Aqilla Pramesti begitu putus asa dan merasa hidupnya sudah benar-benar hancur. Dikhianati dan diceraikan oleh suami yang ia temani dari nol, saat sang suami baru saja diangkat menjadi pegawai tetap di sebuah perusahaan besar. Ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Namun, takdir berkehendak lain, siapa sangka nyawanya diselamatkan oleh seorang pria yang sedang berjuang melawan penyakitnya dan ingin hidup lebih lama.
"Apa kamu tau seberapa besar perjuangan saya untuk tetap hidup, hah? Kalau kamu mau mati, nanti setelah kamu membalas dendam kepada mereka yang telah membuat hidup kamu menderita. Saya akan membantu kamu balas dendam. Saya punya harta yang melimpah, kamu bisa menggunakan harta saya untuk menghancurkan mereka, tapi sebagai imbalannya, berikan hidup kamu buat saya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reni t, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Kedua mata Radit seketika membulat sempurna, menatap wajah Aqilla yang berdiri tepat di sampingnya dengan tatapan mata berbinar. Apa ia tidak salah dengar? Petugas yang menelponnya mengatakan bahwa Kaila dan Keano sedang berada di kantor polisi?
"Baik, Pak. Saya akan ke sana sekarang juga, tolong jaga anak-anak saya, Pak," jawabnya lalu menutup sambungan telepon.
Aqilla mengerutkan kening dengan perasaan bingung. "Maksud kamu apa, Mas? Anak-anak ada di kantor polisi?"
Radit tersenyum lebar seraya memeluk tubuh Aqilla dengan erat. "Iya, Qilla. Anak-anak ada di kantor polisi. Saya yakin itu mereka. Kita ke kantor polisi sekarang, ya."
Tubuh Aqilla seketika melemas, hatinya terhenyak, rasanya benar-benar lega bercampur sedih dan perasaan tidak percaya hingga kedua matanya seketika berkaca-kaca.
"A-aku nggak salah denger, 'kan? Anak-anak ada di kantor polisi?" tanyanya seraya mengurai pelukan.
"Iya, Sayang. Mas yakin, anak yang dimaksud sama polisi tadi itu Kaila dan Keano."
"Kita ke sana sekarang, Mas. Aku pengen ketemu sama anak-anak," kata Aqilla dengan begitu emosional, seraya menyeka air mata yang bergulir di kedua sisi wajahnya dan segera dijawab dengan anggukan oleh pria bernama lengkap Raditya Nathan Wijaya.
***
30 menit kemudian di kantor polisi, Kaila dan Keano nampak duduk seraya menikmati makanan yang diberikan oleh petugas. Keduanya bahkan menyantap makanan dengan begitu lahapnya seperti orang yang kelaparan. Ya, memang pada kenyataannya mereka belum mengisi perutnya sedari pagi. Rasanya benar-benar senang bisa kembali menyantap nasi berikut lauknya. Bersama satu petugas berseragam coklat, keduanya baru saja menghabiskan masing-masing satu bungkus nasi Padang.
"Kenyang?" tanya petugas tersebut seraya mengusap kepala Keano dengan perasaan iba.
"Kenyang, Om polisi. Terima kasih makanannya," jawab Keano seraya tersenyum lebar.
"Ngomong-ngomong, Ibu sama Om Radit kapan mau ke sini? Aku pengen ketemu sama Ibu," jawab Kaila, menatap lekat wajah petugas dengan name tag bernama Bastian tertempel di seragam yang dia kenakan.
"Ibu kalian lagi di jalan. Tunggu saja, sebentar lagi mereka datang," jawab Bastian, mengalihkan pandangan mata kepada Kaila. "Ngomong-ngomong, kenapa kalian bisa kabur dari rumah? Apa kalian tau, orang tua kalian khawatir banget sama kalian."
Kaila hendak menceritakan apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang mereka alami sebelum keduanya memutuskan untuk pergi dari rumah Ilham, tapi gadis kecil berusia tujuh tahun itu seketika menahan gerakan mulutnya saat Keano tiba-tiba berteriak histeris seraya menyerukan nama sang ibu.
"Ibu!" teriak Keano, berdiri tegak lalu berlari ke arah pintu seraya menangis histeris.
Aqilla bersama Radit yang baru saja memasuki ruangan segera mempercepat langkahnya seraya terisak. "Ya Tuhan, Keano!" seru Aqilla, berjongkok tepat di depan Keano, memeluknya erat.
"Maafin aku, Ibu. Aku minta maaf, huaaaa!" tangis Keano di dalam pelukan sang Ibu.
"Kamu nggak salah, Sayang. Ibu yang salah," jawab Aqilla, seraya mengurai pelukan, mengusap kedua sisi wajah sang putra dengan perasaan lega. "Kamu baik-baik aja, 'kan? Kamu nggak kenapa-kenapa, 'kan?"
Keano menggelengkan kepala, beberapa saat kemudian Kaila pun berlari dan segera memeluk sang ibu seraya menangis sesenggukan.
"Ibu! Huaaaa ..." teriaknya dengan histeris.
"Maafin Ibu, Kaila. Ibu benar-benar minta maaf, seharusnya Ibu menahan kalian, seharusnya Ibu nggak membiarkan kalian pergi bersama Ayah kalian," lemah Aqilla, mendekap erat tubuh sang putri dengan kedua mata terpejam.
"Ayah jahat, Bu. Ayah mau ngebuang aku sama Keano. Aku denger sendiri Ayah bilang seperti itu sama Tante Dona. Makannya aku memutuskan untuk kabur dari rumah Ayah," rengek Kaila, seraya mengurai pelukan.
Aqilla mengusap kedua sisi wajah Kaila dengan lembut, kembali memeluk tubuh kedua buah hatinya dengan perasaan lega. Akhirnya, mereka kembali ke pelukan dalam keadaan sehat dan tidak terluka sedikitpun.
Sementara Radit yang berdiri tepat di samping Aqilla tidak kuasa menahan air matanya. Rasa lega, haru, bercampur bahagia benar-benar melebur menjadi satu. Senang sekali rasanya bisa melihat kedua anak itu kembali dan keadaan selamat.
"Terima kasih, Tuhan. Saya benar-benar lega bisa ketemu lagi sama mereka," batinnya seraya menyeka kedua mata yang tiba-tiba berair.
"Om Radit," rengek Kaila seraya mengurai pelukan sang ibu, lalu beralih memeluk tubuh Radit.
Pria itu sontak berjongkok, mendekap erat tubuh Kaila dengan kedua mata terpejam. "Om lega sekali bisa bertemu lagi sama kalian. Terima kasih karena udah kembali dalam keadaan baik-baik saja, Kaila," lemahnya.
Keano melakukan hal yang sama, memeluk tubuh Radit tanpa sepatah katapun hingga keduanya kembali mengurai pelukan.
"Aku mau tinggal di rumah Om Radit aja. Aku nggak mau balik ke rumah Ayah," rengek Kaila.
"Iya, Sayang. Kita pulang ke rumah Om, ya," jawab Radit, lalu berdiri tegak seraya menggenggam telapak tangan Kaila dan Keano.
Petugas polisi bernama Bastian pun melangkah menghampiri mereka, lalu mengulurkan telapak tangan untuk berjabat tangan dengan Aqilla dan Radit.
"Terima kasih karena sudah menjaga anak-anak saya, Pak," ucap Aqilla, seraya berjabat tangan.
"Sama-sama, Mbak. Kami dari pihak kepolisian mohon maaf karena tidak segera menindak lanjutinya laporan Anda, kami hanya mengikuti prosedur," jawab Bastian, lalu berjabatan tangan dengan Radit.
"Tidak apa-apa, saya paham, Pak. Sekali lagi, kami ucapkan terima kasih karena sudah menjaga anak-anak," ucap Radit seraya tersenyum lebar.
"Sama-sama, Pak Radit," jawab sang petugas dengan senyuman yang sama.
"Baiklah, kami permisi dulu kalau begitu." Ucapan terakhir Radit dan hanya dijawab dengan anggukan oleh petugas polisi tersebut.
Radit meraih tubuh Keano lalu menggendongnya, sementara Kaila hanya dituntun oleh ibunya, melangkah meninggalkan tempat tersebut dengan perasaan bahagia dan lega tentu saja.
Akan tetapi, langkah Kaila tiba-tiba terhenti tepat di halaman kantor polisi, menatap ke arah samping di mana seorang laki-laki dengan kedua tangan diborgol tengah digiring menuju sel oleh dua orang petugas berseragam.
Aqilla sontak melakukan hal yang sama, menunduk menatap wajah Kaila dengan kening dikerutkan. "Ada apa, Kaila? Mau digendong sama Ibu?"
Kaila menggelengkan kepala, sementara Radit pun sontak melakukan hal yang sama.
"Kakak kenapa?" tanya Keano di dalam gendongan Radit.
Kaila tiba-tiba menunjuk ke arah samping dengan wajah datar. "Bu, bukankah itu Ayah?"
Baik Aqilla maupun Radit sontak menoleh dan menatap ke arah yang sama seperti Kaila, hal yang sama pun dilakukan oleh Keano.
"Ayah? Itu beneran Ayah, Kak?" seru Keano dengan suara lantang.
Bersambung ....