Sepuluh bulan lalu, Anna dijebak suaminya sendiri demi ambisi untuk perempuan lain. Tanpa sadar, ia dilemparkan ke kamar seorang pria asing, Kapten Dirga Lakshmana, komandan muda yang terkenal dingin dan mematikan. Aroma memabukkan yang disebarkan Dimas menggiring takdir gelap, malam itu, Anna yang tak sadarkan diri digagahi oleh pria yang bahkan tak pernah mengetahui siapa dirinya.
Pagi harinya, Dirga pergi tanpa jejak.
Sepuluh bulan kemudian, Anna melahirkan dan kehilangan segalanya.
Dimas dan selingkuhannya membuang dua bayi kembar yang baru lahir itu ke sebuah panti, lalu membohongi Anna bahwa bayinya meninggal. Hancur dan sendirian, Anna berusaha bangkit tanpa tahu bahwa anak-anaknya masih hidup. Dimas menceraikan Anna, lalu menikahi selingkuhan. Anna yang merasa dikhianati pergi meninggalkan Dimas, namun takdir mempertemukannya dengan Kapten Dirga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. Setidaknya kalian berdua selamat
Lorong rumah sakit militer itu masih ramai oleh langkah cepat tim medis ketika tandu Kapten Dirga didorong masuk. Seragamnya koyak, lengannya berlumuran darah kering, dan wajahnya pucat karena kehilangan banyak darah setelah berjam-jam disekap dan disiksa di ruang bawah tanah milik Tuan Asmir.
“Cepat! Pasien kehilangan darah cukup banyak!” seru salah satu dokter jaga.
Mayor Kevin mengikuti dari belakang, napasnya masih tersengal setelah mengoordinasikan pengepungan dan penangkapan. Namun matanya fokus hanya pada satu hal keselamatan perwira terbaiknya.
Dirga membuka mata samar-samar, menahan sakit di dada.
“Mayor…” suaranya parau. “Anna … dia … lebih parah.”
Mayor Kevin menunduk, meremas bahu Dirga pelan. “Tenang, Letnan Anjas sudah membawa Anna ke UGD yang lain. Fokus untuk dirimu dulu.”
Dirga mencoba bangun, namun tubuhnya ambruk kembali ke ranjang pemeriksaan ketika rasa perih menjalar dari bekas luka cambukan di punggung dan pinggang.
“Aku harus...”
“Kapten!” dokter memotong tegas. “Diam di tempat atau Anda bisa pingsan.”
Perawat mulai membuka seragamnya yang robek. Terlihat memar kebiruan, luka robek, dan bekas pengikat di pergelangan tangannya. Dua perawat saling bertukar tatap dengan ngeri.
“Sial…” gumam salah satu perawat. “Mereka memperlakukan Kapten seperti tahanan kriminal.”
Dokter senior menatap luka-luka itu dengan serius. “Siapkan infus, bersihkan luka punggung, dan cek tulang rusuk. Ada kemungkinan retak.”
Mayor Kevin menghela napas panjang, lalu mendekat ke sisi ranjang.
“Kapten Dirga … kau nggak harus pura-pura kuat sekarang.”
Kapten Dirga memejamkan mata, suaranya hampir tak terdengar, lebih khawatir tentang Anna daripada dirinya sendiri.
“Tuan Asmir … dia mungkin akan kejar Anna lagi … jangan biarkan dia...”
“Kami sudah menahannya. Mansion itu penuh bukti. Kau aman dan Bu Anna aman.”
Mayor Kevin menegaskan, walau di dalam hatinya ia belum sepenuhnya yakin. Ketika dokter mulai membersihkan luka di punggungnya, Dirga meringis keras. Perawat menahan bahunya.
“Kapten, tarik napas. Ini akan perih.”
Dirga menggertakkan gigi. “Anna … dia … tidak boleh disentuh lagi … apa pun yang terjadi.”
Mayor Kevin berdiri tegak, kedua tangannya mengepal.
“Aku berjanji. Dia di bawah perlindungan kita.”
Lampu UGD memantul di wajah Dirga yang kini semakin pucat. Infus dipasang, anestesi disuntikkan, dan rasa sakit perlahan mengendur. Tepat sebelum matanya tertutup, ia sempat bertanya lirih,
“Dia … sadar?”
Mayor Kevin menggeleng kecil. “Belum, tapi dia bernafas. Itu yang terpenting.”
Dirga akhirnya terlelap, tubuhnya menyerah pada kelelahan dan rasa sakit. Mayor Kevin menatapnya lama, lalu keluar ruangan dengan wajah tegang.
Di luar, beberapa prajurit bawahan Kapten Dirga berdiri berbaris, wajah mereka penuh amarah dan kecemasan. Mereka segera berdiri tegap ketika melihat mayor keluar.
“Bagaimana keadaan Kapten, Sir?” tanya salah satu Serka.
Mayor Kevin mengembuskan napas berat.
“Kapten Dirga selamat. Tapi sepanjang dia belum bangun, misi kalian satu, jaga rumah sakit ini seperti medan perang. Tidak ada satu pun yang boleh mendekati Anna ataupun Kapten tanpa izin saya.”
Prajurit menjawab tegas, “Siap, Sir!”
Di dalam ruangan, Kapten Dirga tidur dengan wajah tenang namun penuh luka. Dan di ruangan UGD lainnya, Anna sedang berjuang antara hidup dan mati.
Suara monitor detak jantung berdenting teratur, namun lemah. Tubuh Anna terbaring di ranjang UGD, wajahnya pucat seperti tak ada darah yang mengalir. Rambutnya berantakan, beberapa bagian menempel oleh darah kering. Tangan kanannya diinfus, sementara lengan kirinya penuh memar ungu kebiruan.
Dokter jaga mengerutkan dahi.
“Tekanan darahnya masih turun. Siapkan oksigen, pertahankan infus … Luka di bahu harus dijahit setelah dia stabil.”
Perawat mengangguk cepat, menatap layar monitor yang terus menurun.
“Dok … dia kehilangan darah banyak sekali.”
Di lorong luar UGD, Mayor Kevin berdiri sambil mengatur pasukan. Namun tiba-tiba terdengar suara gaduh dari ruang perawatan Kapten Dirga. Kapten Dirga Memaksa Bangun
“Kapten! Anda tidak boleh bangun!” Suara dokter penuh peringatan.
Namun Kapten Dirga tetap menyingkap selimutnya, tubuhnya masih lemah, tulang rusuknya diperban, langkahnya terseret. Matanya menatap tajam meski pandangannya sedikit berkunang.
“Aku harus melihat Anna,” katanya lirih tapi tegas.
“Kapten, Anda baru saja menerima empat jahitan dan infus! Anda bisa pingsan lagi!” Dokter mencoba menahan bahunya.
Dirga melepaskan tangan dokter itu perlahan namun tegas.
“Dia sendirian sejak pagi. Dan dia disekap karena saya.” Nadanya melemah, namun tekadnya tidak. Mayor Kevin yang mendengar keributan segera masuk.
“Kapten Dirga! Kau mau mati, hah?!”
Dirga berhenti sesaat, menahan nyeri di sisi perutnya, namun tetap melangkah ke luar.
“Aku lebih tenang mati … daripada diam dan tidak tahu keadaannya.”
Mayor Kevin ingin marah, ingin mengomel, tapi ia tahu betapa keras kepala pria itu. Akhirnya ia mendecak kesal dan meraih lengan Dirga untuk menopangnya.
“Aku antar, tapi kalau kau jatuh, aku seret balik ke ranjang, jelas?”
Dirga mengangguk samar.
Di Depan Ruang UGD. Mereka berhenti tepat di depan pintu kaca UGD. Dari balik kaca, Dirga melihat tubuh Anna yang lemah, oksigen terpasang, tangan gemetar setiap kali mesin memompa cairan infus. Perawat mondar-mandir menekan perutnya perlahan untuk memastikan tak ada pendarahan internal.
Wajah Dirga berubah tegang.
“Ya Tuhan…” Napasnya tercekat.
Mayor Kevin menatap rekannya itu dengan mata redup. “Dia wanita kuat. Dia bertahan karena ingin keluar.”
Dirga mendekatkan telapak tangannya ke kaca, seakan ingin menyentuh Anna dari kejauhan.
“Aku yang menyebabkan semua ini … Aku yang menyeretnya ke neraka itu.”
Keduanya terdiam ketika dokter keluar dari ruangan UGD.
“Kapten Dirga? Kenapa Anda tidak di ruang perawatan?!”
Dirga mengabaikan teguran itu.
“Dok … bagaimana dia?”
Dokter menghela napas panjang, melihat kondisi dua prajurit yang sama kerasnya ini.
“Tekanan darahnya menurun drastis. Kami sudah stabilkan, tapi tubuhnya sangat lemah, dan...”
Ia melihat wajah Dirga yang tampak frustasi dan bersalah.
“Dia butuh ketenangan. Jika dia sadar, hanya satu suara yang bisa memulihkannya.”
“Suara siapa?” tanya Dirga.
Dokter menatap langsung ke matanya.
“Suara Anda, Kapten.”
Dirga terpaku, lalu mendorong pintu UGD perlahan meski dokter hendak menahan.
“Kapten, tidak boleh masuk dulu...”
“Tolong izinkan,” potong Dirga, nadanya pelan namun kuat. “Dia mungkin butuh aku.”
Dokter akhirnya mengangguk, memberi waktu beberapa menit.
Ruangan terasa tenang namun penuh ketegangan. Dirga berjalan pelan mendekati ranjang Anna. Setiap langkah membuat rasa sakit di tulang rusuknya semakin menyiksa, tapi ia tidak peduli. Ia berdiri di sisi Anna, menatap wajah pucat itu.
Tangan Anna dingin saat ia genggam perlahan.
“Anna…” suara Dirga pecah. “Aku di sini.”
Kelopak mata Anna tidak bergerak. Nafasnya teratur tapi lemah. Dirga mencondongkan tubuhnya sedikit, mengusap rambut kusut Anna dengan lembut.
“Kamu sudah aman … Aku janji tidak akan biarkan siapapun menyakitimu lagi." Nada suaranya bergetar.
Mayor Kevin melihat dari pintu. Ia jarang melihat Kapten Dirga selemah ini. Dirga menunduk, keningnya hampir menyentuh tangan Anna.
“Bangunlah … setidaknya buka mata sedikit … biar aku tahu kamu masih berjuang.”
Tiba-tiba, monitor detak jantung Anna berdetak sedikit lebih kuat.
Dirga tersentak, menatap layar.
“Anna?” bisiknya. Jari Anna bergerak lemah hanya satu sentakan kecil. Tapi Dirga melihatnya.
“Ya Tuhan … dia dengar kau,” ujar perawat pelan, ikut terkejut.
Dirga menggenggam tangan Anna lebih erat, senyumnya tipis namun penuh lega.
“Aku di sini. Jangan pergi.”
Monitor stabil kembali, sedikit demi sedikit. Dirga memejamkan mata, air mata tipis jatuh tanpa ia sadari. Dan di luar ruangan, Mayor Kevin berdiri tegap, membisik lirih,
“Akhirnya kalian berdua selamat … setidaknya untuk hari ini.”
anak" memang matahari, bulan ,sekaligus bintang bagi seorang ibu. Mereka adalah kehidupannya, penerang dalam gelap sekaligus keindahan bagi ibu.
sdh saatnya km bahagia anna sm kapten Dirga .
ayo semangaaatt 💪