Willie, seorang pengusaha muda yang sukses, hidupnya hancur seketika ketika sang istri, Vira meninggal secara tragis setelah berusaha membuka kasus pemerkosaan yang melibatkan anak didiknya sendiri.
Kematian Vira bukan kecelakaan biasa. Willie bersumpah akan menuntut balas kepada mereka yang telah merenggut keadilan dan istrinya.
Namun di balik amarah dan tekadnya, ada sosok kecil yang menahannya untuk tidak tenggelam sepenuhnya, putri semata wayangnya, Alia.
Alia berubah menjadi anak yang pendiam dan lemah sejak kepergian ibunya. Tidak ada satu pun yang mampu menenangkannya. Hanya seorang guru TK bernama Tisha, wanita lembut yang tanpa sengaja berhasil mengembalikan tawa Alia.
Merasa berhutang sekaligus membutuhkan kestabilan bagi putrinya, Willie mengambil keputusan untuk melakukan pernikahan kontrak dengan Tisha.
Willie harus memilih tetap melanjutkan dendamnya atau mengobati kehilangan dengan cinta yang tumbuh perlahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cerita Tina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Minta Perhatian
Tisha menatap pantulan dirinya di cermin cukup lama. Beberapa detik berlalu, lalu ia tersenyum kecil, nyaris tak percaya.
Wajah itu masih wajahnya. Garis mata yang sama, hidung yang sama, tatapan yang tak berubah.
Namun entah bagaimana, semuanya terlihat lebih hidup. Kulitnya tampak segar, sorot matanya lebih tenang, dan aura anggun mengalir tanpa dipaksakan.
“Ini… aku?” lirihnya.
Sentuhan tangan Fanni benar-benar seperti sihir. Tidak berlebihan, tidak menghapus jati dirinya, hanya menegaskan keindahan yang selama ini tak ia sadari. Riasan itu tidak menjadikannya orang lain, justru memperjelas siapa dirinya.
Tisha bangkit dari kursi dengan hati-hati. Gaunnya jatuh sempurna mengikuti tubuhnya. Untuk sesaat, ia lupa pada kegugupan, pada undangan keluarga besar, pada segala bisik-bisik yang mungkin menantinya.
"Ibu cantik sekali." seru Alia.
Tisha menoleh padanya, "Benarkah?"
Alia dan Ratih sontak mengangguk bersamaan.
"Terimakasih." lanjut Tisha, senang.
***
Willie sudah tiba di rumah. Suasana rumah terlalu lengang. Ia menoleh ke sekitar, namun seperti tidak ada orang sama sekali.
Ia mengambil ponselnya lalu mengirim pesan untuk Tisha. “Kau ke mana?”
Tak lama kemudian, balasan Tisha masuk.
“Sebentar, lagi di jalan.”
Willie menghela napas pelan. Tangannya terangkat memijat pelipis, rasa dongkol bercampur heran muncul dihatinya. Kali ini bukan hanya Tisha yang pergi, Alia dan Ratih pun ikut dan lagi-lagi tanpa kabar lebih dulu.
“Kukira ini kejadian sekali dua kali,” gumamnya, bibirnya melengkung miring.
“Sepertinya sudah jadi kebiasaan.”
Ia menyandarkan tubuh ke sofa, menatap langit-langit dengan tatapan kosong.
“Kalau begini terus, aku harus memasang pelacak di ponselnya.”
Ia pun melangkah masuk ke kamarnya, membersihkan diri, dan bersiap-siap.
Ketika selesai dan turun kembali ke lantai bawah, rumah itu masih sunyi. Willie duduk sejenak di ruang tengah, masih menunggu mereka pulang.
Tak lama kemudian, pintu depan terbuka. Pandangan Willie tertangkap pada penampilan Tisha yang jauh berbeda dari biasanya. Ia kelihatan anggun, rapi, sekaligus memikat.
“Maaf,” ucap Tisha, “Saya habis bersiap-siap dan membeli sesuatu buat ibu.”
Willie mengangguk refleks, lalu tanpa sadar ia berkata. “Cantik sekali.”
Tisha menoleh, alisnya terangkat samar. “Hmm?”
Willie tersentak kecil, cepat-cepat menggaruk tengkuknya. “Alia,” ralatnya, “Alia cantik sekali.”
Alia spontan tersenyum lebar. “Benarkah, Pa?” serunya riang. Ia memutar tubuh kecilnya, membuat gaun yang dikenakannya ikut berputar sempurna.
Willie tertawa kecil. “Benar.”
Tatapan Tisha beralih pada Willie. “Anda tidak bersiap-siap?” tanyanya datar.
“Aku sudah siap,” jawab Willie enteng.
Tisha kembali menatap Willie dari atas sampai bawah dengan sorot mata tak percaya. Kaos berkerah sederhana melekat di tubuh pria itu.
Penampilannya terlalu santai, seperti gayanya sehari-hari saat dirumah. Bahkan jauh lebih rapi saat ia pergi bekerja.
Ia menghela napas panjang, lalu memastikan, “Anda serius akan pergi seperti ini?”
“Tentu saja,” jawab Willie tanpa keraguan, bahkan terdengar percaya diri.
Tisha menepuk jidatnya pelan. “Saya sudah berusaha terlihat sebaik mungkin, dan Anda hanya begini?”
“Apa masalahnya?” tanya Willie santai.
“Cepat ganti,” perintah Tisha tegas.
Willie mengerling malas. “Aku malas naik lagi ke atas.”
Kesabaran Tisha runtuh. Dadanya naik turun oleh napas yang mulai memburu.
"Ganti sekarang,” seru Tisha.
Tanpa berkata apa-apa lagi, ia langsung menarik tangan Willie dan melangkah cepat menuju ke kamarnya.
“Eh...” Willie terkejut. Tubuhnya terseret begitu saja, matanya membelalak kecil.
Willie menatap punggung istrinya itu, lalu tersenyum tipis dengan rasa heran.
Sesampainya di kamar, Tisha menutup pintu dengan cukup keras hingga bunyinya menggema singkat. Dadanya naik turun menahan emosi yang belum reda.
Willie berdiri terpaku di dalam, masih mencerna apa yang baru saja terjadi.
“Tolong jangan mempermalukan saya,” ucap Tisha lantang.
“Saya tahu Anda tidak menyukai saya. Tapi jangan membuat saya terlihat tidak becus mengurus Anda di depan keluarga Anda sendiri.”
Willie menoleh santai, bertopang pada daun pintu. “Kau menarikku ke kamarmu hanya untuk mengomeliku?”
Ia mengangkat bahu, nada suaranya ringan namun menusuk. “Lagipula itu keluargaku. Sesuka aku, dong.”
Jari-jari Tisha mengepal kuat. “Anda itu benar-benar menyebalkan, ya?” dengusnya.
Dengan langkah cepat, ia membuka lemari dan meraih sebuah goodie bag yang berisi kotak yang selama ini sengaja ia simpan. Ia menyerahkannya begitu saja ke tangan Willie.
“Pakai ini,” perintahnya singkat.
Willie menatap kotak itu beberapa detik, lalu tersenyum kecil. “Ini masih baru,” katanya perlahan. “Kau membelinya untukku?”
“Jangan banyak bertanya. Cepat pakai,” sela Tisha.
“Laki-laki di hidup saya bukan cuma Anda,” lanjut Tisha. seolah ingin mematikan harapan yang muncul di wajah pria itu.
Senyum Willie meredup seketika. Dengan wajah sedikit kecewa namun patuh, Willie membuka bajunya tepat di hadapan Tisha. Refleks, Tisha langsung memutar badan.
Willie menahan senyum. Ada sesuatu yang menggelitik hatinya dari reaksi polos itu.
“Sudah selesai,” serunya cepat.
Tisha berbalik menghadap Willie, lalu langsung berbalik lagi. Kemeja itu sama sekali belum terkancing, terbuka lebar memperlihatkan tubuh tegap yang jelas terawat.
“Selesai apanya,” dengusnya jengah.
“Hei, bantu aku,” kata Willie santai.
“Apa yang harus dibantu?” Tisha menoleh setengah, enggan menatap penuh.
“Kancingkan bajuku.”
Tisha mendesah kesal. “Setua ini Anda tidak bisa mengancingkan baju sendiri?, bukankah anda sering memakai kemeja?" protesnya.
"Kau mau aku memakai ini atau tidak?" balas Willie, kelihatan sekali ia ingin mengerjai Tisha.
"Huh." sergah Tisha kesal, namun tetap melangkah mendekat.
Dengan gerakan pelan dan canggung, ia mulai mengancingkan kemeja itu satu per satu. Matanya berkedip beberapa kali ketika tanpa sengaja otot perut Willie yang masih sedikit terlihat tertangkap pandangannya.
Ia menelan ludah, berusaha fokus pada kancing-kancing kecil itu, tapi jantungnya justru berdetak semakin tak teratur.
Willie menunduk sedikit, memperhatikan wajah Tisha yang gugup. Senyum lebar muncul dibibir Willie, ia sangat menikmati perhatian dan ekspresi istrinya itu.
kopi untuk mu