Bagaimana jadinya jika seorang wanita yang dulunya selalu diabaikan suaminya bereinkarnasi kembali kemasalalu untuk mengubah nasibnya agar tidak berakhir tragis. jika ingin tau kelanjutannya ikuti cerita nya,,!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon clara_yang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Suasana pagi di rumah sakit terasa lebih hangat dibandingkan hari-hari sebelumnya. Matahari yang masuk melalui celah tirai tipis memantulkan cahaya lembut pada dinding putih ruangan tempat Kenny dirawat. Biasanya, aroma obat, desinfektan, dan kesunyian yang kaku menjadi ciri khas rumah sakit. Namun hari itu berbeda—udara terasa lebih lapang, seperti semuanya ikut menarik napas lega setelah masa kritis Kenny resmi berlalu.
Kenny duduk bersandar dengan bantal tambahan yang menopang punggungnya. Luka-luka di tubuhnya masih terlihat, masih berbalut perban, masih menjadi saksi bisu dari pencarian nekat yang hampir merenggut hidupnya. Tapi matanya… mata itu kini kembali hidup. Benar-benar hidup. Ada ketenangan, ada rasa syukur, ada cahaya yang Keyla belum lihat selama berminggu-minggu.
Keyla duduk di sisi kanan ranjang, tubuhnya sedikit condong ke depan seolah ia takut kehilangan wajah Kenny dari pandangannya barang sedetik saja. Kedua tangannya menggenggam tangan Kenny, lembut, hati-hati, tapi penuh perasaan. Sejak Kenny sadar, Keyla hampir tidak pernah menjauh dari ruangan ini. Bahkan saat ibunya memaksa turun ke kantin karena ia lupa makan, Keyla tetap menolak lama-lama. Ia selalu kembali tergesa, seolah takut saat kembali, Kenny sudah tidak ada.
Kenny memperhatikannya dengan senyum lemah namun tulus. “Kamu masih di sini,” bisiknya, suaranya serak tapi hangat.
Keyla menoleh cepat, seakan tersadar dari lamunan. “Aku nggak akan kemana-mana,” jawabnya lembut namun pasti. “Setelah apa yang kamu alamin… aku nggak mungkin pergi begitu aja. Aku di sini, Ken. Selalu.”
Senyum kecil muncul di bibir Kenny. Ada ketenangan yang merayap masuk ke dadanya hanya dengan mendengar suara itu. “Makasih, Key.”
“Harusnya aku yang bilang makasih…” Keyla menelan napas pendek, “karena kamu bertahan.”
Suara itu serak—campuran lega dan trauma yang belum sepenuhnya hilang. Setiap kali Keyla menatap Kenny, ia teringat saat-saat ketika dokter mengatakan kemungkinan terburuk. Dan setiap kali ia mengingat detik-detik itu, tubuhnya seperti tersentak kembali oleh rasa takut.
Pintu ruangan tiba-tiba terbuka. Orang tua Kenny masuk, diikuti keluarga besar yang sejak tadi menunggu kabar. Suara sapa dan rasa syukur memenuhi ruangan. Kehangatan mengalir, menggusur segala bayangan buruk beberapa minggu terakhir.
“Kenny, kamu bikin semuanya panik,” ujar ayahnya, separuh bercanda namun matanya jelas menyimpan kekhawatiran yang belum sepenuhnya hilang.
“Maaf, Yah,” Kenny tertawa pelan, menahan perih. “Aku nggak bermaksud bikin semuanya khawatir.”
Ibunya memegang kepala Kenny dengan lembut. “Yang penting kamu selamat. Itu saja yang Mama butuhin.”
Keluarga Keyla pun tak ketinggalan datang. Karin, kakaknya, mengacak rambut Kenny pelan dan berkata, “Kamu bikin adik aku nangis tiap hari. Harus cepat sembuh dan tanggung jawab.”
Kenny tersenyum malu. “Maaf ya, Kak…”
Semua tertawa ringan. Dalam tawa itu, ada rasa syukur yang besar—semua masih di sini, bersama, utuh.
Namun di tengah keramaian, tatapan Kenny dan Keyla kadang bertaut, mengirim pesan yang tak bisa mereka sampaikan saat ada banyak orang. Pesan bahwa apa yang mereka rasakan… nyata. Dalam. Dan mungkin sudah lama tertahan.
Siang hari, ketika sebagian keluarga pulang untuk beristirahat, ruangan menjadi lebih tenang. Keyla memindahkan kursinya sedikit lebih dekat, memastikan Kenny bisa meraih tangannya kapan pun.
“Ada yang kamu pikirin?” tanya Keyla saat menyadari Kenny menatapnya agak lama.
“Aku cuma bersyukur kamu ada,” jawab Kenny pelan. “Waktu aku nggak sadar… entah kenapa, aku ngerasa kamu manggil aku. Kayak… aku harus balik. Harus buka mata.”
Keyla menahan napas. Kata-kata itu menampar perasaannya dengan lembut. “Kalau kamu nggak bangun waktu itu…” suaranya pecah sedikit, “Aku nggak tahu harus gimana. Aku takut banget, Ken.”
Kenny mengangkat tangannya yang masih lemah, menyentuh pipi Keyla. Sentuhan itu membuat Keyla memejamkan mata sesaat. “Aku nggak mau kamu takut lagi,” ucapnya.
Keyla membuka mata, menatapnya. “Aku takut kehilangan kamu. Itu aja.”
Kenny menarik napas. “Pas kamu hilang… aku pikir aku akan kehilangan kamu selamanya. Itu… rasanya ngancurin aku, Key.”
Keyla menunduk, menelan emosi yang menumpuk. “Aku selamat karena kamu. Kalau kamu nggak nekat nyari aku, aku mungkin udah…”
“Jangan bilang begitu.” Kenny memotong dengan suara lemah namun tegas. “Yang penting sekarang kamu di sini.”
Keyla menggenggam tangannya, lebih erat kali ini.
Perawat masuk untuk mengecek kondisi Kenny. Setelah ia keluar, Keyla membuka termos kecil yang ibunya titipkan.
“Kamu mau coba sup?”
Kenny mengangguk. “Mau. Tapi… disuapin ya.”
Keyla tertawa, pipinya memerah. “Manjanya keluar.”
“Aku pasien, wajar dong,” Kenny membela dirinya sambil tersenyum.
Keyla menyuapi Kenny perlahan. Suasana itu begitu hangat, begitu sederhana, namun begitu berarti. Setiap suapan terasa seperti pernyataan kecil bahwa mereka kini berada dalam bab yang berbeda—lebih dekat, lebih jujur.
Setelah makan, Kenny tampak mengantuk. Tapi ia menahan diri, ingin mengatakan sesuatu.
“Key… boleh nanya?”
Keyla mengangguk. “Tanya aja.”
“Kamu masih takut nggak?” Kenny menatap matanya. “Takut sama aku. Sama hubungan kita. Sama perasaan kamu sendiri.”
Keyla terdiam. Tidak karena ragu, tetapi karena ia ingin memilih kata yang tepat. “Aku takut kehilangan. Tapi aku nggak takut perasaan aku sama kamu.” Ia menatap dalam, “Aku nggak pernah takut soal itu.”
Kenny menghela napas lega, senyum tipis muncul. “Aku juga nggak mau nyembunyiin perasaan aku lagi.”
Keyla menatapnya, bingung sekaligus harap.
Hingga akhirnya Kenny berkata, “Keyla… aku suka kamu.”
Seketika dunia berhenti.
Gadis itu terpaku, matanya membesar sedikit. “Ken…”
“Aku suka kamu dari dulu. Tapi aku takut. Setelah kamu diculik… aku sadar kalau aku bisa kehilangan kamu kapan aja. Dan aku nggak mau nyesel lagi karena nggak ngomong.”
Air mata Keyla jatuh tanpa bisa ditahan. “Aku juga suka kamu. Dari lama. Tapi… aku pikir kamu nggak lihat aku.”
“Aku selalu lihat kamu, Key,” Kenny membalas.
Tanpa menahan diri lagi, Keyla membungkuk memeluk Kenny—hati-hati agar tidak menyentuh luka. Kenny membalas pelukan itu dengan seluruh kekuatan yang ia punya.
“Aku di sini,” bisik Keyla. “Aku nggak akan kemana-mana.”
Kenny menutup mata, meresapi setiap detik. “Aku juga.”
Dalam pelukan itu, waktu seakan berhenti. Seluruh trauma, ketakutan, dan keraguan seperti meleleh pergi. Untuk pertama kalinya sejak semuanya terjadi, mereka merasa utuh.
Dan sejak hari itu, ikatan mereka bukan lagi sekadar kedekatan.
Tetapi sesuatu yang jauh lebih dalam—lebih kuat—dan tak lagi bisa disangkal.