Bagaimana jadinya jika seorang penulis malah masuk ke dalam novel buatannya sendiri?
Kenalin, aku Lunar. Penulis apes yang terbangun di dunia fiksi ciptaanku.
Masalahnya... aku bukan jadi protagonis, melainkan Sharon Lux-tokoh antagonis yang dijadwalkan untuk dieksekusi BESOK!
Ogah mati konyol di tangan karakternya
sendiri, aku nekat mengubah takdir: Menghindari Pangeran yang ingin memenggalku, menyelamatkan kakak malaikat yang seharusnya kubunuh, dan entah bagaimana... membuat Sang Eksekutor kejam menjadi pelayan pribadiku.
Namun, ada satu bencana fatal yang kulupakan
Novel ini belum pernah kutamatkan!
Kini aku buta akan masa depan. Di tengah misteri Keluarga Midnight dan kebangkitan Ras Mata Merah yang bergerak di luar kendali penulisnya, aku harus bertahan hidup.
Pokoknya Sharon Lux harus selamat.
Alasannya sederhana: AKU GAK MAU MATI DALAM KEADAAN LAJANG!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R.A Wibowo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29
Ruangan pertemuan itu luas, dindingnya dipenuhi kaca berbingkai hitam dan tirai tebal berwarna merah gelap. Aroma herbal tipis memenuhi udara—sejenis wangi khas yang hanya digunakan para bangsawan Midnight. Sharon bahkan sempat berpikir wangi ini sengaja dipilih agar para tamu merasa tidak nyaman.
Dan di tengah ruangan itu, duduklah Arthur Midnight.
Ia duduk santai, punggung bersandar ringan pada kursi kayu hitam berukir. Mata merahnya tampak tenang, hampir terlalu tenang. Senyumnya kecil dan sopan, seolah pertemuan ini hanyalah kunjungan teh biasa. Bukan pertemuan antara dua keluarga yang hampir saling bunuh bertahun-tahun.
“Selamat datang, nona Sharon.” Arthur bangkit, membungkuk pelan. Lalu matanya menatap ke arah leon, Gilbert, dan Althea. “Dan tentu saja, selamat datang bagi keluarga Lux.”
Sharon menggelengkan kepala pelan. Ia tidak mood untuk pura-pura.
“Aku mohon,” katanya sambil mengambil posisi duduk—tegang tapi tidak gentar, “kita tidak usah membuang waktu dengan basa-basi.”
Arthur mengangkat alis, jelas terhibur. “Begitu terburu-buru. Apa bertemu denganku begitu membosankan? Padahal kita teman dekat kan?”
Sharon mendecakkan lidah. “Perjalanan ke sini memakan waktu lama. Bahkan kami diserang oleh seseorang barusan” Sharon menatapnya tajam. “Jadi lebih baik langsung ke inti saja.”
Arthur terlihat terkejut dengan cara yang dibuat-buat. “kalian diserang? Sungguh mengerikan! Siapa yang menyerang kalian?”
Sharon merasa agak jengah dengan sikap yang dibuat-buat sok terkejut itu, saat ia ingin menjawab.
Gilbert terlebih dahulu memotong, “dengan penuh rasa maaf, Tuan Arthur …” ia menunduk dengan sopan. Tangannya meletakan sebuah bilah pisau.
Pisau dengan lambang bulan sabit—lambang keluarga Midnight.
Leon, Sharon, Althea terkejut. Tidak menyangka Gilbert sempat mengambil senjata musuh barusan. Dan ternyata dalang adalah keluarga ini sendiri? Agak aneh.
“Saya ingin mempertanyakan hal ini … kenapa pisau ini bisa dipegang oleh musuh yang menyerang kami? Bukankah kalian ingin mengundang kami?”
Arthur tidak tersenyum (tentu saja) malahan ia mengeluarkan wajah sinis. “Maksudnya kamu mencurigai aku?”
“Ini adalah barang bukti.” Gilbert mengeluarkan ancang-ancang siaga. Tangannya memegang belah pedang bila diperlukan. “Tergantung jawaban anda tentunya …”
“Sungguh menggelikan.” Arthur menatap penuh jijik ke arah Gilbert, tatapan penuh benci. “hanya seorang pelayan tapi sangat sombong!”
Situasi … tentu saja tidak berjalan dengan baik. Sharon kehilangan kata-kata karena tidak menyangka bahwa kemungkinan keluarga Midnight berusaha menyerang mereka saat menuju kesini, walau hanya kemungkinan kecil dan bukti simpel.
Gawat, situasinya semakin buruk. Ia ingin mengatakan sesuatu
Sebelum akhirnya Althea memecahkan situasi tegang ini. “Hentikan Gilbert, Tuan Arthur. Kita jauh-jauh kesini bukan untuk bertengkar.”
Perkataan simpel dari protagonis utama novel. Berhasil memecahkan suasana dingin.
Gilbert yang berdiri menghela napas kecil—ia tahu tidak bisa melawan perintah Althea.
“Baiklah, nona … maafkan tindakan tidak sopan saya, Tuan Arthur.” Ucap Gilbert–nyaris tidak ikhlas.
Kali ini Sharon yang menghela napas. Gilbert lebih terlihat penurut dengan Althea daripada dengannya. Kalau dia yang angkat suara tadi belum pasti Gilbert akan mendengarkan.
Arthur menatap Gilbert dengan pandangan penuh kebencian yang halus—bukan yang meledak-ledak, tapi menusuk.
“Aku rasa,” katanya pelan. “Kau menuduhku tanpa dasar yang jelas.”
“Landasannya jelas,” Gilbert menjawab tanpa goyah, meski ia sudah mendapat perintah dari Althea. “Barang ini tidak mungkin ada di tangan orang luar jika bukan dikirim oleh orang dalam.”
Arthur menutup mata sejenak, seperti seseorang yang harus bersabar menghadapi anak kecil.
“Atau,” ia membuka mata lagi, menatap Gilbert dengan tatapan sinis, “kau hanya kesulitan menerima bahwa ada orang lain yang juga memakai senjata bergaya sama? Senjata seperti itu bisa dibeli di pasar gelap, Tuan Gilbert.”
Gilbert menyipitkan mata. “Lambang ini bukan lambang pasar gelap. Ini lambang keluarga Midnight, jangan pikir saya bodoh.”
Arthur tidak menjawab. Ia hanya menengok ke arah Sharon dan tersenyum tipis—senyum yang seolah berkata lihat? pengawalmu terlalu mencurigakan.
Lalu ketika tatapan mata Sharon dan Arthur bertemu. Pria itu tersenyum menggoda, mendekatkan wajahnya dengan si gadis.
“Lagipula, aku tidak akan menyerang Sharon … gadis yang kucintai, mana mungkin aku menyerangnya.”
Sharon sedikit geli sebenarnya, tapi lebih baik dia mengabaikan godaan itu.
“Arthur untuk sekarang aku percaya denganmu, tapi… kalau ada yang menyerang kami menggunakan simbol keluarga Midnight, setidaknya jelaskan. Apa ada fraksi di dalam keluarga kalian yang—”
“Sebenarnya itulah yang ingin kubahas,” Arthur menyela, angkat tangan seolah mengakhiri kegaduhan kecil tadi. Aura tenangnya kembali, seperti badai yang berhenti mendadak. “Dan alasan kenapa kalian kuundang.”
Ia menoleh ke pelayan di samping pintu. “Sajikan teh.”
Pelayan mengangguk dan pergi, meninggalkan ruang pertemuan dengan pintu yang tertutup rapat.
Arthur kembali duduk, menyilangkan kaki, dan menatap Sharon dengan intensitas yang membuat ruangan seakan mengerut.
“Pertama,” katanya pelan, “aku tidak akan menyerang tamu yang kuundang sendiri. Terutama membahayakan nyawa Sharon—gadis yang sangat kucintai.”
Ia mengulangi sampai dua kali!
Gilbert mendengus pelan. Leon menatapnya seolah ingin bilang tolong jangan buat masalah lagi.
“Dan kedua,” Arthur melanjutkan sambil menumpu dagu dengan jemari, “kalian datang bukan untuk mempersoalkan serangan. Kalian datang karena ada hal lain yang jauh… lebih penting.”
Sharon mencondongkan tubuh sedikit, mata mengerucut. “Kalau begitu katakan saja. Topik sebenarnya apa?”
Arthur sempat tersenyum kecil—bukan senyum ramah, tapi senyum orang yang menikmati ketegangan lawannya.
“Baiklah,” katanya lembut. “Kita masuk ke inti.”
Ia mengalihkan tatapannya pada Leon sebelum kembali ke Sharon.
“Pertama-tama, nona Sharon,” Arthur berkata, suaranya menurun menjadi sedikit lebih dalam. “Ada satu hal yang ingin kutanyakan padamu sebelum kita melangkah lebih jauh.”
Sharon menatapnya tanpa mundur. “Apa?”
Arthur bersandar sedikit, sorot matanya merah pekat. “Bagaimana hubunganmu dengan Duke akhir-akhir ini?”
Sharon berkedip. “Apa hubungannya dengan—”
“Jawab saja,” Arthur menyela halus. “Hubungan keluarga sangat penting, terutama setelah… peristiwa masa lalu.”
Kalimat itu sengaja digantung.
Leon tegang. Althea memegang ujung roknya. Gilbert memijat pedang tanpa sadar.
Sharon mendengus. “Arthur, jangan bertele-tele. Aku tidak menempuh perjalanan panjang untuk mendengarkan pertanyaan basa-basi. Kau mengundangku, jadi tolong—langsung ke poin utama.”
Arthur tertawa kecil, tawa pelan yang tidak hangat sama sekali. “Baiklah. Baiklah.”
Ia menatap Sharon dengan tatapan licin yang membuat jantung Sharon berhenti sepersekian detik.
“Kalau begitu, kita mulai dari pertanyaan yang lebih serius.”
Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, senyumnya hilang.
“Sharon Lux, apa kau tahu tentang perjanjian lama antara keluarga Midnight dan keluarga Lux?”
Sharon membeku.
Althea menatapnya bingung.
Gilbert menegang.
Leon—hanya Leon yang tampak pucat, seolah ia tahu apa yang akan dibicarakan.
Sharon menatap Leon. Leon tahu sesuatu? Kenapa diam saja?
Dan itu membuat Sharon semakin tidak suka.
“…Perjanjian… apa?” Sharon bertanya pelan, matanya kini menatap Arthur tanpa mundur.
malah meme gw😭
Sharon sebagai antagonis palsu tuh bukan jahat—dia korban. Dan kita bisa lihat perubahan dia dari bab awal sampai sekarang.
pokonya mantap banget
rekomendasi banget bagi yang suka cerita reinkarnasi
dan villain
semangat thor