NovelToon NovelToon
Kala Rembulan Menyentuh Bhumi

Kala Rembulan Menyentuh Bhumi

Status: sedang berlangsung
Genre:Crazy Rich/Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Keluarga / CEO
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: Lacataya_

Rembulan Adreyna—seorang wanita muda yang tumbuh dari kehilangan dan kerja keras, hidupnya berputar di antara deadline, tanggung jawab,dan ambisi yang terus menekan. Hingga satu hari, langkahnya membawanya ke Surabaya—kota yang menjadi saksi awal pertemuannya dengan seorang pria bernama Bhumi Jayendra, CEO dingin pemilik jaringan hotel dan kebun teh di kaki gunung Arjuno.
Bhumi, dengan segala kesempurnaannya, terbiasa memegang kendali dalam segala hal—kecuali ketika pandangannya bertemu Rembulan untuk pertama kali. Di balik sorot matanya yang dingin, tersimpan sunyi yang sama: kehilangan, tanggung jawab, dan kelelahan yang tak pernah diucapkan.
Pertemuan mereka bukan kebetulan. Ia adalah benturan dua dunia—teknologi dan tradisi, dingin dan hangat, ambisi dan rasa takut. Namun perlahan, dalam riuh kota dan aroma teh yang lembut, mereka belajar satu hal sederhana: bahwa cinta bukan datang dari siapa yang lebih kuat, melainkan siapa yang lebih berani membuka luka lama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 32 Sat Set

Siang hari di kantor Global Teknologi terasa lebih hidup dari biasanya. Cahaya matahari jatuh masuk melalui jendela-jendela kaca besar yang berjajar di sepanjang dinding, memantulkan kilau lembut di atas lantai marmer putih yang licin seperti permukaan air tenang. Siluet para karyawan yang berlalu-lalang tersapu cahaya itu, menciptakan bayangan panjang yang bergerak pelan mengikuti langkah mereka.

Suara printer dari ruang administrasi berdetak berirama, bercampur dengan derap sepatu karyawan yang keluar-masuk ruangan meeting. Bunyi klik keyboard, getaran ringan dari ponsel yang menerima notifikasi pekerjaan, dan percakapan setengah berbisik di pojok pantry menciptakan harmonisasi yang khas— suatu jenis keramaian yang justru menenangkan.

Aroma kopi baru diseduh menyatu dengan wangi toner printer dan pendingin ruangan yang sejuk, melapisi seluruh lantai dua dengan atmosfir profesional namun hangat. Di meja-meja panjang yang tertata rapi, monitor-monitor menampilkan baris kode, desain UI, spreadsheet anggaran, dan chat internal yang ramai.

Semua berjalan stabil. Semua tampak normal dari luar. Namun seperti biasa di kantor ini— setiap rutinitas yang tampak tenang selalu menyimpan sesuatu yang bergerak di bawah permukaan.

Namun bagi Liora… siang itu sama sekali tidak tenang.

Ia menatap ponselnya dengan wajah kesal. Notifikasi muncul bertubi-tubi, layar ponselnya terus menyala, dan setiap nama yang muncul di sana membuat dadanya semakin muak.

Aldo — Calling…

Aldo — Calling…

Aldo — Message: “Liora, kita perlu bicara.”

Aldo — Message: “Tolong jawab. Ini penting.”

Aldo — Calling…

Liora mendesah panjang sambil menutup ponsel dengan keluhan frustasi yang hanya Bulan cukup bisa pahami. Ia melempar tubuhnya ke kursi dan memutar kursi itu mendekat ke meja Bulan.

“Bul… sumpah ya… kalau suara notiikasi dari Aldo muncul sekali lagi di ponsel gue, gue lempar ponsel ini ke aquarium kantor,” rengeknya.

Bulan menghentikan ketikannya dan menatap sahabatnya. “Dia masih nge-chat lo?”

“Nggak cuma chat, Bul. Dia spam call juga. Lima kali. Lima kali, Bulan!”

Liora memegang ponselnya erat-erat. “Kita itu bukan pasangan putus terus dia ngejar-ngejar. Kok malah gue kaya diteror gini, ya. Terus kenapa dia harus… nyepam begini sih?!”

Menurut Bulan, penyebab utama kekacauan mental Liora akhir-akhir ini hanya satu, chat dan telepon spam dari Aldo.

Sejak pengumuman Bulan dan Liora resign itu, Aldo seperti kehilangan kompas hidupnya. Chat-nya masuk hampir setiap jam—mulai dari yang sok romantis, sok perhatian, sampai yang tidak jelas konteksnya. Seolah-olah pria itu sedang menjalani lomba “Siapa Paling Konsisten Mengganggu Liora?”

Padahal sebelumnya, Aldo tidak pernah se-menjengkelkan ini. Iya, dia memang terkenal sering mengirim kalimat manis cringe setiap dua hari sekali— tapi kadar gangguannya masih dalam batas wajar. Dan Liora, dengan anggunnya yang bawel, selalu mengabaikan semua itu. Tidak pernah membalas. Tidak pernah mengangkat teleponnya. Bahkan tidak pernah membaca pesan sampai habis.

Tapi sekarang? Aldo berubah menjadi notifikasi berjalan.

Sampai-sampai tadi pagi saja, Liora melotot ke layar ponselnya sambil menggeram, “Sumpah ya Bul… kalau dia kirim sticker hati lagi, aku bakar kantor pusat itu.”

Bulan cuma menghela napas, menatap sahabatnya yang rambut bob-nya kini berantakan karena stres.

Menurutnya, Liora sebenarnya bukan marah… dia cuma muak. Dan spam Aldo itu berhasil membuat otaknya jadi absurd—membuat CEO satu ini sibuk mondar-mandir seperti modem panas.

Bulan menghela napas, memahami betul ketidaknyamanan itu. Ia sendiri menerima chat dari Farhan tadi pagi, dan perutnya langsung terasa mual hanya dengan membaca notifikasi namanya. Ia membuka ponselnya secara cepat, memperlihatkan daftar chat yang masih belum dibuka.

Farhan P. — “Bulan, aku cuma mau minta maaf.”

Farhan P. — “Aku ingin memperbaiki semuanya.”

Farhan P. — “Bisa kita bicara sebentar?”

Semua berstatus read, tapi tidak ada satu pun yang dibalas.

“Liora… gue juga di spam sama Farhan,” ucap Bulan pelan. “Tapi gue nggak akan balas. gue memang sudah memaafkan dia, tapi itu tidak berarti gue mau berhubungan lagi.”

Liora memelotot. “Nah itu! Gue tuh pengen kayak lo, Bul. Tapi masalahnya, orang kayak Aldo itu sok banget. Merasa gue harus mengiyakan permintaan dia. Padahal gue cuma mau hidup damai. Pede banget mikirnya gue tertarik sama dia”.

Bulan tersenyum kecil, mencoba menenangkan. “Makanya sabar dulu. Dia bakal berhenti kalau di-ghosting terus.”

“Tapi gue kesel!” Liora teriak pelan, seperti anak kecil yang kehilangan jajanan favoritnya. “Kalau lagi kesal gini… bawannya mana lapar banget, Bul. Gue jadi kepengen makan enak. Yang mahal. Yang juicy. Yang bisa bikin masalah hidup berkurang dikit.”

Bulan tertawa kecil. “Iyaa gue tahu. Lo kalau marah pasti larinya ke makanan.”

Liora memeluk mapnya sambil merenungi hidup. “Gue jadi kangen sama Pak Marvin”

Bulan mengangkat satu alis. “Siapa?”

“…Pak Marvin!.”

Bulan langsung menatap Liora lama. “Jadi… maksudnya gimana?”

Liora mengangguk dengan wajah malu-malu tapi nekat. “Gue cuma… mau nelpon dia, Bulaaan. Tapi gue maluuuu. Dia kan bijak, yahh walaupun dingin kek kulkas dua belas pintu.” Rengek Liora memecah

“Masih punya malu lo, biasanya malu maluin” ucap Bulan terkekeh melihat Liora untuk pertama kalinya galau karena seorang pria.

Bulan akhirnya hanya bisa geleng-geleng. “Ya sudah, coba aja telpon. Tapi jangan sakit hati kalau dia nggak angkat.”

“YA ITU DIA.” Liora menunjuk ponsel. “Gue takut dia nggak angkat. Tapi gue coba. Ya”

Ia menarik napas panjang, menekan ikon call, dan menutup matanya sambil berdoa dalam hati.

Dering pertama belum selesai— Marvin sudah mengangkat.

“Liora?”

Liora langsung membuka mata lebar-lebar seperti habis disiram air es. “P… Pak Marvin?”

“Iya. Ada apa?”

Nada suaranya tenang, dalam, dan jauh lebih lembut dibanding biasanya. Bulan sampai menahan senyum melihat wajah Liora yang berubah dari kesal menjadi kacau penuh bunga.

“Ehm… aku… ini agak aneh sih Pak… tapi… tiba tiba aja aku kangen sama Bapak, Bapak kangen gak sama aku?” ucap Liora polos tanpa tahu kalau diseberang sana telinga Marvin sudah memerah menahan salting.

“Liora ..” ucap Marvin berusaha menghilangkan kegugupannya.

“Hmm”

“Kamu nelpon saya cuman perkara kangen doang” tanya Marvin lagi.

Liora menghembuskan nafasnya pelan, “Enggak sih, selain kangen juga lagi kesel, Bapak mau gak dengerin cerita saya?”

Ada jeda satu detik saja sebelum Marvin menjawab dengan mantap, “Aku dengarkan.”

Kepala Liora langsung nge-hang lima detik. “jadi gini, Pak ….”

Ia akhirnya mulai bercerita. Tentu saja—tentang Aldo yang nyepam chat, nyepam telpon, nyepam perasaan yang bikin Liora amat sangat muak sama Aldo.

Marvin mendengarkan. Tidak memotong. Tidak menghakimi. Hanya mendengarkan dengan cara laki-laki dewasa dan tenang yang membuat Liora merasa… aman.

“Duh, gara gara keasikan curhat smaa Bapak, saya jadi laper,” ujarnya spontan.

Bulan langsung menutup wajah sambil tertawa pelan. Ada keheningan di ujung telepon. Keheningan yang membuat Liora menyesal sudah blak-blakan.

Lalu Marvin berkata dengan nada santai yang justru membuat jantung Liora loncat, “Sore ini aku jemput kamu.”

Liora langsung duduk tegak. “Apa?”

“Kita makan malem bareng.”

“Pak… maksudnya….? Kita makan malem berdua aja, gitu?”

Marvin menghembuskan napas pelan. “Iya.”

Liora spontan menutup mulut, pipinya merah. “Pak… serius?”

“Tentu.” Nada Marvin tetap datar tapi hangat, membuat kalimat itu terasa meyakinkan.

“Kamu bilang , kamu lapar. Jadi aku jemput jam lima.”

Liora menggenggam ponselnya erat-erat, menahan diri agar tidak menjerit. “B-baik, Pak…”

Di depannya, Bulan mengangkat dua jempol sambil menahan tawa.

Telepon berakhir. Liora langsung menunduk ke meja, memukul meja pelan dengan buku catatan.

“Bul… Bul… Bul… gue rasanya mau pingsan. Pak Marvin ngajakin gue makan malem…”

Bulan hanya memeluk pundak Liora, tersenyum. “Gue senang kalau lo senang.”

Dalam hati Bulan, ia pun merasa sedikit hangat—karena Marvin memberi ruang bagi Liora dengan cara yang ia tidak sangka.

Di sisi meja, ponsel Bulan kembali bergetar. Nama yang muncul membuat napasnya menegang.

Farhan P. — “Bulan, hanya sebentar saja. Aku ingin menjelaskan.”

Farhan P. — “Aku sudah berubah. Aku ingin memperbaiki semuanya.”

Bulan membuka pesan itu. Membacanya. Dan sekali lagi… tidak membalas.

Ia sudah memaafkan, tetapi ia tidak pernah mau membuka pintu yang sudah ditutup untuk alasan yang benar.

“Aku nggak akan berhubungan dengan dia lagi,” gumam Bulan pelan.

Dan di balik kata-kata itu, ada tekad yang tidak bisa digoyahkan siapa pun—bahkan oleh masa lalu itu sendiri.

**

Di tempat lain, tepatnya di ruang kerja Bhumi di lantai tiga puluh Arjuno Grand Hotel, suasana siang terasa sedikit lebih hangat dibanding sebelumnya. Matahari masuk lewat kaca lebar, memantulkan cahaya lembut di meja kayu gelap tempat Marvin duduk. Ia baru saja menurunkan ponsel dari telinganya, dan untuk pertama kalinya sejak pagi, bibirnya melengkung pelan membentuk senyum kecil yang jarang sekali muncul di wajahnya yang dingin itu.

Bhumi, yang sedang memeriksa sebuah dokumen di ujung meja, langsung mengangkat alis saat melihat itu.

“Ngapain lo senyum-senyum sendiri?” tanyanya santai, nada suaranya sedikit menggoda.

Marvin hanya menggeleng pelan, tapi senyum itu malah makin jelas. “Liora. Dia barusan telpon gue.”

Bhumi menutup dokumen dan menatap sahabatnya dengan minat yang sangat jelas. “Ngapain?”

“Curhat,” jawab Marvin sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Tentang Aldo yang nyepam dia dari tadi pagi. Call, chat, call lagi. Katanya dia mau gila gara-gara itu.”

Bhumi mendecak, wajahnya langsung berubah tidak senang. “Barusan gue juga di-chat Bulan, bilang Farhan juga spam chat ke dia. Kayak nggak ada harga diri banget tuh orang.”

Marvin mengangguk, rahangnya menegang sedikit. “Gue ngerti sekarang kenapa Liora kesel. Makanya…” ia berhenti sebentar, suaranya merendah tapi mantap, “entar sore gue jemput dia.”

Bhumi menatapnya tajam. “Lo jemput?”

“Ya,” jawab Marvin tanpa keraguan. “Habis itu gue ajak dia makan malam. Berdua.” Nada suaranya datar seperti biasa… tapi Bhumi bisa melihat makna di balik kalimat itu.

Bhumi tersenyum sambil menggeleng kecil. “Eits… baru juga ditelepon, udah sat-set aja lo.”

Marvin memasukkan satu tangan ke saku jasnya, wajahnya tenang tapi matanya jelas berbinar tipis. “Harus. Walaupun saingan gue sebenarnya nggak ada apa-apanya… tapi kalau urusan hati, gue nggak boleh santai.”

Bhumi langsung terbahak, suara tawanya memenuhi ruangan luas itu. “Ntar dulu, Vin. Gue kira cuma gue doang yang bisa segitunya soal perempuan.”

Marvin mengangkat alis, nada suaranya tenang tapi penuh arti. “Kita sama, Bhumi. Bedanya… cewek lo udah jelas milik lo. Cewek gue masih harus gue jemput.”

Bhumi hanya bisa tersenyum puas, seperti melihat sahabatnya akhirnya melakukan hal yang selama ini ia tunggu.

Setelah beberapa saat, suasana kembali serius ketika Marvin kembali membuka berkas di hadapannya. “Oh iya… progress di sebelah gimana?”

Bhumi melirik layar tablet sebelum menjawab. “Tim keuangan kita berdua masih ngitung nominal final-nya. Mereka lagi padat banget, tapi proses jalan. Tim legal kita juga lagi nyusun surat perjanjian buat buyout unit cabang Surabaya.”

Marvin mengetuk meja pelan dengan jarinya—sebuah kebiasaan yang menandakan ia sedang menganalisa cepat. “Hmmm. Gue ngerti. Tapi… sebisa mungkin hari ini harus kelar semua, Bhumi.”

Bhumi menatapnya lama, lalu mengangguk. “Yup. Itu juga yang gue minta ke mereka tadi. Gue nggak mau nunda terlalu lama.”

“Bagus.” Marvin menutup map dan berdiri pelan. “Semakin cepat kita secure semuanya… semakin cepat dua wanita itu aman.”

Bhumi ikut berdiri, memasukkan kedua tangannya ke saku celana, bahunya rileks namun matanya tetap tajam penuh tekad. “Dan semakin cepat Farhan sama Aldo menyingkir dari hidup mereka.”

Mereka saling menatap beberapa detik. Dua pria yang kali ini tidak sedang main bisnis, tapi sedang berperang demi perempuan yang mereka cintai.

**

Setelah makan siang, Bhumi dan Marvin kembali ke ruang meeting lantai tiga puluh. Ruangan itu kini terasa lebih hidup—tim keuangan dan legal masih sibuk mengerjakan berkas yang menumpuk, laptop terbuka dengan grafik bergerak, dan suara halus printer sesekali mengisi ruang. Bhumi melihat semuanya dengan pandangan fokus sebelum akhirnya melangkah menjauh, mengambil ponselnya, dan berdiri di dekat dinding kaca besar yang memperlihatkan pemandangan Surabaya. Udara siang menyelinap lembut ke dalam ruangan, namun nada Bhumi ketika hendak menelepon tetap dingin dan terkendali, seperti seseorang yang sudah memutuskan sesuatu yang tak bisa diganggu lagi.

Ia menekan nama Pak Yanuar.

Suara lelaki paruh baya itu terdengar lima detik kemudian, hangat tapi sedikit terkejut. “Pak Bhumi? Ada yang bisa saya bantu?”

Bhumi menarik napas perlahan. “Ada hal penting yang ingin saya bicarakan, Pak.”

Mungkin dari intonasinya saja, Pak Yanuar sudah tahu pembicaraan ini bukan ringan. “Baik, silakan, Pak. Tapi… saya harap bukan masalah yang—”

“Saya ingin membeli Perusahaan cabang Surabaya milik Bapak,” ucap Bhumi, langsung dan jelas.

Ada keheningan yang panjang. Bhumi bahkan bisa merasakan bagaimana Pak Yanuar mencoba memahami kalimat itu dari seberang sana. Beberapa detik kemudian, suara itu keluar lagi, lebih tegang dari sebelumnya.

“Pak Bhumi… ini mendadak sekali. Cabang Surabaya itu aset penting bagi perusahaan kami dan—”

“Pak Yanuar,” potong Bhumi dengan nada yang tetap sopan, namun tegas dan dingin. “Saya tahu betul betapa pentingnya cabang Surabaya bagi Bapak. Karena disana ada Bulan dan Liora, kan?, Dan saya juga tahu Bapak tidak ingin mereka meninggalkan posisi yang sudah mereka bangun selama delapan tahun terakhir.”

Pak Yanuar terdiam di seberang.

Bhumi melanjutkan, suaranya melembut, tetapi tetap kuat. “Saya di sini hanya berusaha mempertahankan sesuatu yang sangat berharga bagi tunangan saya.”

Ada jeda pendek—jeda yang Bhumi sengaja ciptakan agar kalimat itu masuk sepenuhnya.

“Tunangan…?” Suara Pak Yanuar sedikit bergetar, antara kaget dan bingung.

“Ya,” jawab Bhumi, mantap. “Bulan adalah tunangan saya, Pak.”

Ia tidak perlu menjelaskan lebih jauh, kalimat itu sudah cukup membuat Pak Yanuar terdiam lebih lama dari sebelumnya.

Setelah beberapa detik, Bhumi melanjutkan, kali ini suaranya lebih halus, jujur, dan menyentuh. “Sejujurnya, Pak… saya tidak ingin Bulan harus berada di lingkungan yang sama dengan orang yang dulu pernah membuatnya ketakutan. Saya yakin Bapak tahu siapa yang saya maksud? Saya hanya ingin mencegahnya merasakan trauma yang sama. Dan pada titik ini, yang saya lakukan hanyalah melindungi… milik saya, Pak.”

Kata “milik saya” diucapkan Bhumi bukan dengan kesombongan, tetapi dengan cinta dan keteguhan yang membuat kalimat itu terdengar sangat personal.

Lama sekali Pak Yanuar tidak bersuara.

Ketika akhirnya ia bicara, nada suaranya melemah, seperti seorang ayah yang baru saja menyadari kebenaran pahit. “Pak Bhumi… saya sudah menganggap Liora dan Bulan seperti anak perempuan saya sendiri. Itu sebabnya kemarin saya langsung acc pengunduran diri mereka. Saya tidak ingin mereka tersakiti.”

Bhumi menutup mata sejenak, mengembuskan napas pelan. Ada rasa hormat dalam suaranya ketika ia menjawab, “Dan karena itu saya menghargai Bapak. Tapi Bapak tidak perlu khawatir. Setelah cabang Surabaya berpindah kepemilikan, perusahaan itu tidak akan lagi berada di bawah pusat Jakarta. Perusahaan itu akan berdiri di bawah kendali Arjuno Group dan Nalendra Property. Aman, mandiri, dan jauh dari ancaman siapa pun.”

Pak Yanuar terdengar bingung. “Nalendra Property? Jadi… maksud Bapak, pembelian ini bukan hanya dari Arjuno Group saja?”

“Tidak, Pak,” jawab Bhumi tenang. “Saya bekerja sama dengan Nalendra Property untuk merger internal pada perusahaan cabang Bapak.”

Ada jeda beberapa detik. Bhumi bisa mendengar bagaimana Pak Yanuar menghela napas panjang, mencerna fakta itu satu per satu.

Bhumi menambahkan dengan nada hangat, “CEO Nalendra Property juga teman dekat Liora, Pak. Jadi percayalah, Pak. Tidak ada satu pun dari kami yang ingin merugikan Bapak. Kami hanya ingin melindungi mereka.”

Terdengar tawa ringan dari seberang—tawa lega. “Oalah begitu to, Pak Bhumi. Pantesan saya bingung. Apa urusannya perusahan properti terbesar se-Indonesia mau beli cabang perusahaan saya. Rupanya… demi salah satu anak perempuan saya itu.”

Bhumi tersenyum kecil untuk pertama kalinya dalam percakapan itu, meski Pak Yanuar tidak melihat. “Betul, Pak.”

Setelah beberapa saat sunyi, suara Pak Yanuar terdengar lebih mantap. “Kalau keputusan ini demi mereka… saya setuju menjualnya.”

Bhumi menarik napas lega. “Terima kasih, Pak. Malam ini tim saya akan mengirim draft kontrak jual belinya. Mohon Bapak cek, dan kalau ada yang perlu disesuaikan, kami siap revisi.”

“Baik, Pak Bhumi. Saya tunggu.” Telepon pun ditutup.

Sementara itu, Marvin juga sedang menelepon Pak Sadam—direksi yang lain. Percakapan mereka jauh lebih singkat dan lugas.

“Nominal berapa?” adalah kalimat pertama dari Pak Sadam.

Marvin menjelaskan nominal awal.

“Sesuai. Saya bisa lepas kapan saja,” jawab Pak Sadam tanpa banyak pertimbangan.

Telepon langsung ditutup.

Marvin menoleh ke Bhumi dengan anggukan percaya diri.

“Selesai.”

**

tbc

1
Al_yaa
di bab ini si marvin pemenangnya
Al_yaa
/Angry//Hey//Hey/
Al_yaa
marvin jan langsung diulti gitu apahhh
Al_yaa
omigat omigat lioraaaa/Facepalm/
KaosKaki
ya Allah, si Marvin mahhhh 😍
KaosKaki
/Angry//Awkward/
Al_yaa
bab ini bikin melting ihh, mauu satu yang kaya bhumi 😍
Al_yaa
padahal, liora juga mau ngomel tuhh ehh dikasi vitamin baby sama marvin malah meleleh diaa, jadi lupa deh mau ngomelnya
Anonymous
disuguhin yang manis manis dulu ya thorrr
Al_yaa
bab ini banyak ke uwuan /Smile//Hey//Grin/
Anonymous
marvin sama Liora.. kiw kiw /Scream/
Al_yaa
baca bab ini bawannya senyum mulu /Chuckle/
Al_yaa
manis bener mas bhum /Smile/
KaosKaki
bab ini kaya ada manis manisnya 😄/Joyful/
Bia_
asem banget si Marvin bilang Cinta aja ribet banget/Scream//Angry/
Bia_
bisa aja si marvin🤭/Facepalm/
Bia_
Bhumi modus /Facepalm/
KaosKaki
asik, bhumi mulai melancarkan aksinya /Scream/
Bia_
Akhirnya dibab ini bhumi pecah telor juga 🤭
Al_yaa
OMG mas bhumiiiii 😍/Kiss/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!