Tujuh belas tahun lalu, Ethan Royce Adler, ketua geng motor DOMINION, menghabiskan satu malam penuh gairah dengan seorang gadis cantik yang bahkan tak ia ketahui namanya.
Kini, di usia 35 tahun, Ethan adalah CEO AdlerTech Industries—dingin, berkuasa, dan masih terikat pada wajah gadis yang dulu memabukkannya.
Sampai takdir mempertemukannya kembali...
Namun sayang... Wanita itu tak mengingatnya.
Keira Althea.
Cerewet, keras kepala, bar-bar.
Dan tanpa sadar, masih memiliki kekuatan yang sama untuk menghancurkan pertahanan Ethan.
“Jangan goda batas sabarku, Keira. Sekali aku ingin, tak ada yang bisa menyelamatkanmu dariku.”_ Ethan.
“Coba saja, Pak Ethan. Lihat siapa yang terbakar lebih dulu.”_ Keira.
Dua karakter keras kepala.
Satu rahasia yang mengikat masa lalu dan masa kini.
Dan cinta yang terlalu liar untuk jinak—bahkan ol
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yudi Chandra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32
Malam itu belum benar-benar reda. Jam dinding baru menunjuk pukul dua belas lebih sedikit, tapi udara di rumah kecil itu terasa begitu pengap, seolah dinding-dindingnya ikut menahan napas bersama Keira.
Aiden sudah menghilang kembali ke dalam kamarnya. Tak ada suara selain dengung kipas angin tua dan detak jam yang berdetak seperti palu kecil menghantam pelan kepala Keira: Tik… tok… tik… tok…
Pertanyaan itu masih menggema.
Masih segar.
Masih menyakitkan.
"Apa mungkin dia ayahku?"
Keira berdiri mematung di ruang tengah. Tangannya masih menggenggam ujung kaus tidurnya, seakan jika ia melepasnya, seluruh tubuhnya akan runtuh. Tatapan matanya kosong, menatap lantai yang bahkan tak benar-benar ia lihat.
Ia ingin mengejar Aiden, memeluknya, berkata bahwa semuanya baik-baik saja. Tapi apa yang bisa ia katakan… jika justru dialah sumber dari seluruh kebingungan itu?
Langkah pelannya membawanya ke tepi sofa. Ia duduk, lalu menunduk. Napasnya memberat. Bukan karena lelah — tapi karena perang dalam dadanya akhirnya pecah.
“Aku sudah sejauh ini…” bisiknya, nyaris tak terdengar. “Aku sudah membohonginya selama tujuh belas tahun…”
Bayangan Aiden kecil seakan hadir di hadapannya: bocah dengan mata besar yang selalu menatapnya penuh percaya, penuh kehangatan, penuh keyakinan bahwa ia adalah dunianya satu-satunya.
Dan ia telah membalasnya… dengan kebohongan.
Air mata jatuh begitu saja, tanpa ia sadari. Lembut, tapi terasa seperti api di pipinya.
Bukan hanya karena ia merasa bersalah.
Bukan hanya karena ia takut.
Tapi karena, jauh di sudut hatinya yang paling tersembunyi, Keira tahu satu hal yang paling ia takuti untuk diakui:
Ia tidak hanya melindungi Aiden dari Ethan…
Ia juga selama ini melindungi dirinya sendiri.
Dari masa lalu.
Dari rasa sakit.
Dan dari perasaan yang perlahan mulai tumbuh.
Nama itu kembali muncul dalam benaknya seperti hantu yang tak pernah bisa ia hapus.
Ethan.
Tatapan pria itu beberapa saat lalu.
Nada suaranya yang rendah, penuh kepastian.
Cara ia menatap Keira… bukan seperti melihat sekretaris, bukan seperti perempuan di masa lalu… tapi seperti sesuatu yang ingin ia klaim, lindungi, bahkan kuasai.
“Aku tidak mau lagi kehilangan kalian.”
Jari Keira mengepal.
“Mama takut, Aiden…” gumamnya lirih. “Mama takut kalau dia tahu… dia akan mengambilmu dariku. Mama takut kamu akan memilih dunianya, meninggalkan mama sendirian…”
Dada Keira terasa perih saat membayangkan Aiden berada di sisi Ethan yang akan dikenal sebagai pewaris Adler, calon penerus AdlerTech, hidup di dunia mewah, sementara dirinya hanya menjadi bagian dari masa lalu yang memudar.
Tapi lalu muncul wajah Aiden tadi kembali terlukis jelas dalam pikirannya. Bukan wajah anak kecil itu — melainkan wajah remaja yang dingin, kuat, penuh harga diri… yang bahkan berani menatap dunia tanpa gentar.
Anak yang tidak pernah manja.
Anak yang berdiri di atas kakinya sendiri.
Anak yang tidak butuh belas kasihan.
Anak yang berhak atas kebenaran.
Napas Keira terhenti sesaat.
“Mungkin… mama bukan ibu yang baik kalau terus berbohong padamu…” suaranya bergetar, tapi kali ini bukan karena ketakutan semata. Ada sesuatu yang mulai tumbuh di sana. Sebuah keputusan.
Ia menghapus air matanya dengan kasar, lalu berdiri perlahan. Kakinya melangkah menuju jendela kecil di sisi rumah. Ia menatap keluar, melihat siluet motor Aiden yang terparkir di sana — hadiah yang ia berikan dengan niat pelindung, tapi malah membawanya mendekat pada bahaya… dan pada masa lalu yang selama ini ia kubur.
“Cukup, Keira…” bisiknya pada dirinya sendiri. “Lo nggak bisa terus kayak gini.”
Tangannya menyentuh dadanya, tepat di atas jantungnya yang berdegup kencang.
“Dia berhak tahu siapa ayahnya. Dan… lo nggak boleh terus menghalanginya.”
Keputusan itu akhirnya jatuh seperti palu terakhir.
Besok.
Tidak, bukan besok.
Secepat mungkin.
Ia yang akan mempertemukan Aiden dengan Ethan… bukan karena paksaan… bukan karena ancaman… tapi karena kebenaran memang seharusnya menemukan jalannya pulang.
Keira menoleh ke arah kamar Aiden. Pintu masih tertutup rapat. Di balik sana, anaknya mungkin masih terjaga, mungkin sedang memikirkan hal yang sama seperti yang sedang mencabik-cabik pikirannya sekarang.
“Maafkan Mama…” bisiknya pelan, nyaris seperti doa. “Maaf karena baru sekarang berani menghadapi kenyataan.”
Namun kali ini, di balik matanya yang basah, tidak hanya ada rasa takut.
Ada sesuatu yang lain.
Tekad.
Dan untuk pertama kalinya sejak tujuh belas tahun lalu, Keira tidak lagi ingin lari.
Ia siap menghadapi Ethan.
Siap menghadapi masa lalu.
Dan siap menerima apa pun yang akan terjadi… demi Aiden.
...----------------...
Keesokan harinya...
Ruang VIP itu terlalu sunyi untuk ukuran restoran semewah ini.
Lampu gantung kristal memantulkan cahaya keemasan yang lembut, seharusnya menenangkan—tapi tidak bagi Aiden. Ia duduk bersandar di kursi berlapis kulit, jaket kulit hitamnya digantung sembarangan di sandaran. Di hadapannya, gelas air putih belum tersentuh. Di seberangnya… Keira menatap meja terlalu lama, jemarinya saling meremas pelan.
Sesuatu salah.
“Aku jarang banget diajak ke tempat kayak gini,” gumam Aiden akhirnya, memecah keheningan. Matanya bergerak memindai ruangan mewah yang terlalu bersih untuk kebiasaannya. “Ada apa, Ma?”
Keira tersenyum tipis, terlalu tipis untuk disebut senyum.
“Kamu tahu mama jarang ngajak kamu keluar… kecuali ada yang penting.” Suaranya tenang, tapi dadanya bergetar.
“Kayak... ada yang mau Mama beli? Atau kita rayain sesuatu?” Aiden terkekeh kecil, mencoba mencairkan suasana. “Atau… Mama mau ngenalin aku ke bos yang super dingin itu lagi?”
Nama itu menggantung di udara tanpa disebut, tapi mereka berdua tahu siapa yang dimaksud.
Keira menelan ludah.
“Dia akan datang ke sini.”
Aiden menoleh cepat.
“Pak Ethan?”
Keira mengangguk hampir tak terlihat.
Detik itu juga, hawa di ruangan berubah. Seakan kadar oksigennya menipis.
“Kenapa?” Nada suara Aiden berubah, lebih datar, waspada. “Apa ada urusan kerja lagi? Aku udah nolak dia, Ma. Aku nggak mau ada urusan apa pun sama…”
Kalimatnya terpotong saat pintu geser VIP terbuka perlahan.
Seorang pria berdiri di sana.
Tegap. Dingin. Wibawa yang mendominasi ruangan tanpa usaha.
Ethan Royce Adler.
Setelan hitamnya rapi, rambutnya disisir mundur sempurna, rahangnya mengeras saat pandangannya bertemu mata Aiden. Ada sesuatu yang bergejolak di balik tatapannya—sesuatu yang belum pernah Aiden lihat, bahkan saat mereka bertemu pertama kali.
Perasaan asing. Membingungkan.
“Maaf membuat kalian menunggu.” ucapnya saat tiba di hadapan Keira.
Lalu… pandangannya berpindah. ke Aiden.
“Apa kabar, Aiden?”
Nama itu keluar dari bibirnya terlalu familiar.
Aiden tidak membalas sapaan itu. Tatapannya mengunci wajah pria itu, mencoba membaca sesuatu yang belum pernah bisa ia pahami. Mirip? Ya. Tapi rasanya lebih dari itu sekarang. Seperti menatap versi masa depan yang tak ia minta.
Ethan melangkah masuk. Pintu tertutup kembali. Kini mereka bertiga terkurung dalam lingkaran takdir yang tak bisa lagi lari.
Keira berdiri perlahan dari kursinya. Napasnya berat.
“Aiden…” Suaranya bergetar meski ia berusaha keras tetap tegar. “Mama harus mengatakan sesuatu yang seharusnya sudah mama ucapkan sejak lama.”
“Ma…” Aiden mengernyit. “Jangan buat aku nebak-nebak.”
Keira menatap Ethan sebentar. Ada ribuan kenangan di sana—luka, cinta, penyesalan.
Lalu kembali pada anaknya.
“Pak Ethan ini… bukan cuma bos Mama,” katanya finally
Jantung Aiden berdetak lebih keras.
“Tapi dia juga… ayah kandungmu.”
Hening.
Bukan lagi detik—seperti abad yang jatuh ke lantai.
Aiden tak berkedip. Bahkan tak bernapas sejenak.
“Ma-mama bohong, kan?” Suaranya nyaris berbisik. Bukan marah. Tapi hancur. “Mama bilang aku cuma punya Mama.”
“Aiden…” Keira melangkah mendekat, tapi Aiden langsung mundur.
“Jangan sentuh aku.” Pandangannya beralih ke Ethan, tajam seperti pisau. “Jadi ini maksud semua ‘kemiripan’ itu? Semua tatapan aneh itu? Semua sikap posesif itu?”
Ethan tak menghindar. Bahkan selangkah pun tidak.
“Ya,” jawabnya pelan. “Itu sebabnya.”
“LUCU.” Aiden terkekeh getir. “Sangat lucu. Kalian berdua main drama di belakangku selama ini, dan baru sekarang merasa aku ‘berhak tahu’?”
Bibir Keira bergetar. Air mata menggantung tapi tak jatuh.
“Mama berusaha melindungi kamu…”
“Dari apa? Dari kebenaran?” Aiden menunjuk dadanya sendiri. “Atau dari DIA?” gabah jarinya berpindah ke arah Ethan.
Ethan melangkah setapak lebih dekat. Suaranya rendah, namun penuh tekanan tersembunyi.
“Papa tidak pernah berniat menyakitimu, Aiden.”
“Sayangnya, Anda berhasil,” balas Aiden cepat. “Bahkan sebelum aku sadar.”
Matanya berkaca-kaca, tapi gengsinya menahan air itu mati-matian.
“Jadi selama ini… aku ini apa? Proyek rahasia Anda? Kesalahan yang baru Anda akui setelah sukses?”
Bibir Ethan menegang. Ada luka yang jelas di balik wajah dinginnya.
“Kau bukan kesalahan,” katanya tegas. “Kau… satu-satunya hal yang nyata sejak awal.”
Itu seharusnya terdengar manis.
Tapi bagi Aiden, itu terdengar seperti beban baru yang tak pernah ia minta.
Ia mundur selangkah, menggeleng. Tawanya keluar lagi—pahit, rapuh.
“Nggak. Ini gila. Semua ini gila.”
Aiden meraih jaketnya, menyampirkannya dengan kasar.
“Ma, aku butuh udara. Aku bahkan nggak tahu harus manggil dia apa.” Ia melirik Ethan satu kali lagi. “Ternyata selama ini… aku hidup dengan bayangan orang yang bahkan nggak pernah ada untukku.”
Ethan menegang, tapi tidak menghentikannya.
Keira terisak.
“Aiden, jangan pergi…”
“Kalau aku di sini, yang keluar duluan bukan aku… tapi amarahku, Ma.”
Langkahnya menuju pintu berat dan cepat. Tangannya mendorongnya terbuka.
Sebelum keluar, ia berhenti sepersekian detik tanpa menoleh.
“Aku butuh waktu…” katanya pelan. “Untuk benci. Atau… mungkin untuk mengerti.”
Dan ia pergi.
Pintu tertutup kembali dengan bunyi lirih—tapi dampaknya seperti ledakan.
Tersisa Keira yang gemetar dan Ethan yang berdiri kaku… menatap kursi kosong yang baru saja ditinggalkan darah dagingnya sendiri.
Ethan mengepalkan tangan.
“Dia membenciku…”
Keira menyeka air matanya.
“Nggak. Dia hanya terlalu mirip kamu.”
Ia menatap Ethan lirih.
“Dan itulah yang paling menyakitkan.”
...****************...
up nya kurang kk
3 S😍
tutur bahasanya rapi halus tegas jarang tipo atau mungkin belum ada
semangat tor 💪💪💪