Rendra Adyatama hanya memiliki dua hal: rumah tua yang hampir roboh peninggalan orang tuanya, dan status murid beasiswa di SMA Bhakti Kencana—sekolah elite yang dipenuhi anak pejabat dan konglomerat yang selalu merendahkannya. Dikelilingi kemewahan yang bukan miliknya, Rendra hanya mengandalkan kecerdasan, ketegasan, dan fisik atletisnya untuk bertahan, sambil bekerja sambilan menjaga warnet.
Hingga suatu malam, takdir—atau lebih tepatnya, sebuah Sistem—memberikan kunci untuk mendobrak dinding kemiskinannya. Mata Rendra kini mampu melihat masa depan 24 jam ke depan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susilo Ginting, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30. Kuburan Racun di Sektor 9 dan Kata Dewa
Hujan gerimis kembali turun di Pelabuhan Tanjung Priok, menyamarkan suara mesin SUV hitam Rendra yang berhenti di balik tumpukan kontainer kosong, sekitar 400 meter dari Gudang Sektor 9.
"Matikan mesin. Matikan lampu," perintah Rendra.
Bagas mematikan segalanya. Kegelapan menyelimuti mereka. Hanya lampu sorot jauh dari gudang sasaran yang membelah malam.
Rendra mengeluarkan teropong night-vision (penglihatan malam) militer yang baru dibelinya. Ia mengarahkan lensa ke arah gudang.
Sesuai laporan Street Eyes, ada dua truk boks besar tanpa logo perusahaan yang sedang parkir mundur ke pintu gudang yang terbuka setengah. Sebuah sedan hitam mobil operasional Wirawan yang Rendra kenal terparkir di dekatnya.
Di sekitar truk, berdiri enam orang pria bersenjata laras panjang. Bukan pistol rakitan preman, melainkan senapan serbu taktis. Mereka mengenakan seragam hitam tanpa atribut.
"Itu Black Guard," bisik Bagas, suaranya tegang. "Unit paramiliter elit Wirawan. Mereka biasanya hanya turun untuk mengawal Tuan Besar atau 'barang' yang nilainya di atas sepuluh miliar. Kalau kita ketahuan di sini, Bos, kita tidak akan dibawa ke kantor polisi. Kita akan jadi umpan hiu."
"Tenang, Bagas. Kita tidak perlu mendekat secara fisik," jawab Rendra.
Rendra menurunkan teropongnya. Ia memejamkan mata, memicu Visi .
Kali ini, ia tidak melihat masa depan dirinya. Ia memproyeksikan visinya ke arah aktivitas bongkar muat itu. Ia ingin melihat apa yang akan terjadi pada barang-barang itu dalam 24 jam ke depan.
Deg.
Dunia dalam pikiran Rendra bergeser.
Ia melihat masa depan besok siang. Truk-truk itu sudah pergi. Gudang itu kosong. Namun, Rendra melihat lokasi tujuan truk-truk itu.
Truk-truk itu akan bergerak menuju lokasi proyek Batavia Megacity di pesisir. Di sana, di area reklamasi yang masih berupa tanah berlumpur, truk-truk itu akan menumpahkan muatannya ke dalam lubang fondasi raksasa sebelum ditimbun beton.
Muatannya bukan material bangunan.
Itu adalah drum-drum besi berkarat dengan simbol tengkorak pudar. Dalam Visi itu, Rendra melihat salah satu drum pecah saat digulingkan ekskavator. Cairan hijau pekat dan berasap tumpah keluar, mengenai kaki seorang buruh proyek ilegal. Buruh itu menjerit, kulit kakinya melepuh dan meleleh dalam hitungan detik. Mandor proyek (anak buah Rudi) segera menembak buruh itu dan menguburnya bersama drum-drum itu.
Rendra membuka mata dengan napas tersentak. Keringat dingin mengucur di pelipisnya.
"Apa yang Bos lihat?" tanya Bagas cemas.
"Limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun)," desis Rendra, rasa jijik memenuhi kerongkongannya. "Limbah kimia tingkat tinggi. Mungkin sisa dari pabrik petrokimia ilegal milik Wirawan di Jawa Barat yang selama ini tidak terdeteksi."
Rendra mengerti sekarang. Wirawan menggunakan proyek Batavia Megacity proyek kebanggaan Elena sebagai tempat pembuangan akhir (TPA) raksasa untuk limbah beracunnya. Dengan mengubur limbah itu di fondasi reklamasi, Wirawan menghemat biaya pengolahan limbah miliaran rupiah, sekaligus menghilangkan barang bukti.
"Dia gila," gumam Rendra. "Jika limbah itu bocor sepuluh tahun lagi, seluruh air tanah di kawasan elit itu akan tercemar. Ribuan orang akan kena kanker. Dan Elena... Elena yang menandatangani perizinannya akan disalahkan."
Wirawan tidak hanya jahat. Dia monster yang siap mengorbankan masa depan kota demi margin keuntungan.
"Kita butuh bukti visual, Bos?" tanya Bagas, siap mengambil kamera lensa panjang.
"Jangan. Kamera optik tidak bisa menembus dinding truk. Foto truk saja tidak membuktikan isinya limbah," Rendra berpikir cepat.
Ia teringat sesuatu. Drone.
Di bagasi mobil, ada satu unit drone pengintai kecil yang dibeli Rendra untuk pemetaan area. Tapi menerbangkan drone di dekat Black Guard adalah bunuh diri. Suara baling-balingnya akan terdengar.
"Bagas, kau punya senapan angin gas (PCP) di bagasi, kan?" tanya Rendra.
"Ada. Untuk berburu tikus gudang," jawab Bagas bingung.
"Siapkan. Pasang peredam."
Rendra mengambil drone itu. Ia tidak menyalakan baling-balingnya. Ia menempelkan kamera kecil drone itu (yang memiliki fitur thermal imaging/pencitraan panas) ke sebuah anak panah modifikasi.
"Tembakkan kamera ini ke atap gudang, tepat di atas posisi truk. Sudut 45 derajat. Biarkan kamera itu menempel di sana dan merekam panas drum-drum itu. Limbah kimia panas biasanya memiliki heat signature yang berbeda dari barang biasa," instruksi Rendra.
Bagas, mantan penembak jitu, mengangguk mengerti. "Jarak 350 meter. Angin dari barat laut. Bisa."
Bagas keluar dari mobil, tiarap di atas rumput basah. Ia membidik dalam kegelapan.
Pfft.
Suara letusan gas yang sangat pelan terdengar. Di layar tablet Rendra yang terhubung ke kamera itu, gambar berguncang sesaat, lalu stabil. Sudut pandang dari atas rangka baja gudang. Gambar termal muncul.
Di dalam truk yang terbuka, terlihat barisan objek berbentuk silinder. Warnanya merah menyala di layar termal, kontras dengan suhu dingin sekitarnya.
"Panas," gumam Rendra. "Drum-drum itu masih bereaksi. Itu bukti termal bahwa isinya bahan kimia aktif, bukan semen atau besi."
Rendra merekam semuanya. Wajah para penjaga, plat nomor truk, dan citra termal drum limbah.
"Tarik mundur, Bagas. Kita sudah dapat yang kita butuhkan."
Saat Bagas kembali masuk ke mobil, tiba-tiba lampu sorot gudang berputar ke arah mereka.
"Sial! Mereka punya sensor gerak di perimeter luar!" seru Bagas. Suara sirine meraung dari arah gudang. Dua jip Black Guard meraung keluar, menuju posisi mereka.
"Mundur! Jalur Bravo!" teriak Rendra.
Bagas membanting setir, ban mobil memekik di aspal basah. SUV hitam itu melaju kencang, menjauhi gudang, masuk ke labirin tumpukan kontainer. Di belakang mereka, lampu sorot jip pengejar semakin dekat. Suara tembakan terdengar.
DOR! DOR!
Kaca belakang SUV retak, tapi tidak pecah berkat lapisan film anti-pecah.
"Mereka menembak untuk membunuh!" teriak Bagas, memacu mobil hingga 120 km/jam di jalan sempit pelabuhan.
"Jangan panik. Aku matamu," Rendra memejamkan mata, memicu Visi nya dalam mode tempur taktis (melihat 10 detik ke depan).
"Kiri! Kontainer biru!" teriak Rendra.
Bagas membanting setir ke kiri tanpa ragu.
"Lurus! Jangan ngerem! Ada celah sempit di antara dua truk parkir!".
Bagas menginjak gas. Mobil melesat melewati celah yang sangat sempit, spion samping bergesekan dengan badan truk hingga patah. Jip pengejar di belakang tidak seberuntung itu. Mereka mencoba mengikuti, tapi pengemudinya ragu. Jip pertama mengerem mendadak, jip kedua menabraknya dari belakang. Tabrakan beruntun terjadi.
Rendra membuka mata. "Mereka berhenti, Kita lolos."
Bagas menghembuskan napas panjang, tangannya gemetar di setir. "Itu gila, Bos. Benar-benar gila. Kau seperti punya satelit di kepalamu."
"Hanya intuisi," jawab Rendra lemah. Penggunaan Visi intensif dalam situasi adrenalin tinggi membuatnya sakit kepala hebat. Hidungnya mimisan.
Rendra menyeka darah di hidungnya dengan tisu.
Satu jam kemudian, mereka aman di dalam bunker. Rendra menatap rekaman termal itu. Ini adalah bukti kejahatan lingkungan kelas berat. Jika ini dirilis, proyek Batavia Megacity akan dibatalkan, saham Wirawan akan jadi nol, dan Wirawan akan masuk penjara (atau kabur ke luar negeri).
Masalahnya: Elena.
Tanda tangan Elena ada di semua dokumen perizinan proyek ini. Jika skandal ini meledak, Elena akan ikut terseret sebagai kambing hitam. Wirawan pasti sudah merancang skemanya agar Elena yang menanggung kesalahan legal jika limbah ini ketahuan.
Rendra menghadapi dilema moral terberatnya.
Menghancurkan Wirawan berarti menghancurkan Elena kakak dari gadis yang ia cintai. Menyelamatkan Elena berarti membiarkan ribuan ton racun dikubur di pantai Jakarta.
Rendra duduk dalam kegelapan, menatap layar.
"Aku tidak bisa merilis ini ke publik. Belum," gumam Rendra.
Ia butuh jalan ketiga. Jalan di mana ia bisa membersihkan limbah itu tanpa Wirawan tahu, atau memaksa Wirawan membatalkan pembuangan itu tanpa menyeret Elena.
Rendra mengambil ponsel khususnya. Ia mengirim pesan terenkripsi ke Nomor Pribadi Elena.
Pesan: "Periksa truk logistik Sektor 9 yang menuju lokasi proyek besok pagi. Wirawan mencoba mengubur 'bom waktu' di fondasi proyekmu. Jika kau tidak menghentikannya, kau yang akan masuk penjara, bukan dia. Hantu."
Rendra memilih untuk memberi Elena senjata. Biarkan Elena yang melawan Wirawan dari dalam. Ini adalah ujian bagi Elena: apakah dia boneka yang patuh, atau wanita berprinsip yang berani melawan bosnya demi integritas?.
Rendra bersandar, memejamkan matanya yang lelah.
"Ayo kita lihat seberapa kuat nyalimu, Kak Elena," bisik Rendra.
Besok pagi akan menjadi perang saudara di dalam korporasi Wirawan. Dan Rendra akan menontonnya dari barisan depan, siap memungut kepingan kekuasaan yang jatuh.
Semangat Thor