Halwa adalah siswi beasiswa yang gigih belajar, namun sering dibully oleh Dinda. Ia diam-diam mengagumi Afrain, kakak kelas populer, pintar, dan sopan yang selalu melindunginya dari ejekan Dinda. Kedekatan mereka memuncak ketika Afrain secara terbuka membela Halwa dan mengajaknya pulang bersama setelah Halwa memenangkan lomba esai nasional.
Namun, di tengah benih-benih hubungan dengan Afrain, hidup Halwa berubah drastis. Saat menghadiri pesta Dinda, Halwa diculik dan dipaksa menikah mendadak dengan seorang pria asing bernama Athar di rumah sakit.
Athar, yang merupakan pria kaya, melakukan pernikahan ini hanya untuk memenuhi permintaan terakhir ibunya yang sakit keras. Setelah akad, Athar langsung meninggalkannya untuk urusan bisnis, berjanji membiayai kehidupan Halwa dan memberitahunya bahwa ia kini resmi menjadi Nyonya Athar, membuat Halwa terombang-ambing antara perasaan dengan Afrain dan status pernikahannya yang tak terduga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Keesokan paginya, Halwa membuka matanya. Ia meraba sisi ranjang di sebelahnya. Dingin dan kosong. Ia tidak merasakan keberadaan suaminya.
"Athar?" panggil Halwa, suaranya pelan. Ia bangkit dari tempat tidurnya, sedikit tertatih-tatih, dan berjalan menuju ke kamar mandi. Kosong.
Ia memeriksa area duduk di dekat jendela dan balkon. Nihil.
"Athar, kamu di mana?" panggilnya lagi, mulai merasa tidak nyaman.
Ia kembali ke nakas samping tempat tidur, dan rasa panik mulai menjalari dirinya.
Ia melihat ponsel dan dompet Athar masih tergeletak di sana.
"Tidak mungkin. Dia tidak akan pernah meninggalkan ponselnya," bisik Halwa, menyadari ada sesuatu yang sangat salah.
Ia segera meraih ponselnya dan langsung menghubungi Yunus yang menginap di kamar lain di lantai yang sama.
Yunus yang sudah berjaga-jaga sejak laporan kebakaran, langsung bergegas datang.
Ia melihat raut wajah Halwa yang pucat dan panik.
"Ada apa, Nyonya?" tanya Yunus sambil membuka pintu.
"Yunus! Athar hilang!" Halwa menunjuk ke ranjang yang kosong dan ponsel Athar di nakas.
"Dia tidak ada. Dia tidak mungkin pergi tanpa memberi tahu aku atau membawa ponselnya. Kamar ini dikunci!"
Yunus segera memeriksa seisi kamar dan menyadari ada sedikit kekacauan di area dekat pintu balkon yang terkunci, tapi tidak ada tanda perlawanan besar. Obat bius pasti bekerja cepat.
Halwa menangis, tubuhnya gemetar. "Di mana suamiku? Siapa yang menculiknya, Yunus?! Pasti orang yang sama!!" teriak Halwa, histeris.
Yunus segera menenangkan Halwa. "Tenang, Nyonya Halwa. Jangan panik. Kami akan segera melacaknya. Tuan Athar sudah menyiapkan sistem keamanan rahasia. Saya akan hubungi tim di Jakarta dan polisi Kanada sekarang juga. Tuan Athar tidak akan lama menghilang."
Sementara itu, di sebuah gudang tua yang terpencil, Athar mulai sadar.
Kepalanya pusing, dan seluruh tubuhnya terasa sakit.
Ia tergeletak di lantai, tubuhnya terikat kuat.
Athar mencoba berteriak, tetapi mulutnya tersumpal kain kotor.
"MMMMPPHH!"
"Sssh..." Sebuah suara familiar menginterupsi. Afrain muncul dari balik kegelapan, wajahnya dipenuhi kebencian dan kegilaan.
"Halwa milikku, bukan milikmu, Athar!" desis Afrain.
Afrain tidak memberi kesempatan Athar bicara. Ia kembali menghajar dada Athar sekali lagi dengan tendangan keras, melampiaskan semua rasa sakit dan dendamnya.
"Aku akan mengakhiri hidupmu, dan Halwa akan kembali padaku!"
Afrain menggeret tubuh Athar yang tak berdaya dan memasukkannya ke dalam bagasi mobil.
Ia melajukan mobilnya menuju ke sebuah danau yang jauh dan tersembunyi.
Sesampainya di danau, Afrain mengeluarkan Athar.
Ia menempatkan Athar di kursi kemudi, mengikatnya kuat dengan tali, dan menyumpal mulutnya lagi.
Afrain kemudian dengan paksa memasukkan alkohol lima botol ke mulut Athar yang tidak sadarkan diri, membuat Athar mabuk dan tidak berdaya.
"Mereka akan mengira kalau kamu mati karena kecelakaan, karena mengemudi sambil mabuk," bisik Afrain dingin.
Afrain mengunci pintu mobil. Ia tertawa terbahak-bahak melihat Athar tak berdaya di dalam.
Dengan tenaga penuh, ia mendorong mobil Athar sampai terjun bebas, terjebur ke danau yang gelap.
"Selamat tinggal, Athar!" seru Afrain, puas.
Tiba-tiba, suara jeritan menggelegar menghentikan tawa Afrain.
"ATHAR!!"
Afrain terkejut ketika melihat Halwa ada di sana. Halwa datang bersama dengan Yunus, setelah Halwa melacak Athar menggunakan pelacak tersembunyi yang ada di kalung Athar yang sudah diaktifkan oleh Yunus.
Halwa melihat mobil Athar yang sudah mulai tenggelam.
Tanpa memikirkan kondisi tubuhnya yang baru pulih, ia langsung berenang menuju mobil.
Afrain berusaha menghentikannya, tetapi Halwa sudah terlalu cepat.
Halwa menyelam dan melihat suaminya, Athar, yang sudah terkulai dan tidak merespons di kursi kemudi.
Halwa berusaha membuka pintu, tetapi terkunci. Kepanikan dan kurangnya oksigen mulai menyerang Halwa.
Untungnya, salah satu mobil polisi yang dipimpin Yunus (yang sudah mengaktifkan pelacakan) tiba di tempat kejadian.
Melihat mobil tenggelam dan Halwa berada di dalam air, polisi segera bertindak.
Salah satu polisi memecah kaca mobil Athar dengan alat khusus. Mereka berhasil mengeluarkan Athar yang sudah pingsan dan segera menarik Halwa yang sudah kehabisan oksigen saat menyelamatkan suaminya.
Mereka membawa Halwa dan Athar, yang kondisinya kritis, ke rumah sakit terdekat.
Afrain, yang terkejut dan gagal, hanya bisa berdiri kaku di tepi danau, menyaksikan rencananya hancur.
Di rumah sakit di Kanada, kepanikan terjadi. Athar dan Halwa dibawa ke ruang gawat darurat.
Athar mengalami hipoksia parah akibat tenggelam, ditambah dengan trauma fisik akibat pukulan dan keracunan alkohol dosis tinggi.
Sementara Halwa, luka tusuk di punggungnya kembali terbuka karena tekanan air dan pengerahan tenaga saat menyelam, membuatnya kembali kritis.
Yunus berdiri di lorong, pakaiannya basah kuyup, air mata mengalir deras.
Ia melihat dua orang yang paling penting baginya dan Athar berada di ambang kematian.
Yunus menghampiri tim dokter yang sedang tergesa-gesa.
"Dokter, tolong! Selamatkan mereka berdua! Mereka adalah segalanya bagi saya! Selamatkan Tuan Athar dan Nyonya Halwa!" pinta Yunus, suaranya parau, penuh keputusasaan.
Dokter menganggukkan kepalanya dengan serius.
"Kami akan melakukan yang terbaik. Keduanya dalam kondisi kritis, tetapi kami akan berusaha maksimal."
Yunus hanya bisa bersandar di dinding, menatap pintu darurat yang tertutup, berdoa untuk keselamatan tuan dan nyonyanya.
Ia tahu, jika mereka berdua tidak selamat, dunia Athar Emirhan akan benar-benar runtuh.
Beberapa jam kemudian, Athar tersadar. Ia membuka matanya dan mendapati dirinya berada di ruang perawatan, dipenuhi alat medis dan aroma antiseptik.
Pandangannya mencari-cari, dan ia melihat Yunus duduk di sudut ruangan, wajahnya tampak sangat lelah dan cemas.
"Yunus..." panggil Athar, suaranya serak dan lemah.
Yunus terkejut dan segera menghampiri tuannya.
"Tuan! Syukurlah Anda sudah sadar!"
"Di mana Halwa? Di mana istriku?"
Yunus menundukkan wajahnya, tidak berani menjawab. Ekspresi Yunus membuat Athar panik.
Dengan sisa tenaga dan tubuh yang masih lemah, Athar mencoba untuk bangkit dari tempat tidurnya, menarik selang infus di tangannya.
"Yunus! Di mana istriku?! Jawab aku!" teriak Athar, meskipun suaranya masih berat.
"Nyonya masih koma, Tuan. Luka tusuknya terbuka lagi saat di air dan ada infeksi..." jawab Yunus terbata-bata.
Tepat saat itu, dokter masuk ke ruangan, terkejut melihat Athar sudah mencoba berdiri.
"Tuan Athar, Anda harus tenang dan kembali ke tempat tidur! Kondisi Anda belum stabil!" perintah Dokter.
Athar mengabaikan perintah itu. "Jelaskan padaku! Apa yang terjadi pada istriku?!"
Dokter menghela napas, menyadari betapa kuatnya ikatan Athar.
"Kami telah menstabilkan Nyonya Halwa. Tetapi pendarahan hebat saat penyelamatan dan luka yang terinfeksi membuat tubuhnya syok. Ia kembali mengalami koma. Saat ini kami memindahkannya ke ICU untuk pemantauan intensif."
Mendengar kata 'koma', Athar ambruk di ranjangnya.
Setelah dokter memastikan kondisinya, Athar meminta Yunus membantunya.
"Antar aku. Sekarang. Ke ruang ICU," perintah Athar.
Dengan dipapah Yunus dan dengan pakaian rumah sakit, Athar berjalan terseok-seok menuju ruang ICU.
Dari kejauhan, melalui kaca, ia melihat Halwa terbaring tak bergerak, wajahnya pucat, dengan alat medis menempel di tubuhnya, sama seperti beberapa bulan yang lalu.
Dokter akhirnya memperbolehkan Athar masuk ke ruang ICU, tetapi hanya untuk waktu yang singkat.
Athar sudah mengenakan pakaian khusus steril—masker, gown, dan penutup kepala—demi menjaga kebersihan ruangan.
Athar berjalan perlahan mendekati ranjang Halwa.
Ia menarik kursi ke samping ranjang, lalu dengan sangat hati-hati, ia menggenggam tangan istrinya yang masih terpasang infus. Tangan Halwa terasa dingin dan lemah.
Athar duduk, membiarkan semua emosi yang ia tahan selama ini meluap.
Ia mengeluarkan perasaannya sampai menangis sesenggukan, bahunya bergetar.
"Maafkan aku, Sayang. Maaf aku tidak bisa menjagamu lagi. Aku terlalu percaya diri. Aku tidak tahu dia akan nekat sebegini jauh," bisik Athar, suaranya teredam masker.
"Aku mencintaimu, Halwa. Jangan tinggalkan aku. Aku akan melakukan apa pun... aku akan membawa Afrain ke hadapanmu, tapi kamu harus bangun dulu..."
Athar terus berbicara, menuangkan semua rasa sakit dan janji yang ia rasakan.
Tiba-tiba, saat Athar sedang menunduk, menciumi punggung tangan Halwa, ia merasakan sesuatu yang sangat halus. Ia mengangkat kepalanya.
Jari Halwa, yang masih terikat selang, bergerak, hanya sedikit sekali, seperti kedutan lembut.
Mata Athar membelalak. Itu adalah sebuah respons.
Halwa mendengarnya. Harapan, yang sempat redup, kini menyala kembali di mata Athar.