Rayna tak pernah benar-benar memilih. Di antara dua hati yang mencintainya, hanya satu yang selalu diam-diam ia doakan.
Ketika waktu dan takdir mengguncang segalanya, sebuah tragedi membawa Rayna pada luka yang tak pernah ia bayangkan: kehilangan, penyesalan, dan janji-janji yang tak sempat diucapkan.
Lewat kenangan yang tertinggal dan sepucuk catatan terakhir, Rayna mencoba memahami-apa arti mencintai seseorang tanpa pernah tahu apakah ia akan kembali.
"Katanya, kalau cinta itu tulus... waktu takkan memisahkan. Hanya menguji."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Iyikadin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29 - Semangkuk Rasa
Suasana canggung masih menggantung di antara mereka. Mentari siang jatuh terlalu terang di atas kepala, menyelinap di sela dedaunan, membuat pelipis Rayna sedikit basah oleh keringat yang tak sempat ia sadari.
“Lo kok bisa ada di sana?” tanyanya pelan. Suaranya nyaris tenggelam oleh suara napasnya sendiri.
Tatapannya tetap menunduk, takut kalau menatapnya justru memberi terlalu banyak yang tak bisa ia sembunyikan.
Ben terdiam sesaat sebelum menjawab.
“Gue baca chat lo… gue tau nggak ada busway yang nyampe rumah lo.”
Nada bicaranya sudah lebih tenang, tapi ada sesuatu yang tertahan di sana, sesuatu yang nggak perlu diucapkan, tapi terlalu jelas terasa.
“Emm… sorry ya,” ucap Rayna, hampir seperti bisikan. Ada beban di dadanya yang ikut turun bersama kata itu.
Dia melangkah ke gerbang rumah, jemarinya menggenggam besi dingin. Ketika ditarik, ternyata tak bergerak.
“Loh… masih terkunci,” gumamnya lirih. Pandangannya menyapu halaman yang sunyi.
“Apa mama belum pulang ya?”
Tangannya belum lepas dari pegangan.
“Nah… itu juga salah satu alasan gue ada di sana,” jawab Ben lembut, kali ini suaranya tak sekadar kata-kata, lebih seperti usaha untuk memastikan Rayna nggak merasa sendirian.
Rayna menghela napas pelan.
“Emm… dasar,” bisiknya. Sebuah senyum kecil lolos begitu saja di bibirnya, tanpa izin pada hatinya.
Ia menempelkan jarinya ke pemindai sidik jari di gembok.
Klik.
Gerbang terbuka perlahan, suaranya lembut, hampir tak terdengar.
Rayna melangkah masuk ke halaman. Satu langkah. Dua langkah.
Dan Ben… mengikutinya, diam-diam, tanpa suara.
Bukan karena tidak diminta pergi, tapi karena hatinya belum siap pergi lebih dulu.
Rayna dan Ben duduk berdampingan di sofa ruang tamu yang lembut. Suasana masih sedikit canggung, tapi tidak sekeras tadi, hanya bunyi jam dinding yang tik tak pelan dan sorak anak-anak di luar yang terdengar.
Cahaya mentari menyebar melalui jendela, membuat bayangan lembut di lantai. Mereka diam, masing-masing memikirkan apa yang akan dikatakan selanjutnya.
Kemudian Rayna memegang ponselnya dan menelpon mamanya.
“Halo, Ma.. Mama belum selesai acaranya?” tanyanya dengan suara lembut.
“Belum sayang, ini masih kumpul-kumpul. Kamu udah pulang?” suara mamanya terdengar hangat dari telepon.
“Udah ma, ini Rayna udah dirumah.”
“Oke, kayanya mama pulang sore atau malem.”
“Iya ma, gapapa. Selesain dulu aja urusannya yaa, Rayna cuma ingin tau kabar mama aja.”
“Iya sayang, kalau gitu mama tutup dulu ya teleponnya.”
“Nyokap lo masih disana?” tanya Ben, masih duduk diam di sofa.
“Iya.”
“Emm.. Oke.”
“Lo masih marah sama gue,” kata Rayna langsung, menatapnya.
“Engga kok.”
“Bohong, kalau engga marah, gak mungkin mukanya jutek gitu.”
“Beneran kok, gue gak marah.. ”
“Emm.. gue yakin lo masih marah.”
“Oke terserah lo.”
“Tuhkan.. Kalo gitu gue masakin sesuatu deh buat lo, lo laper kan?”
“Masakin apa?”
“Mi instan mungkin.”
“Oke boleh.”
“Ehh.. mending kita masak berdua aja deh, yuk.” Rayna meraih dan menarik tangan Ben.
Ben merasa deg-degan seketika saat sentuhan tangan Rayna yang lembut menyentuh tangannya.
Rasanya ingin menolak karena merasa salah tingkah, tapi dia sembunyikan semua itu dan hanya mengangguk perlahan.
Mereka berjalan ke dapur yang tidak terlalu besar tapi rapi. Cahaya mentari masih menyinari melalui jendela kaca, membuat permukaan meja dapur menyala sedikit.
Bau bumbu dapur yang tersisa dari pagi tadi masih terasa lembut di udara. Di atas lemari, botol-botol bumbu tersusun rapi, dan di kompor masih ada wajan yang belum dibersihkan.
Suasana jadi terasa lebih hangat dan akrab ketimbang ruang tamu tadi, seolah dapur ini tempat yang tepat untuk memecah keheningan di antara mereka.
“Gue ambil dulu mie instannya,” ucap Rayna sambil perlahan melepas genggaman tangan Ben, jarinya sempat ragu, seolah masih pengen nahan satu detik lagi.
Dia membuka pintu lemari bawah, mencari kemasan mie yang biasanya mama simpan. Tangannya menyusuri rak, lalu berhenti saat menemukan dua bungkus mie. Dia ambil keduanya.
Dia menoleh ke arah Ben.
“Lo mau pake telur juga gak? Ada telur di kulkas…”
“Boleh,” jawab Ben pelan.
Ben melangkah ke arah kompor, mengambil wajan, mengelapnya dengan kain yang tergantung di dekat wastafel.
Tangannya sedikit bergetar, bukan karena dingin, tapi karena hangat bekas sentuhan Rayna tadi masih tertinggal di kulitnya.
“Gue nyalain kompor dulu ya.”
Rayna menjulurkan lidah kecil. “Iya, nyalain aja.”
Dia lalu membuka kulkas, ngambil dua butir telur dan semangkuk bawang merah iris. Pas balik ke meja, matanya nggak sengaja nangkep sosok Ben yang lagi ngatur api kompor.
Badannya terlihat lebih santai sekarang, jauh dari ekspresi jutek tadi pagi. Dan entah kenapa, dadanya Rayna terasa lebih hangat.
Dia angkat dua bungkus mie itu.
“Eh, tapi… lo mau mie instan kuah apa goreng?”
Ben nengok santai. “Kalau lo?”
“Gue goreng sih.”
Ben ngangguk pelan. “Oke. Kalau gitu gue kuah. Kalau lo kuah, ya gue goreng. Pokoknya gue nggak mau sama kayak lo.”
Rayna berhenti gerak. Noleh.
“Dih… apaan sih.”
Ben cuma nyengir tipis, diem. Tapi di kepalanya, bukan soal mie yang kepikiran.
Gue cuma nggak mau sama kayak lo… soalnya kalau beda, gue punya alasan buat terus berdiri di samping lo.
Rayna pura-pura ngedumel, buka bungkus mie gorengnya. Tapi bibirnya udah duluan melengkung.
Air di panci mulai menggelegak pelan. Suara kecilnya memenuhi dapur yang sempit itu. Rayna sibuk ngaduk mie goreng di wajan, ekspresinya fokus banget, alis sedikit berkerut, tangan lincah ngaduk sambil sesekali nambah bawang.
Ben berdiri agak di belakang, pura-pura santai sambil nyender tembok.
Tapi matanya… nggak bohong.
Tatapannya jatuh ke Rayna, dari cara dia megang spatula, rambutnya yang sesekali jatuh ke bahu, sampai gerakan kecil saat dia nyicip rasa.
Ada senyum kecil yang tanpa sadar muncul di bibir Ben.
Di kepalanya, kalimat itu lewat begitu saja, lembut dan jujur:
Oh… jadi gini ya rasanya… dimasakin Rayna tiap hari setelah nikah.
“Lo kenapa sih senyum-senyum gitu?” tanya Rayna tanpa nengok, masih fokus ke wajan.
Ben langsung kaget dikit. “Eh… enggak kok. Gue seneng aja… dimasakin sama lo.”
Rayna mendengus kecil. “Dari pada lo bengong gitu, mending lo ambilin mangkok sama piring di lemari belakang situ.”
“Boleh. Sebelah mana emang?”
“Itu… lemari kanan.”
Ben melangkah ke arah lemari. Buka pintunya.
Kosong.
Isinya cuma tumpukan wajan.
“Gak ada, Rayna.”
Rayna refleks nengok. “Ada kok di lemari kanan itu, loh, Ben.”
“Tapi ini isinya wajan semua… gak ada mangkok ataupun piring.”
Rayna akhirnya matiin kompor sebentar, lalu jalan menghampiri. Dia langsung buka lemari di sebelah kiri.
“Ini loh, Ben. Masa lo gak liat.”
Ben terdiam. Lalu melirik ke arahnya.
“Ya ampun, Rayna… itu kanan dari lo, tapi kiri dari gue.”
Rayna melongo sedetik.
“Eh… ya maksudnya kanan gue tadi.”
Ben nyengir, gemes campur gemas. “Alesan aja. Bilang aja lo gak bisa bedain kanan kiri.”
“Enak aja,” sahut Rayna cepat, sambil nyenggol lengannya pelan.
Tapi entah kenapa… tawa kecil mereka terdengar kayak sesuatu yang rumah.
Mie instan itu akhirnya siap. Uap panas naik pelan, wangi bawang goreng langsung memenuhi dapur kecil itu.
Rayna naruh dua mangkuk di atas meja. Tangannya geser salah satunya ke arah Ben.
“Mie-nya udah siap… ayo dimakan, sayang,” kata Rayna ringan, seolah itu cuma kata biasa.
Tapi ke dada Ben… rasanya kayak petir nyambar tepat di tengah jantung.
Dia… manggil gue sayang?
Serius?
Tanpa disuruh? Tanpa bercanda?
Di dalam kepalanya langsung ribut,
Gue pengen teriak ke satu dunia. Umumin ke semua orang. “Tadi dia manggil gue sayang.”
Ben nahan diri, tapi suaranya masih bocor dikit.
“Lo… panggil gue sayang?”
Rayna langsung gelagapan.
“Hah ? Kapan..? Eggak kok.”
“Tadi, loh. Gue denger sendiri.”
“Enggak… salah denger kali.”
Ben natap dia, lebih dalam dari yang harusnya.
“Kali ini gue nggak salah denger, Ray.”
Udara jadi agak canggung. Sedikit hening. Sedikit hangat.
Rayna buru-buru ngambil sendok, pura-pura fokus.
“Udah, udah… ayo makan. Keburu dingin. Nanti nggak enak lagi.”
Tapi pipinya… memerah pelan.
Dan tangannya gemetar dikit waktu nyuap mie pertama.
Sedangkan Ben…
Masih belum bisa mikir apa-apa, selain satu kata yang terus muter di kepalanya,
Sayang.
Bersambung...