Sejak bayi, Kim Areum menghilang tanpa jejak, meninggalkan tiga kakaknya—Kim Jihoon, Kim Yoonjae, dan Kim Minjoon—dengan rasa kehilangan yang tak pernah padam. Orang tua mereka pergi dengan satu wasiat:
"Temukan adik kalian. Keluarga kita belum lengkap tanpanya."
Bertahun-tahun pencarian membawa mereka pada sebuah kebetulan yang mengejutkan: seorang gadis dengan mata yang begitu familiar. Namun Areum bukan lagi anak kecil yang hilang—ia tumbuh dalam dunia berbeda, dengan ingatan kosong tentang masa lalunya dan luka yang sulit dimengerti.
Sekarang, tiga kakak itu harus membuktikan bahwa ikatan darah dan cinta keluarga lebih kuat daripada waktu dan jarak. Bisakah mereka menyatukan kembali benang-benang yang hampir putus, atau Areum telah menjadi bagian dari dunia lain yang tak lagi memiliki ruang untuk mereka?
"Seutas benang menghubungkan mereka—meregang, namun tidak pernah benar-benar putus."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 33: Sia-sia melawan.
Mobil yang Yoonjae kendarai melaju kencang membelah jalanan Seoul yang lenggang siang itu. Dia tidak peduli meskipun Areum berkali-kali memohon agar diturunkan. Yang ada di pikirannya sekarang hanyalah satu: Areum harus tetap di sisinya, apa pun yang terjadi.
Tak butuh waktu lama, mobil itu akhirnya berhenti di halaman depan kediaman utama keluarga Kim. Yoonjae segera turun, memutari mobil, lalu membuka pintu di sisi Areum. Dengan gerakan cepat, ia menarik gadis itu keluar tanpa memberinya kesempatan untuk menghindar.
“Aku tidak mau! Lepaskan aku!” seru Areum, berusaha melepaskan diri.
Namun Yoonjae tidak menggubris. Wajahnya tegang, matanya tajam—seolah kehilangan kendali atas emosinya sendiri. Ia tetap menarik Areum menuju pintu utama, meski gadis itu terus berontak dan menolak untuk masuk.
“Lepaskan! Aku tidak mau ikut!” teriaknya lagi dengan suara bergetar.
Yoonjae tetap diam. Tangannya menggenggam kuat pergelangan Areum, menyeretnya masuk. Saat itu, Jihoon yang kebetulan masih berada di rumah—karena hari ini ia memang tidak masuk kantor—menoleh ke arah mereka. Pandangannya langsung tertuju pada keduanya.
“Yoonjae! Apa yang kau lakukan?” ujarnya keras sambil melangkah mendekat. Ia menatap Areum yang kini menangis, mencoba melepaskan diri dari cekalan Yoonjae.
“Dia bilang ingin meninggalkan Mapo. Aku tahu dia tidak bisa menerima kenyataan bahwa kita keluarganya,” ujar Yoonjae dengan nada tajam namun bergetar. “Tapi dia tidak bisa terus lari dari kenyataan itu. Mau atau tidak, dia tetap bagian dari keluarga ini.” ujar nya yang membuat Jihoon menatap Areum dalam diam. Sorot matanya sendu namun tegas.
“Ara... kami tahu kamu kecewa. Kami paham betapa sulit menerima semua ini, tapi kami juga tidak ingin kehilanganmu lagi. Kami mencarimu selama ini, Ara. Orang tua kita bahkan... pergi karena kehilanganmu.” ujar nya lembut.
Areum menepis tangan Jihoon dengan kasar. Air matanya menetes deras, wajahnya memerah karena amarah dan kesedihan yang menyesakkan dada.
“Aku tidak... aku tidak mau! Aku bukan Ara! Aku bukan bagian dari kalian!” teriaknya histeris. Tubuhnya gemetar hebat, matanya buram oleh air mata. Suara tangisnya pecah di udara rumah besar itu, membuat suasana kian mencekam.
“Kau itu Ara! Bukan Areum — itu nama aslimu,” tegas Jihoon, mencoba menahan gejolak dalam dirinya. “Ingin bukti apalagi? Kau tidak ingin tahu tentang orang tua kita yang meninggal karena kehilanganmu? Setidaknya peduli lah sedikit. Aku tahu kamu kecewa, tapi lari dari masalah bukanlah jawaban, arasseo?” lanjut nya masih berusaha mengontrol emosi nya. Areum menatapnya dengan pandangan tajam yang penuh luka.
“Untuk apa peduli pada orang yang tidak peduli padaku?! Lepaskan... akhhh!” jeritnya lagi sambil berusaha menepis tangan Yoonjae yang tetap menggenggamnya erat.
Jihoon dan Yoonjae saling berpandangan, amarah tampak jelas di wajah keduanya setelah mendengar ucapan Areum barusan. Urat di pelipis Yoonjae menegang, rahangnya mengeras menahan emosi yang hampir meledak.
“Kau bicara apa barusan?!” suara Yoonjae meninggi, matanya membulat penuh kemarahan. “Kau bilang orang tua kita tidak peduli padamu? Kau bahkan tidak tahu bagaimana mereka hidup setiap hari dalam penyesalan karena kehilanganmu, Ara!” bentak nya yang membuat Areum terisak tapi tetap berontak. Air matanya jatuh tanpa henti, namun tubuhnya bergerak liar, berusaha menepis tangan Yoonjae dan mendorong tubuh Jihoon yang berdiri di depannya.
“Aku tidak peduli! Aku tidak mau dengar apa pun darimu! Lepaskan aku, jinjja!” teriaknya sambil memukul dada Yoonjae dengan lemah. Yoonjae hanya menggenggam kedua bahunya, matanya menatap tajam tapi suaranya bergetar.
“Berhenti, Ara! Aku tidak akan membiarkanmu pergi lagi. Kau pikir aku akan diam melihatmu lenyap begitu saja setelah bertahun-tahun kami mencarimu?” ujarnya keras.
“Cukup, Yoonjae! Kendalikan emosi mu,” Jihoon membentak, berusaha menahan adiknya yang mulai kehilangan kendali. Namun Areum sudah lebih dulu menepis tangan mereka berdua, napasnya tersengal karena tangis dan rasa panik yang bercampur jadi satu.
“Aku tidak butuh kalian! Aku tidak butuh siapa pun! Aku ingin hidupku sendiri! Arasseo?! Lepaskan aku!” jerit nya yang mana suara Areum melengking, memenuhi ruangan besar itu. Wajahnya memerah, rambutnya berantakan, tubuhnya gemetar hebat. .
Jihoon terdiam sejenak, menatap gadis itu yang kini terduduk di lantai dengan bahu naik-turun menahan tangis. Sementara Yoonjae mengepalkan tangan kuat-kuat, menunduk dalam, mencoba menahan diri agar tidak kehilangan kesabaran.
“Aigoo... apa yang harus kita lakukan denganmu, Ara,” gumam Jihoon lirih, suaranya terdengar serak. Namun Areum tetap tak peduli. Ia bangkit, menatap mereka dengan mata penuh amarah dan luka yang belum sembuh.
“Aku bukan Ara...” ucapnya lirih tapi tegas, sebelum berbalik dan mencoba berlari ke arah pintu.
“Berhentilah bersikap seperti anak kecil,” ujar Yoonjae tegas, langkahnya cepat ketika menahan tangan adiknya itu agar tak bisa ke mana pun. Tatapan matanya tajam, rahangnya mengeras, seolah menahan badai emosi yang siap meledak kapan saja.
“Bawa saja dia ke kamar. Percuma bicara sekarang... dia tidak akan mau dengar,” ujar Jihoon akhirnya menyerah, nada suaranya berat, penuh kelelahan. Ia tahu semua ini tidak akan mudah.
Yoonjae hanya mengangguk pelan, mengiyakan ucapan kakaknya itu. Napasnya memburu, tapi ia tetap berusaha mengendalikan diri. Mungkin, jika Areum tidak bisa dibujuk dengan cara halus, mereka harus memilih cara lain.
“Tidak mau... tidak!” teriak Areum semakin samar seiring langkahnya yang menjauh bersama Yoonjae. Suaranya bergetar di udara, menyisakan gema sedih di ruangan besar itu.
Jihoon mengusap wajahnya kasar, menghela napas berat. Ia sudah menyangka semuanya akan seperti ini. Ia sadar betul, Areum pasti akan menolak fakta itu ketika tahu semuanya. Tapi setidaknya kini mereka akan berusaha membuat Areum menerima kenyataan bahwa mereka adalah keluarga. Mau bagaimana pun, itu adalah wasiat orang tua mereka—wasiat terakhir yang ingin mereka tepati.
Meski jalannya mungkin tidak akan semulus drama, Jihoon tahu, tidak ada pilihan lain selain menghadapi semuanya dengan sabar.
Langkah Yoonjae terdengar berat saat ia menyeret Areum. Bukan karena tubuh Ara berat—melainkan emosi yang memuncak di dadanya. Tangan Areum terus berusaha melepaskan diri, kuku-kukunya bahkan meninggalkan goresan samar di pergelangan tangan Yoonjae, namun ia tidak menghentikan langkahnya.
“Lepas! Aku bilang lepas! Aku tidak mau tinggal di sini, tidak...” suara Ara pecah, penuh frustrasi dan ketakutan.
“Diam!” suara Yoonjae rendah—bukan berteriak, bukan memohon, tapi tegas dan mengancam.
Nada yang lahir bukan dari amarah… tapi ketakutan kehilangan lagi.
Areum berhenti berontak sejenak ketika melihat sekilas perubahan nada itu, tapi hanya sepersekian detik—setelahnya ia kembali menahan, mendorong, mencoba kabur dari genggaman. Namun semuanya sia-sia tenaga nya jelas bukan tenaga Yoonjae.
Saat akhirnya sampai di depan pintu sebuah kamar luas, Yoonjae berhenti dan membuka pintu dengan hentakan. Lampu menyala, menyingkap ruangan yang tidak asing meski asing: Lemari kayu gelap, ranjang besar dengan seprai putih. Sebelum Areum sempat mundur, Yoonjae menariknya masuk dan menutup pintu keras—cukup kuat membuat gagang pintu bergetar, Areum membalikan badan, menatapnya tajam.
“Kenapa kau bawa aku ke sini?! Aku bahkan tidak kenal kalian! Aku bukan milik kalian!” teriak nya kesal.
Kata-katanya seperti pisau—tajam, spontan, defensif. Yoonjae memejamkan mata sebentar, mencoba menahan emosi yang hampir meledak.
“Kau memang tidak kenal, tapi itu bukan berarti kau bukan bagian dari kami.” ucapnya rendah, nyaris seperti gumaman, hal itu membuat Areum tertawa miring—bukan karena lucu, tapi karena putus asa.
“Oh ya? Lalu setelah aku tahu aku ada hubungan darah dengan kalian… apa? Semua harus berubah hanya dalam satu hari? Aku harus tinggal, tersenyum, dan pura-pura ini normal?” Ia menunjuk ruangan itu dengan tangan bergetar. “Ini bukan rumahku. Ini bukan hidupku. Dan kalian bukan keluargaku.” lanjut nya yang mana kata terakhir itu menusuk.
Sorot mata Yoonjae berubah—tidak lagi marah… tapi terluka. Namun, berbeda dari orang lain, luka itu tidak membuatnya mundur—justru semakin menguat, Yoonjae melangkah mendekat sangat dekat hingga Areum terpaksa mundur satu langkah.
“Kalau kau mau marah… silakan, kalau kau mau benci aku, kau boleh. Tapi satu hal—aku tidak akan biarkan kau pergi lagi.” suaranya pelan, serak, namun tidak bergetar. Ara membalas tatapannya, napasnya tercabik-cabik.
“Aku bukan tawanan.” ujar nya yang membuat Yoonjae menatap nya lembut.
“Tidak, tentunya bukan... Kau adikku, keluarga kami,” Yoonjae mengangguk pelan.
“Jangan pakai kata itu untuk mengikatku.” bentak Areum yang membuat Yoonjae terkunci sedetik. Matanya bergerak sedikit ke foto di samping ranjang—foto itu sama dengan yang ia simpan selama bertahun-tahun, lusuh, terlipat, melewati hujan dan perjalanan panjang mencari gadis di depannya.
“Aku sudah menghabiskan bertahun-tahun mencari seseorang yang bahkan mungkin tidak ingin ditemukan, aku tidak sempurna, Ara. Aku bukan kakak yang baik. Aku terlambat. Aku gagal melindungi.” ucapnya pelan—dan kali ini, bukan marah tapi jujur, Areum menelan ludah tangannya mengepal.
“Tapi sekarang kau di sini, dan aku tidak tahu bagaimana caranya… untuk merelakan kau pergi setelah akhirnya aku menemukanmu.” lanjutnya, suara itu pecah—bukan karena emosi, tapi penahanan selama bertahun-tahun.
Areum memalingkan wajah, bukan karena tidak punya jawaban—tapi karena jawabannya terlalu menyakitkan untuk diucapkan.
"Aku bukan bagian dari keluarga mu dan aku tidak perduli!" Ujar nya sembari berjalan cepat menuju pintu keluar tapi Yoonjae dengan cepat menahan tangan Areum.
"Aku tidak akan biarkan kau pergi," ujar Yoonjae yang membuat Areum meronta-ronta berusaha melepaskan, Yoonjae menarik nya agak dalam ke tengah kamar lalu berjalan cepat mengunci pintu kamar tersebut.
Pintu tertutup keras di belakang mereka. Suara denting kunci terakhir terdengar, dan setelah itu dunia terasa sepi. Areum menatap pintu itu dengan napas memburu—antara marah, takut, dan tidak siap menerima kenyataan yang dipaksakan.
“Buka.” Suara pertama keluar pelan, hampir seperti bisikan.
Tidak ada jawaban yang membuat Areum menelan ludah, lalu memukul pintu dengan sisi kepalan tangannya.
“Aku bilang buka pintunya! Aku tidak mau di sini, aku mau pulang... Buka pintu nya,” jerit nya namun masih tidak ada jawaban.
Amarah dalam dirinya meledak. Tangannya terus menghantam pintu, berulang kali, semakin keras hingga sendi jarinya memerah.
“Buka!! Aku tidak mau di sini! Aku tidak mau bersama kalian!” jeritnya, suaranya bergetar.
Namun semakin lama ia berteriak, semakin goyah nadanya bukan lagi marah, tapi lebih ke seperti ketakutan dan luka serta panik yang dibangun dari bertahun-tahun tidak punya siapa pun.
Hingga beberapa saat mencoba melawan tangan Areum melemah. Ia bersandar pada pintu, bahunya naik turun cepat karena tangisan tertahan. Dan ketika akhirnya ia menyerah, suaranya berubah menjadi bisikan lirih… rapuh… menyayat.
“Tolong… buka pintunya… aku tidak mau disini… Aku mau pulang kerumah orang tuaku, aku mohon... Aku tidak mau di sini,” ujar nya di iringi tangisnya yang pecah—bukan yang keras—melainkan jenis tangis yang terdengar seperti seseorang yang baru saja kehilangan fondasi terakhir yang ia miliki.
Di luar pintu, Yoonjae berdiri membungkuk sedikit, satu tangannya menutupi mulutnya, seolah itu satu-satunya cara agar ia tidak jatuh berlutut dia pikir ia siap untuk penolakan. Dia pikir ia kuat menghadapi kebencian Areum.
Tapi tidak ada yang pernah mempersiapkannya untuk mendengar adiknya menangis meminta kebebasan darinya—seolah ia monster. Air matanya jatuh, membasahi ujung dagunya.
“Ara… Aku tidak melakukan ini untuk menyakitimu, aku menyayangimu sungguh.” suaranya keluar pelan, nyaris tak terdengar.
Namun ia tahu—untuk Areum sekarang, kata-kata itu hanya terdengar seperti alasan palsu. Di dalam kamar, Areum masih menangis, memukul pintu dengan tenaga yang hampir habis.