balik semua itu, ada sesuatu yang berubah antara mereka. Sesuatu yang halus, tetapi terasa jelas. Tatapan mereka berbeda, lebih hangat, lebih terbuka. Sentuhan tangan mereka tidak lagi terselip antara rasa ragu. Dan setiap ucapan, sekecil apa pun, selalu mengandung makna yang jauh lebih dalam.
Pagi itu, Keyla datang lebih awal dari biasanya. Ia membawa dua gelas kopi dan roti panggang yang baru saja ia beli dari kafe kecil di depan rumah sakit. Rambutnya masih sedikit berantakan, seolah ia terburu-buru datang sebelum Kenny bangun.
Saat ia membuka pintu, Kenny sudah terjaga. Ia menoleh dan tersenyum lemah, namun senyum itu langsung membuat jantung Keyla berdegup lebih cepat.
“Kamu datang pagi banget,” ujar Kenny, suaranya serak namun hangat.
“Aku takut kamu bangun sendirian,” jawab Keyla sambil menaruh kopi di meja kecil. “Kalau kamu bangun sendiri nanti kamu galau.”
Kenny tertawa kecil. “Aku nggak galau. Aku cuma… kalau buka mata dan belum lihat kamu, rasanya ada yang kurang.”
Keyla membeku. Kata-kata itu sederhana, tapi membuat wajahnya memanas hingga telinga. Kenny pun baru menyadari apa yang ia katakan setelah Keyla terdiam, membuatnya tersipu sendiri.
“K-key… maksud aku bukan—”
“Aku tahu,” potong Keyla cepat, tapi pipinya merah sekali. “Aku tahu maksud kamu.”
Mereka berdua tertawa pelan. Tawa yang dipenuhi rasa malu namun juga bahagia.
Keyla menyerahkan roti panggang sambil duduk. “Harus makan dulu sebelum obat.”
Kenny mengambilnya, tetapi bukannya langsung makan ia malah memperhatikan Keyla. “Kamu makan juga.”
Keyla mengangkat alis. “Aku udah makan.”
Kenny menatapnya tajam. “Kamu bohong.”
Keyla menghela napas pasrah. “Iya… aku belum. Tapi nanti juga—”
“Key.” Kenny mengulurkan roti panggangnya. “Makan bareng.”
Keyla menatapnya lama. Ada sesuatu dalam cara Kenny memaksanya yang terasa berbeda—lebih hangat, lebih peduli. Bukan sekadar perhatian biasa, namun perhatian yang datang dari seseorang yang benar-benar mencintainya.
Mereka akhirnya makan bersama. Kenny dengan perlahan, Keyla dengan malu-malu. Tapi suasana itu begitu manis, begitu tenang. Bahkan kopi yang mereka minum terasa lebih enak dari biasanya.
Siang hari, dokter datang melakukan pemeriksaan terakhir. Ia menatap grafik dan catatan medis, lalu tersenyum puas.
“Kondisi kamu stabil dan membaik cukup cepat. Kalau malam ini tidak ada masalah, besok kamu sudah bisa pulang.”
Keyla langsung menoleh pada Kenny, matanya berbinar seperti anak kecil yang baru mendapat hadiah.
“Serius, Dok?” tanya Kenny memastikan.
Dokter mengangguk. “Serius. Tapi kamu harus tetap kontrol tiap dua hari. Luka-luka kamu masih butuh perawatan ketat. Jangan terlalu banyak aktivitas dulu.”
Kenny tersenyum. “Siap, Dok.”
Setelah dokter keluar, Keyla terlihat tidak bisa menahan kebahagiaannya. Ia berdiri dari kursi, lalu tanpa pikir panjang memeluk Kenny—pelukan singkat tapi penuh luapan emosi.
“Kamu bisa pulang…” bisiknya pelan. “Akhirnya…”
Kenny membalas pelukan itu perlahan, berhati-hati. “Iya. Akhirnya kita bisa keluar dari bau obat ini.”
Keyla tertawa sambil mengusap matanya yang berair sedikit. “Bukan bau obatnya, tapi… aku cuma lega kamu udah benar-benar aman.”
Kenny menatapnya. “Aku aman karena kamu ada.”
Kalimat itu menggantung lama di udara, seperti benang halus yang menghubungkan hati mereka.
Malam itu, untuk pertama kalinya sejak Kenny sadar, ia bisa tidur lebih nyenyak. Keyla duduk di sofa kecil yang ada di ruangan itu, menonton Kenny yang tampak begitu damai dalam tidurnya. Sesekali ia tersenyum sendiri saat melihat Kenny mengerutkan dahi, atau berpindah posisi pelan.
Keyla menghela napas panjang. Setelah semuanya yang mereka lalui, ia tak pernah membayangkan mereka akan tiba di titik ini—titik yang begitu tenang dan hangat.
“Ken,” gumamnya pelan, meski Kenny sudah tidur, “aku beneran… suka kamu. Lebih dari yang bisa aku ungkap.”
Ia menatap tangan Kenny yang terletak di samping tubuh. Keyla mendekat pelan, lalu menyentuhnya, hanya sekadar merasakan hangatnya.
“Dan aku janji… aku nggak akan ninggalin kamu.”
Keesokan paginya, ruangan terasa lebih cerah dari biasanya. Perawat membantu Kenny berpakaian, mengganti balutan luka, dan menjelaskan obat yang harus diminum di rumah. Keyla berdiri di samping, memperhatikan semuanya dengan teliti, mengingat satu per satu instruksi yang diberikan.
Saat kursi roda disiapkan untuk membawa Kenny keluar, Keyla mendorongnya dengan hati-hati.
“Pelan-pelan, Key. Aku bukan nenek-nenek,” canda Kenny.
“Diam, kamu pasien,” jawab Keyla sambil menahan tawa.
Mereka melewati lorong panjang rumah sakit, meninggalkan tempat yang penuh luka dan air mata—tapi juga penuh keajaiban. Saat pintu otomatis di depan terbuka, angin luar menerpa wajah mereka. Hangat, segar, terasa seperti lembaran baru yang siap mereka mulai.
“Udara luar enak banget,” kata Kenny sambil menarik napas panjang.
Keyla tersenyum. “Tentu enak. Kita akhirnya bebas dari bau alkohol dan obat-obatan.”
Saat mobil keluarga mendekat, Keyla membantu Kenny berdiri perlahan. Ia memegangi bahu Kenny, memastikan tubuhnya stabil.
“Kamu siap?” tanya Keyla.
Kenny mengangguk. “Kalau kamu di sini, aku selalu siap.”
Jawaban itu membuat Keyla merona, tapi ia tidak menoleh. Tangannya tetap menggenggam lengan Kenny, seolah itu tempat paling alami untuk ia berada.
Saat pintu mobil tertutup dan mereka duduk berdua di kursi belakang, Kenny memandang Keyla lama.
“Key…”
“Hm?”
“Aku serius soal yang aku bilang kemarin.” Kenny menggenggam tangan Keyla, hangat dan jujur. “Tentang perasaan aku. Tentang kamu.”
Keyla tersenyum kecil, lembut, namun penuh makna. “Aku juga serius, Ken.”
Mereka saling menatap—tanpa kata, tanpa ragu, tanpa jarak.
Untuk pertama kalinya, perjalanan pulang terasa seperti perjalanan menuju masa depan baru.
Masa depan di mana luka memang pernah ada, tapi cinta kini memegang peran utama dalam memperbaikinya.
Dan di antara detik-detik hening itu, keduanya tahu…
Ini baru permulaan dari kisah yang akhirnya menemukan arahnya.