Dulu, Kodasih adalah perempuan cantik yang hidup dalam kemewahan dan cinta. Namun segalanya telah lenyap. Kekasih meninggal, wajahnya hancur, dan seluruh harta peninggalan diambil alih oleh negara.
Dengan iklas hati Kodasih menerima kenyataan dan terus berusaha menjadi orang baik..
Namun waktu terus berjalan. Zaman berubah, dan orang orang yang dulu mengasihinya, setia menemani dalam suka dan duka, telah pergi.
Kini ia hidup dalam bayang bayang penderitaan, yang dipenuhi kenangan masa silam.
Kodasih menua dan terlupakan..
Sampai suatu malam...
“Mbah Ranti... aku akan ke rumah Mbah Ranti...” bisik lirih Kodasih dengan bibir gemetar..
Mbah Ranti adalah dukun tua dari masa silam, penjaga ilmu hitam yang mampu membangkitkan apa pun yang telah hilang: kecantikan, harta, cinta... bahkan kehidupan abadi.
Namun setiap keajaiban menuntut tumbal..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 33.
“Mungkin Arjo sudah datang Mak.” Ucap Kang Pono sambil bangkit berdiri.
“Kang .. hati hati.. aku khawatir pasukan Nyi Ratu mencari korban..”
Kang Pono menoleh sekilas menatap wajah Tiyem isterinya yang terlihat panik dan khawatir..
“Kamu di dalam kamar saja, jangan panik dan khawatir, kalau benar pasukan Nyi Kodasih yang datang, rasa itu akan menjadi makanan nya..” ucap Kang Pono pelan namun serius.
Tiyem menangkup wajahnya sendiri dan berkali kali menyebut nama Gusti Allah.. Sedang kan Kang Pono kembali melangkah keluar kamar menuju pintu yang masih di ketuk ketuk..
TOK.
TOK.
TOK.
“Siapa?” tanya Kang Pono pelan..
“Aku Kang.” Suara seorang laki laki yang begitu dikenal oleh Kang Pono. Tiyem di dalam kamar yang mendengar suara itu juga menjadi tenang..
“Benar Arjo. “ ucap Tiyem lega hatinya dan segera ikut melangkah keluar kamar, untuk membuatkan minuman untuk Arjo dan suaminya.
Di ruang depan Arjo dan Kang Pono sudah duduk di kursi, kedua nya tampak sedang bicara serius..
“Jo, tolong kami. Pasukan Nyi Kodasih semakin banyak, suasana kota semakin mencekam. Kalau sore orang orang sudah tidak berani keluar rumah. Dan kabar yang aku terima dari sebagian masyarakat ..” ucap Kang Pono menggantung.
Ia menarik nafas dalam dalam.. sambil menatap Arjo.. di dalam hati Kang Pono sebenar nya sangat kasihan dengan Arjo. Karena sejak dulu selalu direpotkan oleh ulah Nyi Kodasih, hingga Arjo tidak lulus menjadi prajurit TNI, gara gara kebanyakan izin saat menjadi pasukan PETA.
“Kabar opo meneh Kang?” Tanya Arjo tampak serius.
(Kabar apa lagi Kang)
“Aku sudah berusaha menasihati Nyi Kodasih tetapi sudah susah.” Ucap Arjo sambil menaruh tas kulit kambing nya di atas pangkuan nya.
“Ilmu hitam Mbah Ranti sudah menyatu di dirinya.” Ucap Arjo lagi..
“Ada beberapa orang yang nekat akan melawan Nyi Kodasih. Aku khawatir kalau mereka kalah malah semakin kuat pasukan Nyi Kodasih..” ucap Kang Pono
Sebelum Arjo berucap sesaat terdengar suara langkah kaki dari belakang dan suara Tiyem...
“Iya Jo, kalau mereka kalah malah semakin kuat. Sejak Pak Suryo terpikat dengan Nyi Ratu. Kekuatannya semakin besar..” ucap Tiyem sambil membawa nampan berisi dua gelas minuman.
“Jo.. kok arwah Tuan Menir sudah tidak marah lagi dengan Nyi yang dekat dengan laki laki ...” suara lirih Tiyem sambil menaruh gelas di atas meja..
“Iya Jo, apa arwah Tuan Menir sudah tidak melindungi Nyi Kodasih lagi?” tanya Kang Pono yang juga penasaran.
“Kalau masih ada arwah Tuan Menir yang melindungi Nyi .. mungkin bisa mengendalikan ulah Nyi... Jo.. “ ucap Tiyem yang kini ikut duduk di kursi.
Arjo mengusap wajahnya.. ia tahu Kang Pono dan Tiyem masih menunggu jawabannya...
“Mungkin arwah Tuan Menir justru diikat oleh Mbah Ranti.. saat Nyi Kodasih mendatangi rumah Mbah Ranti..” suara Arjo pelan dan menggantung tidak yakin..
“Bukannya Mbah Ranti sudah mati?” suara lirih Kang Pono dan Tiyem.. bulu kuduk mereka berdua meremang kala mengucap nama Mbah Ranti..
Arjo hanya mengangkat kedua pundaknya.. lalu menyeruput minumannya..
“Kang.. aku besok akan menemui orang orang yang kamu bilang tadi..” ucap Arjo selanjutnya..
“Orang orang yang akan melawan Nyi Kodasih?” tanya Kang Pono..
Arjo pun mengangguk mantap...
🌑🌑🌑🌑
Ketika kota itu hampir tenggelam dalam gelap, ketika Watu Peteng berkeliaran seperti bayang bayang hidup, ketika banyak orang hilang tanpa kabar…
masih ada sekelompok warga yang belum menyerah.
Mereka kecil.
Terpecah.
Tak punya kekuatan.
Tapi mereka punya satu hal yang tidak dimiliki warga lain: Keberanian untuk percaya bahwa ada sesuatu yang sangat salah. Keberanian untuk melawan Ratu bayangan.. Ratu malam..
Mereka berkumpul di sebuah rumah kecil. Arjo, teman lama Nyi Kodasih yang peka pada hal gaib.
Sarinah, janda penjual jamu yang pernah melihat bayangan Kodasih secara langsung.
Bowo, pemuda bengkel yang kakaknya hilang dan terakhir terlihat berjalan mengikuti sosok berbayang.
Damar, guru agama yang tak percaya pada klenik… sampai murid muridnya mengaku mimpi dipanggil “ratu malam”.
Mereka duduk melingkar di lantai, lampu redup, pintu terkunci dua kali.
Angin malam merayap masuk lewat celah jendela, membawa aroma apek seperti tanah basah bercampur darah.
Bowo menggertakkan giginya. “Kakakku tiga hari hilang. Orang bilang dia ikut Nyi Ratu . Itu mustahil, Pak Arjo. Kakak saya orang baik.”
Arjo menatapnya dengan mata sayu.
Ia menghela napas panjang, seolah takut pada kata kata yang akan keluar.
“Kowe kudu ngerti, Wo…”
(Kau harus tahu, Wo…)
“Sing ditekani Nyi Kodasih kuwi dudu wong olo… nanging sing rapuh sing luwih gampang dicekel.”
(Orang yang didatangi Kodasih bukanlah orang jahat… tapi justru yang rapuh yang lebih mudah ditangkap.)
Sarinah menambahkan dengan suara bergetar,
“Aku weruh dhewe… wong sing ora duwe kekuatan jiwa bakal gampang digayuh.”
(Aku melihat sendiri … orang yang tak punya kekuatan jiwa mudah dijangkau.)
Damar akhirnya berkata, “Aku awalnya tak percaya. Tapi ketika tiga santri di mushola mimpi hal yang sama… mimpi wanita bersayap hitam… ini bukan mimpi biasa. Ini… kekuatan besar.”
Ruangan menjadi sunyi.
Semua menunduk, menyadari kedalaman bahaya yang mereka hadapi.
Arjo akhirnya bangkit perlahan. Ia membuka tas kulit kambing tua dan mengeluarkan sebuah kantong kain hitam dari dalam tas itu..
Sarinah menelan ludah.
“Pak Arjo… aku ora nyaman ndelok kantong kuwi…”
(Pak Arjo… aku tak nyaman melihat kantung itu…)
Arjo membuka tali pengikat kantung kain hitam itu.
Di dalamnya terdapat beberapa benda: segenggam garam kasar, kain merah dengan aksara Jawa kuno, sebilah keris kecil berlapis mantra, dan sepotong kaca kecil berbentuk lingkaran.
Damar mengerutkan kening. “Apa itu?”
Arjo memegang kaca itu, menatapnya serius.
“Iki kaca pangilon kanggo ndelok roh peteng.”
(Ini cermin khusus untuk melihat roh kegelapan.)
“Lan mung peralatan iki sing iseh iso nglawan.”
(Dan hanya peralatan ini yang masih bisa melawan.)
Bowo menggenggam tangan, kukunya sampai menancap ke kulit.
“Kalau begitu… kita lawan. Kita selamatkan keluarga kita.”
Arjo menatap mereka satu per satu.
“Nanging kowe kabeh kudu ngerti risiko ne…”
(Tapi kalian harus tahu risikonya…)