Yurika Hana Amèra (Yuri), mahasiswi akhir semester dua yang mencari tempat tinggal aman, tergiur tawaran kosan "murah dan bagus". Ia terkejut, lokasi itu bukan kosan biasa, melainkan rumah mewah di tengah sawah.
Tanpa disadari Yuri, rumah itu milik keluarga Kenan Bara Adhikara, dosen muda tampan yang berkarisma dan diidolakan seantero kampus. Kenan sendiri tidak tahu bahwa mahasiswinya kini ngekos di paviliun belakang rumahnya.
Seiring berjalannya waktu, Yuri mulai melihat sisi asli sang dosen. Pria yang dielu-elukan kampus itu ternyata jauh dari kata bersih—ia sangat mesum. Apalagi ketika Kenan mulai berani bermain api, meski sudah memiliki pacar: Lalitha.
Di tengah kekacauan itu, hadir Ezra—mahasiswa semester empat yang diam-diam menaruh hati pada Yuri sejak awal. Perlahan, Ezra menjadi sosok yang hadir dengan cara berbeda, pelan-pelan mengisi celah yang sempat Yuri rindukan.
Antara dunia kampus, cinta, dan rahasia. Yuri belajar bahwa tidak semua yang berkilau itu sempurna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SweetMoon2025, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
32. Pemulihan dan Teka-Teki
Hari itu, Yuri banyak menghabiskan waktu dengan berbaring, mencoba memaksa tubuhnya menerima istirahat yang sangat dibutuhkan. Entah mengapa, dia merasa badannya jauh lebih ringkih dan rapuh sekarang, seperti ranting kering yang siap patah.
Ada perasaan aneh yang berkelebat: apakah semua karena pertama ia alami, hal traumatis yang terjadi akhir-akhir atau memang sistem imunnya sedang nggak baik-baik saja, menyerah pada tekanan mental dan fisik?
Waktu terus berjalan. Hanya tersisa satu minggu sebelum jadwal penerbangannya untuk bertemu keluarga di Australia. Dia harus pulih, apapun yang terjadi, sebelum ia terbang. Tekad itu berbisik, memberinya kekuatan untuk segera sehat dan lebih hati-hati lagi nantinya.
Ezra. Nama itu langsung menyusup ke pikirannya saat ia membuka mata pagi tadi.
Bagaimana kabar kekasihnya itu?
Ponselnya masih diisi daya, setelah baru saja ia minta tolong Kenan—dosennya—untuk mengisi ulangnya. Ia bahkan sempat lupa ingat kapan terakhir kali ia mengeceknya.
“Kamu istirahat dulu seharian ini, nanti sore atau malam kamu bisa kembali ke rumah kamu kalau pusing kamu sudah hilang, Yurika,” saran lembut dokter Mira tadi siang, setelah mengecek kondisinya. Ada kehangatan menenangkan dalam suara dokter itu, yang membuat Yuri merasa nyaman disana.
Yuri kini sendirian di ruangan yang sunyi. Dosennya itu entah ke mana. Keheningan yang pekat dan dingin menyelimuti. Setelah menghela napas panjang, Yuri kembali menutup mata. Obat dan vitamin yang diberikan dokter Mira sepertinya mulai bekerja. Ia kembali tertidur lelap, sebuah pelarian singkat dari segala kekalutan yang menunggu di luar sana.
Sementara Yuri terlelap, Kenan duduk dengan serius di ruang tengah. Ia baru saja menerima laporan detail dari seseorang yang ia hubungi semalam. Saat ini, di depan Kenan, ada laptop yang menayangkan rekaman CCTV sekitaran gedung tempat kejadian. Hasilnya nihil. Seolah pelaku—siapapun dia—memang tahu persis letak titik buta kamera pengawas.
Rasa geram jelas menyelimutinya. Kenan tahu ia harus mencari lebih luas lagi, mungkin meminta rekaman CCTV fakultas bahkan pihak kampus, tetapi ia khawatir tindakannya akan menimbulkan kecurigaan jika ia sampai meminta langsung ke pihak keamanan kampus. Pikirannya sibuk menyusun strategi, mencari tahu siapa yang begitu berani dan nekat mencelakai Yuri kemarin sore.
Ponsel di sebelahnya berdering tanpa henti, namun ia abaikan. Nama Lalitha dengan emotikon bunga mawar menyala di layar, penuh tuntutan yang nggak terucap secara langsung. Kenan sudah mengabaikannya sejak kemarin, sejak ia menemukan Yuri tergeletak dan segera membawanya ke rumah Mira, salah satu sahabat baiknya dari masa putih abu-abu. Satu-satunya perempuan yang nggak tertarik dengan Kenan dan sudah hafal luar dalam kelakuan sahabatnya itu kalau sudah berhubungan dengan wanita. Kenan nggak pernah mengejar cewek manapun selama ini, dia selalu dikejar dan menerima bila ada hal lebih besar yang bisa dia dapat. Brengs*k memang.
Kembali ke Lalitha. Janji kencan malam minggu semalam jelas batal, dan Kenan hanya mengiriminya pesan singkat yang terkesan dingin bahwa ia sibuk dengan urusan pekerjaan yang mendadak.
Lalitha jelas nggak bisa terima begitu saja. Teror pesan dan panggilannya terus berdatangan hingga siang menjelang sore ini. Kenan merasa lelah, bukan hanya lelah fisik, tetapi lelah akan drama. Jujur saja, ia nggak pernah benar-benar mencintai atau menyukai Lalitha. Wanita itu sendiri yang datang dan menawarkan hati, tubuh, dan yang paling Kenan butuhkan, 'kuasa orang tuanya' demi kepentingan akademis dan kariernya.
“Hah, berisik sekali,” ujar Kenan, mengusap wajahnya yang terlihat jelas kelelahan dna kurang tidur.
Baru kali ini, dia merasakan hal baru yaitu tertarik dengan seorang perempuan—mahasiswinya sendiri. Tekanan untuk melindungi Yuri sekaligus menjaga rahasia aksinya mulai mengikis energinya. Ia meletakkan ponsel itu kedalam kantong celananya dan segera beranjak menuju kamar Yuri. Melihat Yuri baik-baik saja adalah satu-satunya hal yang bisa memberinya sedikit ketenangan.
***
Di lain tempat, Ezra harus terjebak dengan pertemuan dan rapat basket. Rapat yang kemarin sore sempat dia hentikan dan tunda demi bertemu Yuri, tapi hasilnya malah sekarang pacarnya hilang tanpa kabar. Kepalanya terasa sakit. Rasa bersalah karena nggak bisa memastikan Yuri aman terus menghantamnya dari kemarin sore.
Rapat yang dipimpin oleh pembina mereka membahas banyak hal, mulai dari persiapan turnamen dalam waktu dekat hingga pemilihan pengurus baru di semester mendatang. Ezra jelas nggak fokus dengan semua pembahasan.
Jantungnya berdebar, bukan karena latihan berat, melainkan karena cemas. Matanya terus melirik ponsel yang ia letakkan di atas pahanya, seolah menunggu layar itu menyala dengan notifikasi dari Yuri.
Di barisan paling belakang, tersembunyi dalam bayangan, ada Nero, teman seangkatan Tania. Tatapannya dingin, terfokus melihat Ezra dari tadi. Ada senyum jahat samar yang nggak akan disadari siapapun, senyum yang menunjukkan kepuasan tersembunyi. Nero merasa dia penuh kemenangan kali ini, Ezra pasti gelisah dan panik dengan kondisi pacarnya.
Iya, betul.
Nero adalah dalang di balik kejahatan kemarin sore. Dia dan orang kepercayannya, mencelakai Yuri secara langsung. Ia yang menyukai Tania mati-matian sejak zaman SMA, kini harus melihat perempuannya itu malah kalah dan dipermainkan oleh ‘anak ingusan’ macam Ezra. Ironisnya, Tania masih saja mengejar Ezra yang jelas-jelas nggak pernah suka padanya. Nero jelas tidak terima. Apalagi kini Tania mendadak menjadi musuh publik. Ia akan melakukan apapun, bahkan tindakan kriminal, asalkan perempuannya senang dan Ezra menderita.
Oh, Men.
Kekanakan sekali, tingkah Nero. Selain karena urusan Tania, ia juga menyimpan dendam pribadi pada Ezra. Posisi kepengurusan yang seharusnya bisa dipimpin oleh angkatannya—yang mana ia berpotensi sebagai ketua—harus kalah suara mutlak dari Ezra, junior yang baru bergabung namun sudah mengukir banyak prestasi. Sial betul nasib Nero seolah di permalukan setahun terakhir ini.
“Bang, gimana?” salah seorang anggota bertanya kepadanya, yang dari tadi melamun fokus menatap Ezra di depannya. Karena ia nggak tahu apa yang sedang dibahas, lengannya disenggol teman sebelahnya dan ia mendapat bisikan informasi tentang topik yang sedang dibicarakan.
“Ah… turnamen nasional ya. Bisa pakai anggaran yang ada. Kalau kurang, nanti pas masuk semester baru, kita cari sponsor, gampang itu,” jawabnya penuh wibawa dan karisma.
Nero yang disegani, yang dikenal baik, cerdas, dan nggak pernah terlibat masalah. Citra itu begitu melekat erat dalam dirinya, menjadikannya musuh yang tak terduga. Sebenar-benarnya musuh.
Ezra yang juga menengok ke belakang, ikut mendengarkan usul seniornya itu. Ia mengangguk paham dan melempar senyum sekilas sebagai ketua saat ini.
“Latihan perdana nanti saat semester baru dimulai, ya,” kata pembina mereka menutup sesi.
“Baik, Coach!” jawab semua serempak.
Rapat berlanjut santai sampai malam, dengan pembahasan random lainnya.
Katanya, sekalian mengisi waktu pasca ujian semester, mereka butuh refreshing. Usul itu disetujui, dan mereka berlanjut dengan acara makan-makan. Ezra mendesah dalam hati. Ia kesulitan menolak karena nggak ada alasan kuat yang bisa ia gunakan untuk pergi dari forum ini lagi.
***
Sementara Ezra terkunci dalam lingkaran sosialnya, Kenan memastikan Yuri telah bangun dan badannya membaik sepenuhnya.
“Selamat istirahat, Yuri. Kalau ada apa-apa, hubungi saya saja. Nomor saya sudah saya simpan di ponsel kamu tadi,” Kenan berujar, menatap mata Yuri dengan sorot teduh.
Saat ini keduanya sudah kembali ke rumah dan Yuri sudah berbaring di ranjang kosannya.
“Baik, Pak. Terima kasih banyak,” jawab Yuri pelan, rasa hormat yang mendalam otomatis keluar.
Kenan tersenyum tipis. “Kalau di luar kampus, tolong jangan panggil saya ‘Bapak’ atau ‘Pak’, bisa?”
“Ha?” Yuri mengerutkan dahinya, bingung dengan permintaan mendadak itu. Garis batas formalitas antara dosen dan mahasiswa seolah baru saja dipaksa kabur.
Btw, aku mampir nih kak. Seru ceritanya. Semangat 😊💕💕