Aqilla Pramesti begitu putus asa dan merasa hidupnya sudah benar-benar hancur. Dikhianati dan diceraikan oleh suami yang ia temani dari nol, saat sang suami baru saja diangkat menjadi pegawai tetap di sebuah perusahaan besar. Ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Namun, takdir berkehendak lain, siapa sangka nyawanya diselamatkan oleh seorang pria yang sedang berjuang melawan penyakitnya dan ingin hidup lebih lama.
"Apa kamu tau seberapa besar perjuangan saya untuk tetap hidup, hah? Kalau kamu mau mati, nanti setelah kamu membalas dendam kepada mereka yang telah membuat hidup kamu menderita. Saya akan membantu kamu balas dendam. Saya punya harta yang melimpah, kamu bisa menggunakan harta saya untuk menghancurkan mereka, tapi sebagai imbalannya, berikan hidup kamu buat saya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reni t, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
"Dona keguguran? Bukannya tadi pagi dia baik-baik saja? Kasian sekali dia, rahimnya juga harus diangkat segala? Ya Tuhan, karma dibayar kontan," batin Aqilla, seraya menggerakkannya matanya ke kiri dan ke kanan.
Ilham mengalihkan pandangan mata kepada Aqilla, memandang wajahnya dengan mata berkaca-kaca. "Saya juga minta maaf sama kamu, Aqilla. Saya salah karena telah menyakiti kamu dan anak-anak. Saya mohon maaf, saya sudah mendapatkan karma dari Tuhan. Dona keguguran dan rahimnya harus diangkat. Dia gak akan pernah bisa punya anak selamanya, Aqilla."
Aqilla terdiam seraya memalingkan wajah ke arah lain. Entah apa dirinya harus turut prihatin atau malah sebaliknya atas apa yang menimpa Dona mengingat apa yang ia alami selama ini, bagaimana Ilham menyakitinya, menginjak-injak harga dirinya tanpa ampun. Apakah ini adalah karma yang setimpal dengan apa yang telah dilakukan oleh kedua orang itu? Batin Aqilla dilema. Dirinya masih memiliki hati nurani, tapi luka yang ditorehkan oleh kedua orang itu terlalu dalam dan masih belum mengering sampai sekarang.
"Kenapa kamu diem aja, Aqilla? Kamu mau 'kan maafin saya dan Dona? Dia udah dapet karma yang setimpal," ucap Ilham, memandang wajah Aqilla penuh harap. "Saya mohon, tolong bujuk calon suami kamu buat menarik tuntutannya, Qilla. Saya janji akan mengembalikan uang itu secepatnya. Dona sedang membutuhkan saya, kalau saya ditahan, dia sama siapa? Dona yatim piatu, dia gak punya siapa-siapa lagi selain saya."
Aqilla menarik napas dalam-dalam, kembali memandang wajah Ilham dengan dingin. "Oke, aku maafin kamu, Mas Ilham. Iya, kamu benar, kalian sudah dapat karma yang setimpal, tapi kalau urusan perusahaan, aku nggak mau ikut campur dan aku nggak punya hak untuk melarang Mas Radit melakukan apa yang seharusnya dia lakukan."
"Tapi, Aqilla. Kamu calon istrinya, Pak Radit pasti akan mendengarkan kamu. Walau bagaimanapun, saya Ayahnya anak-anak. Bagaimana perasaan mereka kalau tahu Ayahnya masuk penjara?"
Radit tersenyum menyeringai seraya memalingkan wajahnya ke arah samping. "Baru sekarang kamu peduli sama anak-anak? Kemana saja kamu saat mereka hilang? Bukannya cari mereka sampe dapet, malah ngebobol uang perusahaan."
"Saya mohon maaf, Pak Radit. Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya, saya terpaksa melakukan itu karena--"
"Oke, saya maafin kamu, tapi proses hukum akan terus berjalan," jawab Radit dengan dingin, kembali menatap wajah Ilham. "Apa kamu tau berapa uang yang kamu gelapkan? Hampir 500 juta. Itu sama saja dengan perampokan, Ilham. Lagian, meskipun kamu kerja sampai berkeringat darah sekalipun, kamu nggak akan sanggup mengganti kerugian perusahaan. Jadi, lebih baik kamu menjalani prosedur hukum dan bayar perbuatan kamu dengan mendekap dipenjara. Paham?"
Ilham tertunduk lesu, matanya terpejam seiringan dengan buliran bening yang mengalir membasahi kedua sisi wajahnya. Hidupnya benar-benar hancur tidak bersisa, doa istri yang terzalimi benar-benar nyata dan ia merasakan sendiri akibatnya. Pria itu terduduk dengan wajah pucat. Tidak ada kata yang terucap, menyesal pun tidak ada gunanya. Ibarat kata pepatah, apa yang kamu tuai sekarang adalah apa yang kamu tanam di masa lalu, dan Ilham sedang menuai hasil dari perbuatannya sendiri.
Radit menoleh dan menatap wajah petugas polisi seraya berujar. "Tunggu apa lagi, Pak. Cepat tangkap dia sekarang juga."
Petugas polisi mengangguk patuh. "Baik, Pak Radit."
Ilham berdiri tegak dengan wajah datar. Hanya bergeming saat petugas polisi melingkarkan borgol di kedua tangannya agar pria itu tidak bisa kabur. Tanpa perlawanan apapun pria itu digelandang menuju kantor polisi guna mempertanggung jawabkan perbuatannya. Namun, langkah seorang Ilham seketika terhenti, kembali memutar badan, memandang wajah Aqilla dengan tatapan penuh kesedihan.
"Boleh saya minta satu hal sama kamu, Aqilla?" tanyanya dengan suara lemah.
Aqilla hanya terdiam seraya membuang muka ke arah samping.
"Tolong jaga Dona sampai dia siuman, setidaknya dia tidak merasa sendirian. Sampaikan maaf saya kepada anak-anak, katakan kepada mereka kalau saya menyayangi mereka lebih dari apapun," ucapnya lagi masih dengan tatapan yang sama.
"Atas dasar apa aku harus menjaga istri kamu? Kamu lupa siapa yang udah merusak kebahagiaan rumah tangga kita? Aku adalah orang pertama yang menginginkan kehancuran Dona," jawab Aqilla dengan sinis.
Ilham memejamkan mata sejenak, lalu kembali memandang wajah Aqilla, mantan istri yang ia sakiti. Ya, tidak mungkin Aqilla mengabulkan keinginannya mengingat Dona adalah wanita ketiga yang telah memporak-porandakan rumah tangga mereka. Mungkin saja, Aqilla adalah orang pertama yang mensyukuri keadaan Dona saat ini karena sumpah serapah yang terucap dari bibir wanita itu benar-benar terjadi.
Tanpa sepatah katapun lagi, ia pun berbalik lalu melangkah meninggalkan tempat itu. Karir yang ia perjuangkan dari nol benar-benar hancur dalam sekejap mata. Rumah tangganya hancur lebur untuk yang kedua kalinya dan Dona harus turut menanggung karma karena keserakahannya.
"Maafin Mas, Dona. Mas gak bisa berada di sisi kamu saat kamu sedang membutuhkan Mas. Jangan pernah maafin Mas karena Mas tak pantas dimaafkan," batinnya, buliran bening kembali memenuhi kedua mata.
Sementara Aqilla, menatap punggung Ilham seraya menyeka kedua matanya yang tiba-tiba berair. Akhirnya, dendamnya terbalaskan bahkan dibayar kontan. Ilham benar-benar hancur, bukan hanya karirnya saja, tapi harus menghabiskan sisa hidupnya dibalik jeruji besi.
"Akhirnya ... akhirnya aku bisa melihat kamu hancur, Mas Ilham. Aku harap kamu menebus semua kesalahan kamu di penjara," batin Aqilla, seraya menyeka kedua matanya yang berair.
Radit meraih lalu menggenggam telapak tangan Aqilla seketika membuyarkan lamunan panjangnya. "Kamu baik-baik saja?"
Aqilla menoleh dan memandang wajah Radit dengan senyum kecil. "Aku baik-baik aja, Mas," jawabnya.
Suara dering ponsel seketika terdengar nyaring, Radit merogoh saku jas hitam yang ia kenakan, meraih ponsel canggihnya dari dalam sana. Menatap layarnya sejenak lalu mengangkat sambungan telepon.
"Ya, halo," sapanya, meletakan ponsel di telinga.
"Selamat sore, Pak Radit. Kami dari kepolisian," ucap seorang laki-laki dari dalam sambungan telepon.
"Kepolisian? Eu ... ada apa ya, Pak? Apa laporan saya sudah bisa diproses?"
"Silahkan datang ke kantor polisi, ada dua anak kecil dengan ciri-ciri yang sama seperti yang Anda ceritakan, Pak Radit. Untuk lebih jelasnya, kami tunggu Anda di kantor sekarang juga."
Bersambung ....