Semua orang melihat Kenji Kazuma sebagai anak lemah dan penakut, tapi apa jadinya jika anak yang selalu dibully itu ternyata pewaris keluarga mafia paling berbahaya di Jepang.
Ketika masa lalu ayahnya muncul kembali lewat seorang siswa bernama Ren Hirano, Kenji terjebak di antara rahasia berdarah, dendam lama, dan perasaan yang tak seharusnya tumbuh.
Bisakah seseorang yang hidup dalam bayangan, benar-benar memilih menjadi manusia biasa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hime_Hikari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 32 — Dua Saudara di Ambang Perang
Hujan turun deras membasahi kota, langit malam dipenuhi kilatan petir yang menyambar seperti tanda buruk dari sesuatu yang terus bergerak di balik kegelapan. Ren berlari sekuat tenaga, napasnya tak beraturan, setengah terseret lumpur setengah terdorong rasa panik yang menyesakkan dada. Ia mengikuti koordinat terakhir yang dikirimkan Ryuga ke ponselnya—sebuah pesan kosong tanpa kata, hanya titik lokasi. Itu saja sudah cukup membuat Ren langsung keluar rumah tanpa membawa apa-apa.
Bangunan tua di pinggir kota itu berdiri miring seperti hampir tumbang. Jendela pecah, pintunya terkatup longgar. Ren menelan ludah, menahan rasa nyeri yang menjalar kulitnya. Ia membuka pintu perlahan.
“Ryuga!!” teriaknya.
Suara itu menggema, memantul di ruangan gelap yang hanya diterangi lampu neon kecil berkelip-kelip. Ren melangkah masuk, melewati kotak-kotak kayu berdebu dan selimut lusuh yang tampak seperti tempat seseorang tidur seadanya.
“Jangan berteriak,” jawab suara berat dari sudut gelap.
Ren menoleh cepat. Ryuga muncul dari balik tumpukan kotak, tubuhnya setengah dibalut perban, sebagian mantel hitamnya robek dan hangus. Luka-luka di wajahnya tampak jelas.
“Jadi ini tempatmu bersembunyi?” Ren maju dengan napas kasar.
“Tempat seperti ini? Kenapa? Karena kau terlalu sibuk memanipulasi Kenji untuk—” Ryuga langsung memotongnya, dengan suara dingin menusuk.
“Jangan mulai, Ren.” Ren mengepalkan tangan.
“Aku serius! Kau pikir aku bodoh? Kenji hancur setelah pertemuan itu, dan kau tinggalkan dia! Apa kau mau dia makin rusak?!” Ryuga tidak bergerak.
“Aku tidak meninggalkannya. Aku memberi waktu baginya memutuskan siapa dirinya. Sesuatu yang tidak pernah kau lakukan,” jelas Ryuga.
Ren mengerutkan alis. “Apa maksudmu?”
Ryuga melangkah mendekati Ren. “Kau selalu melindungi Kenji seperti anak burung rapuh, seolah-olah dia tidak mampu memilih untuk dirinya sendiri.”
“Itu karena dia—!” teriak Ren.
“Karena dia siapa?” Ryuga menatap Ren tajam.
“Karena dia bukan bagian dari Hirano? Karena dia berbahaya? Atau karena kau takut kehilangan seseorang lagi?” Ren terdiam. Hujan di luar terdengar semakin keras, seperti menekan suasana yang sudah tegang.
Ryuga menambahkan, suaranya lebih rendah. “Kau hidup nyaman dengan keluarga yang menyayangimu. Kau punya rumah. Kau punya perlindungan. Kau punya posisi.”
Ren menggigit bibir bawah. “Jangan bicara seolah kau tahu.”
“Aku tahu,” Ryuga mendekat.
“Karena segalanya yang kau punya … diambil dariku.” Ren membeku.
“Ren Hirano,” Ryuga melanjutkan.
“kau pewaris pilihan. Aku? Aku cadangan yang dibuang.” Kata-kata itu menusuk Ren lebih dalam daripada yang ia siap terima.
“Ryuga.” Ren menelan ludah.
“Apa yang sebenarnya kau—” tanya Ren yang tiba-tiba terpotong.
Tanpa memperingatkan, Ryuga melemparkan sebuah map lusuh ke arah Ren. Map itu jatuh di kaki Ren, terbuka, memperlihatkan lembaran kertas tua yang telah menguning. Ren membungkuk, mengambilnya. Jantungnya berdetak keras. Di halaman pertama tertulis
PERJANJIAN TAKATORI–HIRANO
Pisahkan dua pewaris Hirano. Buang yang tidak dibutuhkan.
Ren merasakan tubuhnya seperti membeku. Saat ia membaca lembaran awal pada kertas tua yang dilempar oleh Ryuga.
“A-apa ini?” suaranya pecah.
“Dokumen asli,” jawab Ryuga.
“Perjanjian yang dibuat sebelum kita lahir.” Ren membaca ulang kata demi kata meski matanya mulai berkaca-kaca.
“Jadi yang tidak dibutuhkan itu …” Ren berhenti, suara tercekat.
Ryuga mengangguk pelan. “Aku.”
Ren memegang pinggiran kertas itu erat-erat. “Tidak, Papa tidak akan keluarga kita tidak akan—!”
“Mereka tidak punya pilihan,” potong Ryuga.
“Takatori memaksa. Dan keluarga kita… menuruti,” jelas Ryuga.
Ren memejamkan mata, air matanya mulai jatuh tanpa bisa ia tahan. Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia menangis di depan Ryuga saudara yang selama ini ia benci dan jauhi.
“Ryuga maafkan aku.” Ren berbisik.
“Aku tidak tahu … aku tidak tahu apa pun,” kata Ren dengan nada yang cukup terpukul.
Ryuga mengalihkan pandangan. “Tentu saja kau tidak tahu. Kau hidup di atas kebohongan yang dibuat agar kau tetap bersih. Sementara aku … aku hanya dijadikan sebuah alat.”
Ren mendekat, menatap kakaknya itu dengan luka yang sama dalamnya. “Tetapi kau … kau masih sempat menolong Kenji. Kau masih peduli pada kami.”
Ryuga tertawa kecil tanpa senyum. “Peduli? Ren, kau tidak tahu tugas asliku.”
Ren terdiam, Mendengar ucapan dari Ryuga. Ia sama sekali tidak paham apa yang dimaksudkan dengan perkataan yang dilontarkan oleh Ryuga.
Ryuga menarik napas panjang. “Perintah pertama yang diberikan Takatori saat aku berumur 12 tahun adalah bunuh Kenji Kazuma.”
Ren tersentak. “Apa?!”
“Tetapi aku menolak.” Ryuga menatap Ren lurus-lurus.
“Itu sebabnya aku dibuang dari keluarga. Itu sebabnya aku menghilang. Itu sebabnya semua ini terjadi,” jelas Ryuga.
Ren menggeleng, air matanya tak berhenti jatuh. “Kenji seharusnya dia tahu tentang hal ini.”
“Tidak.” Ryuga menggeleng.
“Kenji tidak boleh tahu bahwa hidupnya ditentukan orang sebelum dia lahir. Dia cukup hancur dengan apa yang Whisperer katakan.” Ren menggigit bibir, menahan tangis.
“Ryuga.” Ia maju satu langkah penuh keraguan.
“Jika semua ini … semua perang keluarga ini, semua darah dan jika semuanya dari berawal dari keluarga Takatori.”
Ia menarik napas dalam-dalam. “Maka musuh kita bukan satu sama lain. Musuh kita Takatori.”
Ryuga tertawa kecil, tapi kali ini getir. “Akhirnya kau paham.”
Ren menatap kakaknya itu, melihat sisi Ryuga yang selama ini hanya berupa bayangan: seseorang yang terluka, terusir, namun tetap memilih melindungi. Seseorang yang seharusnya menjadi pewaris tetapi dikorbankan. Tiba-tiba terdengar suara krzzt! Suara radio pecah dari meja berdebu. Lampu merah di sudutnya berkedip cepat. Ryuga langsung meraihnya. Ren ikut mendekat, degup jantungnya memecah kesunyian. Sebuah suara muncul dari radio. Dalam dan dingin.
“Whisperer sudah bergerak.” Ren membeku.
“Tujuan utamanya mengambil Kenji.” tambah suara dari radio.
Ren terlonjak, wajahnya memucat. “T-tidak … tidak saat ini Kenji sedang sendirian!”
Ia bergegas menuju pintu, panik. “Ryuga! Kita harus cari dia! Kita harus—”
Ryuga berdiri cepat, tapi ia memegang bahu Ren. “Ren, tunggu! Jangan lari tanpa rencana—!”
Namun Ren menepis tangan Ryuga, air mata dan ketakutan bercampur di wajahnya. “Tidak ada waktu! Kalau Whisperer mendapat Kenji… aku tidak akan memaafkan diriku sendiri!”
Tanpa menunggu lama, Ren langsung menerobos pintu dan berlari ke tengah hujan, tubuhnya hampir jatuh karena jalanan licin, tapi ia terus berlari seolah hidupnya sendiri dipertaruhkan. Ryuga berdiri di ambang pintu, memandang Ren yang semakin menjauh.
Dalam hati, Ryuga bergumam pelan. “Ren … akhirnya kau bergerak untuk alasan yang benar.”
Ia menarik mantel hitamnya, memeriksa pelurunya, lalu mengikuti adiknya ke kegelapan menuju perang yang sejak lama menunggu mereka. Ren dan Ryuga dengan segera mencari Kenji. Whisperer sudah mulai berburu, dan targetnya hanya satu yaitu Kenji.