Di dunia tempat kepercayaan bisa menjadi kutukan, Izara terjebak dalam permainan kelam yang tak pernah ia pilih. Gadis biasa yang tak tahu-menahu tentang urusan gelap ayahnya, mendadak menjadi buruan pria paling berbahaya di dunia bawah tanah—Kael.
Kael bukan sekadar mafia. Ia adalah badai dalam wujud manusia, dingin, bengis, dan nyaris tak punya nurani.
Bagi dunia, dia adalah penguasa bayangan. Namun di balik mata tajamnya, tersembunyi luka yang tak pernah sembuh—dan Izara, tanpa sadar, menyentuh bagian itu.
Ia menculiknya. Menyiksanya. Menggenggam tubuh lemah Izara dalam genggaman kekuasaan dan kemarahan. Tapi setiap jerit dan tatapan melawan dari gadis itu, justru memecah sisi dirinya yang sudah lama terkubur. Izara ingin membenci. Kael ingin menghancurkan. Tapi takdir punya caranya sendiri.
Pertanyaannya bukan lagi siapa yang akan menang.
Melainkan... siapa yang akan bertahan.
Karena terkadang, musuh terbesarmu bukan orang di hadapanmu—melainkan perasaanmu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aulia risti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan Karina
Kael baru saja tiba di rumah. Langkahnya pelan, namun pasti, saat ia melangkah ke ruang tengah. Pandangannya langsung tertuju pada sosok perempuan yang tengah duduk membelakanginya di atas sofa.
“Ka...” Suaranya tertahan. Lidahnya kelu.
Perempuan itu menoleh perlahan.
DEG!!
Dunia Kael seolah berhenti berputar. Wajah itu... begitu mirip. Terlalu mirip dengan Karina.
Namun tidak mungkin. Karina sudah tiada. Ia sendiri yang mengurus pemakamannya. Ia yang melihat tubuh tak bernyawa itu untuk terakhir kalinya.
Tiba-tiba—
Sreggg!
Perempuan itu bangkit dan memeluk Kael erat. Tubuhnya bergetar, isak tangisnya terdengar lirih.
“Aku rindu...” bisiknya pelan. “Bagaimana kabarmu?”
Kael segera mendorong tubuh perempuan itu menjauh. Dadanya sesak, kepalanya berdenyut.
“K-Kau siapa?” tanyanya nyaris berbisik.
Perempuan itu tampak terkejut. “Apa maksudmu, sayang...? Ini aku, Karina.”
Kael menggeleng lemah. “Tidak... Karina sudah tiada. Aku—aku sendiri yang menyaksikan pemakamannya. Aku menguburnya dengan tanganku sendiri...”
Tatapan perempuan itu masih teduh, namun kini berubah menjadi penuh luka. “Kau tak percaya padaku?” Ia melangkah maju, suaranya makin lembut,
“Lihat, tahi lalat ini.”
Ia mengangkat rambut panjangnya, memperlihatkan leher belakangnya—dan benar. Sebuah tahi lalat kecil tepat di bawah tengkuk. Tempat yang hanya Karina dan Kael tahu.
Kael menahan napas. Dadanya bergemuruh.
“Itu...” gumamnya.
Dan perempuan itu belum selesai. Ia merogoh kantung bajunya dan mengeluarkan sebuah liontin. Setengah bentuk hati.
“Dan ini... liontin yang kita buat bersama.” Ia memandang Kael dalam-dalam. “Kau yang mendesainnya sendiri, ingat? Hanya bisa terbuka jika dipasangkan dengan separuh lainnya....”
Kael membeku di tempat. Tangannya bergetar. Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
“Tapi... bagaimana bisa?” gumam Kael, nyaris tidak percaya. “Aku melihat jasadmu, Karina. Aku menyentuh tubuhmu yang sudah dingin. Bagaimana mungkin kau berdiri di sini sekarang?”
Perempuan itu tersenyum samar, meski air matanya masih mengalir.
“Kael... aku memang hampir mati. Tapi seseorang menyelamatkanku.”
Kael menggeleng perlahan. “Tidak... ini tidak masuk akal. Jika kau benar Karina, mengapa kau tidak mencariku sejak awal? Mengapa muncul sekarang?”
“Aku diculik, Kael. Hari itu, sebelum kau datang... seseorang membawaku pergi. Mereka memalsukan kematianku. Aku tidak bisa menghubungimu. Bahkan aku tidak tahu dimana aku.”
Kael berdiri mematung. Perasaannya campur aduk. Rindu, marah, haru, dan bingung bergemuruh dalam dadanya. Ia melangkah mundur, menjauh.
“Kenapa...?” suaranya nyaris berbisik. “Kenapa baru sekarang kau muncul?”
Ia menunduk. “Disaat perempuan lain mulai mengisi kekosongan itu...” batinnya pilu, tak sanggup diucapkan keras-keras.
Wanita itu menatapnya dalam-dalam. “Aku tahu aku terlambat... Tapi aku tidak punya pilihan, Kael. Aku hanya ingin kembali.”
Kael mengepalkan tangannya. “Aku... butuh waktu,” katanya pelan.
Lalu tanpa berkata apa-apa lagi, ia membalikkan badan dan berjalan meninggalkannya di ruang itu—sementara pikirannya terus dihantui oleh pertanyaan: Benarkah dia Karina?
Sementara itu, perempuan itu—yang sebenarnya bukan Karina—berdecak kesal.
“Drama banget sih,” gumamnya dengan nada muak.
Yah, dia adalah Serina, bukan Karina.
Serina menghela napas panjang, lalu berjalan pelan mengitari ruangan, memperhatikan setiap sudut rumah itu. Matanya kemudian tertumbuk pada sebuah bingkai foto di atas bufet. Ia mengambilnya.
“Jadi ini Karina...” bisiknya sambil menatap foto itu lebih dekat. “Memang mirip denganku. Tapi kok bisa, ya?”
Wajahnya tampak bingung. Sejak menerima tugas dari Moreno, ia memang sempat meragukan keabsahan misi ini. Tapi begitu melihat dokumen-dokumen yang dikirim padanya—termasuk foto Karina—ia sendiri cukup terkejut.
“Aneh... mungkin memang benar, di dunia ini kita punya tujuh kembaran,” gumamnya pelan.
Namun Serina yakin, sejak kecil ia tak punya saudara kembar. Ia dibesarkan oleh sang ayah seorang diri. Ibunya meninggal saat ia masih bayi, begitu kata ayahnya.
“Aku yakin aku tidak punya kembaran,” bisiknya sekali lagi. “Tapi kenapa wajah kami bisa nyaris sama?”