Sepuluh bulan lalu, Anna dijebak suaminya sendiri demi ambisi untuk perempuan lain. Tanpa sadar, ia dilemparkan ke kamar seorang pria asing, Kapten Dirga Lakshmana, komandan muda yang terkenal dingin dan mematikan. Aroma memabukkan yang disebarkan Dimas menggiring takdir gelap, malam itu, Anna yang tak sadarkan diri digagahi oleh pria yang bahkan tak pernah mengetahui siapa dirinya.
Pagi harinya, Dirga pergi tanpa jejak.
Sepuluh bulan kemudian, Anna melahirkan dan kehilangan segalanya.
Dimas dan selingkuhannya membuang dua bayi kembar yang baru lahir itu ke sebuah panti, lalu membohongi Anna bahwa bayinya meninggal. Hancur dan sendirian, Anna berusaha bangkit tanpa tahu bahwa anak-anaknya masih hidup. Dimas menceraikan Anna, lalu menikahi selingkuhan. Anna yang merasa dikhianati pergi meninggalkan Dimas, namun takdir mempertemukannya dengan Kapten Dirga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Mereka mencari ibunya.
Sudah hampir dua jam Kapten Dirga duduk di kursi kecil tepat di sisi ranjang. Anna belum sadar napasnya naik turun pelan di balik masker oksigen. Monitor detak jantung mengisi kesunyian ruangan.
Dirga menatap wajah lemah itu, jemarinya tak lepas dari tangan Anna.
“Bangunlah … anak-anakmu menunggumu,” gumamnya lirih.
Pintu UGD terbuka pelan. Mayor Kevin masuk, wajahnya tegang bukan karena operasi malam ini tapi sesuatu yang lain.
“Kapten Dirga…” Nadanya berat.
Dirga langsung bangkit, meski kepalanya sedikit berputar.
“Kenapa? Ada keadaan darurat lagi?”
Mayor Kevin mengusap wajahnya, terlihat frustrasi.
“Itu mengenai anak kembarnya Anna.”
Dirga langsung gelisah. “Apa yang terjadi?! Mereka kenapa?”
Mayor Kevin mendekat, menundukkan suara.
“Istriku … sudah hampir dua jam mencoba menenangkan mereka. Mereka tidak mau minum sufor. Mereka hanya menangis dan menangis.”
Dirga terdiam, sufor, tentu saja bayi-bayi itu menolak, selama ini mereka hidup sepenuhnya dengan ASI Anna. Naluri mereka hanya mengenali bau dan kehangatan ibunya.
“Usia satu tahun,” tambah Mayor Kevin. “Kembar pula. Kalau keduanya menolak minum, mereka bisa dehidrasi.”
Dirga memandang Anna lagi. Wanita itu terbaring tak berdaya, dan dua bayi kecil sedang menangis mencari ibunya.
“Mayor, Anda bilang istrimu panik?” tanya Dirga lirih.
“Iya, dia menelepon, hampir menangis sendiri. Bayi-bayi itu tidak berhenti menangis, sampai warnanya sedikit memerah.”
Dirga mengembuskan napas panjang, menahan rasa bersalah yang rasanya menyesakkan.
“Mereka pasti trauma, Mayor Kevin. Mereka kehilangan ibunya seharian. Dan sekarang Anna belum bangun.”
Mayor Kevin mengangguk.
“Aku mau ambil mereka ke sini. Tapi dokter bilang UGD tidak boleh penuh bayi.”
Dirga menatap Anna lagi, menggenggam tangannya lebih erat.
“Kalau Anna lihat mereka … kalau mereka dengar suara ibunya … kemungkinan besar mereka tenang.”
Kevin menatap Dirga, setengah ragu, setengah berharap.
“Kau yakin?”
Dirga mengangguk tegas, meski tubuhnya masih lemah.
“Sangat yakin. Anak-anak selalu mengenali ibunya … bahkan saat ibunya tidak sadar. Dan mereka butuh dia.”
Mayor Kevin menarik napas lega.
“Baik, aku minta istri menyiapkan bayi-bayi itu. Kita pindahkan Anna ke ruang perawatan khusus lalu biarkan si kembar berada dekat ibunya.”
Dirga tersenyum tipis senyum pertama sejak penyergapan.
“Terima kasih, Mayor.”
“Tidak perlu terima kasih. Kita semua berutang pada Anna.”
Mayor Kevin berjalan keluar untuk menghubungi istrinya. Dirga kembali duduk di sisi Anna. Ia mengusap punggung tangan wanita itu, memandangnya penuh ketenangan dan duka yang bercampur.
“Anak-anakmu menangis mencarimu.” Suara Dirga bergetar lembut.
“Kau dengar itu, Anna? Mereka butuh kamu. Jadi … bukalah matamu.”
Untuk pertama kalinya, mata Anna bergerak, sangat tipis, seperti ada getaran kecil di kelopak matanya.
Dirga menahan napas.
“Anna…?”
Jari Anna berkedut, Dirga berdiri, hampir lupa nyeri di rusuknya.
“Mayor Kevin!” panggilnya cepat.
Mayor Kevin masuk lagi. “Ada apa?”
Dirga menunjuk ke arah Anna.
“Dia merespons.”
Mayor Kevin memandang Anna, matanya melebar.
“Anak-anaknya mungkin memanggilnya … lewat kita.”
Dan pada detik itu monitor detak jantung Anna sedikit menguat, seolah tubuhnya mencoba bangkit dari kegelapan.
Suasana rumah sakit militer dini hari itu masih dipenuhi aroma alkohol medis dan langkah-langkah cepat para perawat. Ruang perawatan khusus telah disiapkan sesuai permintaan Mayor Kevin, lebih tenang, cahaya lebih redup, dan jauh dari keramaian.
Pintu ruangan terbuka.
Mayor Kevin masuk lebih dulu, disusul istrinya yang menggendong kedua bayi kembar itu Alvaro di kanan, Almira di kiri. Wajah mereka merah, mata sembab, dan tangisan keduanya membuat dada siapa pun terasa mencubit.
Begitu bayi-bayi itu masuk, Dirga langsung berdiri dari sisi ranjang Anna mata penuh campuran rindu, sakit, dan naluri ayah yang selama ini tersembunyi.
“Ini … anak-anak…” ucap istri Mayor Kevin dengan suara hampir bergetar. “Mereka tidak berhenti menangis sejak tadi.”
Tangisan pecah lagi, nyaring, putus-putus, penuh ketakutan.
Dirga tak menunggu waktu. Ia maju, mengambil Alvaro dari gendongan istri Mayor Kevin dengan hati-hati, lalu mengambil Almira setelahnya. Tangannya gemetar entah karena luka, lelah, atau rasa bersalah yang akhirnya meledak.
Begitu kedua bayi itu berpindah dalam pelukannya, tangisan mereka tiba-tiba mereda. Tidak berhenti sepenuhnya tapi melemah, seperti mereka mengenali sesuatu. Dirga menunduk mencium ubun-ubun mereka.
Keduanya berhenti meronta, Mayor Kevin sampai terdiam. Istrinya menutup mulut, terharu melihat perubahan drastis itu. Dirga memeluk kedua bayi itu erat, lututnya hampir goyah.
Alvaro menggenggam seragam Dirga dengan tangan mungilnya. Almira menyandarkan wajah kecilnya di dada Dirga. Dirga menahan napas, suaranya serak.
“Papa di sini…” bisiknya.
Tangisan itu perlahan berubah menjadi rengekan kecil, lalu hening. Semua yang ada di ruangan itu menatap adegan tersebut dengan mata berkaca-kaca.
“Kapten Dirga…” bisik Mayor Kevin. “Mereka mengenalmu.”
Dirga mengangguk, walau air mata jatuh tanpa ia sadari. Aku tidak ada untuk mereka, aku tidak ada untuk Anna, dia menoleh ke arah ranjang tempat Anna terbaring lemah tapi kini terlihat sedikit lebih bernyawa. Kelopak matanya bergerak tipis, seperti merasakan keberadaan anak-anaknya.
Dirga mendekat dengan hati-hati, duduk di tepi ranjang. Ia memiringkan tubuh sehingga bayi-bayi itu bisa berada lebih dekat dengan ibu mereka.
“Lihatlah, Anna … mereka sudah di sini…”
Tiba-tiba, jari Anna bergerak lagi. Almira menangis kecil, bukan tangis panik melainkan panggilan. Kelopak mata Anna terangkat pelan.
"An..." suara Kapten Dirga memanggilnya pelan.
anak" memang matahari, bulan ,sekaligus bintang bagi seorang ibu. Mereka adalah kehidupannya, penerang dalam gelap sekaligus keindahan bagi ibu.
sdh saatnya km bahagia anna sm kapten Dirga .
ayo semangaaatt 💪