“Sekarang, angkat kakimu dari rumah ini! Bawa juga bayi perempuanmu yang tidak berguna itu!”
Diusir dari rumah suaminya, terlunta-lunta di tengah malam yang dingin, membuat Sulastri berakhir di rumah Petter Van Beek, Tuan Londo yang terkenal kejam.
Namun, keberadaanya di rumah Petter menimbulkan fitnah di kalangan penduduk desa. Ia di cap sebagai gundik.
Mampukah Sulastri menepis segala tuduhan penduduk desa, dan mengungkap siapa gundik sebenarnya? Berhasilkah dia menjadi tengkulak dan membalas dendam pada mantan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sulastri 32
BRAK!
“Dasar tidak tau diuntung! Aku bawa kamu ke pengadilan untuk membelaku, Goblok! Bukan malah mempermalukanku!”
Kartijo dengan tatapan nyalang menendang tubuh Amina hingga terhempas ke sudut lemari. Laki-laki itu kemudian menarik sanggul gundik yang sudah setahun dipeliharanya, rambut hitam semburat wanita itu seketika terurai berantakan, wajahnya ketakutan.
Seumur mereka tinggal bersama, baru kali ini juragannya itu ngamuk bak orang kesetanan.
“Apa maksudmu bicara seperti itu?! Hah!” berang Kartijo, tangan kasarnya masih mencengkram kuat kepala Amina, membuat beberapa helai rambutnya rontok kelantai.
“Kangmas … sakit,” lirih wanita semok itu, tangannya menahan hingga gemetaran.
“Wedok jan_cx, koe mau bikin Lastri berhasil menceraikan aku?! Sampai-sampai koe ngomong aku tergila-gila? Cuih! Kalau tidak karena hamil, aku ndak sudi bawa koe ke rumah ini!”
Amina masih meringis, menahan kulit kepalanya yang terasa terkelupas, tengkuknya mendongak tajam, lehernya menegang hingga nyaris patah.
“Aku sudah bilang, meneng! Malah u,a,u,a … koyo munyuk! Kalau sampai gara-gara itu permohonan Lastri di kabulkan, tak pateni koe!” Ancam Kartijo, dengan raut murka.
“Kangmas, lepas dulu … kepalaku sakit,” mohon Amina, sambil terisak.
Kartijo melepaskan cengkramannya dengan kasar, hingga tubuh Amina kembali tersungkur ke lantai.
Wanita itu beranjak dari lantai sambil meringis, menahan punggung dan kulit kepalanya yang nyeri.
Kartijo kembali mendekat, sorot matanya murka. “Gara-gara koe Lastri minggat dari rumah ini, sekarang, koe juga yang harus bawa dia kembali kesini. Apapun caranya!”
Amina menarik napas pelan, seringai licik melengkung tipis dari wajahnya yang awut-awutan. Ia kemudian terisak pelan. “Kangmas, mentolo sama aku, padahal sudah bisa aku pastikan, Mbak Lastri secepatnya akan kembali ke dekapanmu.”
“Opo maksudmu?!”
Amina merapikan gelungannya, melepas kebayanya yang koyak akibat tersangkut kayu lemari yang rapuh. Wanita itu mengaduh kecil, lalu menunduk lemas.
“Duh gusti, boyokku … haduhhhh,” erangnya. “Aku sudah bekti sama, Kangmas, aku manut, aku patuh, aku diam-diam cari cara untuk membuat Mbak Lastri kembali, tapi opo balasannya, hiks … hanya karena aku salah bicara, Kangmas tego nyiksa aku!” Tangis kecil berubah menjadi raungan keras nan memilukan.
“Ndak usah banyak omong! Opo maksudmu bilang Lastri pasti kembali ke dekapanku?!” sungut Kartijo, tak terpengaruh air mata buaya milik Amina.
‘Sial bangkotan ini, biasanya kalo aku sudah meraung begini dia nyembah-nyembah, sekarang … semua ini gara-gara wedok sialan itu, awas koe Lastri,’ murka Amina dalam hati.
“Hiks … tadi waktu aku ke kamar mandi, Londo itu mendatangiku, bahkan menungguku di depan pintu, dia bilang ….”
“Dia bilang opo?!”
“Dia bilang ingin mengenalku lebih dalam, dia membantu Mbak Lastri hanya karena kasian. Sebenarnya, sedari awal Londo itu sudah mau mengantar Mbak Lastri pulang. Tapi, Mbak Lastri nolak dan mengancam akan menyakiti anaknya, makanya Londo itu terpaksa menolongnya.”
Kartijo mengerutkan alisnya dalam, tatapannya penuh kecurigaan. “Kau tidak sedang berdusta ‘kan? Aku sudah hafal dengan tabiatmu yang pintar bersilat lidah.”
Amina kembali menuduk, isaknya semakin kencang. “Untuk apa aku berbohong Kangmas? Aku pun tak tahan berada di sini, Kangmas selalu membandingkan aku dengan Mbak Lastri. Padahal, Kangmas tahu sendiri, di luaran sana banyak yang menginginkanku. Apa Kangmas lupa saat memperebutkanku dengan juragan beras?”
Kartijo mengusap peluh tipis di pelipisnya, matanya yang nyalang sedikit meredup kasian. “Terus opo rencanamu?”
“Aku akan pura-pura mendekati Londo itu, dengan begitu Mbak Lastri akan pergi dan Kangmas bisa memilikinya kembali.”
Amina melirik Kartijo yang mulai termakan oleh ucapannya, perhatian Petter siang tadi melambungkan angannya untuk meninggalkan laki-laki bangkotan itu.
“Yowes, cepet lakukan! Aku sudah ndak sabar ingin memeluk Lastri kembali.”
Amina tersenyum licik. “Aku butuh modal.”
Kartijo terbelalak, rahangnya kembali mengeras. “Bukankah belum lama aku memberimu dua kedok sawah?
Amina berdecih sembari menanggalkan pakaiannya, membiarkan tubuh semoknya terbias temaram dimar yang baru saja dia nyalakan. “Cih, untuk masuk ke lingkungan mereka, aku harus jadi tengkulak. Kalau tidak … bagaimana bisa? Kangmas kira aku jalang yang datang dengan berharap belas kasihan seperti ….”
Amina menghentikan ucapannya saat tatapan Kartijo menusuk netranya.
“Kangmas rayu Biyung untuk mempercayakan satu lapaknya aku pegang, dengan begitu aku akan lebih mudah dekat dengan Londo itu, sebenarnya … tanpa itupun aku bisa, toh, Londo itu juga sudah jelas-jelas tertarik padaku,” ucapnya penuh keyakinan.
Sejenak, Kartijo berperang dengan pikiran, bayangan Sulastri yang menuangkan air hangat untuk Petter menari-nari, Bak cemoohan yang mencabik harga diri. Ia lalu menyurai rambut tebalnya kemudian berjalan keluar.
Laki-laki itu berhenti di ambang pintu, menoleh sejenak ke arah Amina yang sudah telanjang bulat.
“Aku akan bicarakan ini dengan Romo, kau mandilah, malam ini layani aku, cuci bekakasmu itu yang bersih biar tidak bau, Lastri dulu meski habis panas-panasan di lapak, tetep bau wangi seluruh badan, sampe ke slempitan-slempitan, koe … kerjaan'e macak di kamar tapi mambu comberan.”
Amina sontak mengeraskan rahangnya, giginya bergemeretak. “Dasar bangkotan, dulu saja semua badan sampe sesi_lt-sil_ltku kamu jilati, sekarang … mending kalo bikin puas, cuma bikin keri tok!” umpatnya, pelan.
Wanita itu kemudian melihat tampilannya di cermin, wajahnya berubah sumringah, ia melenggak-lenggok bak model ternama ibu kota.
“Lihat saja kalau aku sudah jadi Nyonya Londo, aku injak lehermu! Sepertinya aku harus pergi ke pasar, membeli beberapa kain jarik dan kebaya baru, mosok calon Nyonya bajunya lusuh, ah … minyak wangi, aku harus beli minyak wangi dan beberapa peralatan bersolek yang baru, dan …,” wanita itu terkikik sendiri, lalu mendongakkan dagu, belagak seperti bangsawan Eropa.
“Nyonya Van Beek …,” khayalnya sembari terus cekikikan. “Lastri … Lastri, memang nasibmu itu harus di bawahku, sebentar lagi, kamu akan ngemis-ngemis lagi, nangis-nangis lagi, hihihiii … nasib duwe wajah ayu, semua yang melihat langsung kesengsem … jatuh cinta, belum lagi kalo sudah merasakan goyanganku, pasti ….”
BRUGHH!
Wanita itu kembali tersungkur ke lantai, tersandung kursi rias yang ada di depannya.
“Sial! Bahkan cuma nyebut namanya saja, sudah bikin aku sial!”
Bersambung.
Jangan tanya keadaan penulis.
🤮🤮🤮🤮🤮🤮🤮🤧🤧🤧🤧