Halwa adalah siswi beasiswa yang gigih belajar, namun sering dibully oleh Dinda. Ia diam-diam mengagumi Afrain, kakak kelas populer, pintar, dan sopan yang selalu melindunginya dari ejekan Dinda. Kedekatan mereka memuncak ketika Afrain secara terbuka membela Halwa dan mengajaknya pulang bersama setelah Halwa memenangkan lomba esai nasional.
Namun, di tengah benih-benih hubungan dengan Afrain, hidup Halwa berubah drastis. Saat menghadiri pesta Dinda, Halwa diculik dan dipaksa menikah mendadak dengan seorang pria asing bernama Athar di rumah sakit.
Athar, yang merupakan pria kaya, melakukan pernikahan ini hanya untuk memenuhi permintaan terakhir ibunya yang sakit keras. Setelah akad, Athar langsung meninggalkannya untuk urusan bisnis, berjanji membiayai kehidupan Halwa dan memberitahunya bahwa ia kini resmi menjadi Nyonya Athar, membuat Halwa terombang-ambing antara perasaan dengan Afrain dan status pernikahannya yang tak terduga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
Beberapa hari kemudian, kondisi Halwa membaik dengan sangat cepat.
Dokter sudah memperbolehkan Halwa pulang, asalkan ia tetap melanjutkan pemulihan di rumah dan tidak melakukan aktivitas berat.
Athar dengan senang hati membawa Halwa pulang.
Begitu tiba di rumah, Athar tidak membiarkan Halwa menyentuh lantai.
Ia membopong tubuh istrinya langsung ke dalam kamar utama.
Halwa tersenyum melihat perhatian Athar. "Pak CEO nggak kerja?" tanya Halwa dengan suara lirih.
"Bukankah pekerjaanmu menumpuk selama aku di rumah sakit?"
Athar menurunkan Halwa perlahan ke atas ranjang.
"Pekerjaan bisa menunggu. Istriku tidak bisa."
Sambil berbicara, Athar melepas kemejanya.
Ia melempar kemeja itu ke kursi, menunjukkan tubuh bagian atasnya yang bidang.
Pemandangan itu, meskipun sudah sering dilihat Halwa sebelum koma, kini membuatnya salah tingkah lagi.
"Athar..." panggil Halwa, pipinya merona.
Athar merangkak naik ke ranjang, mendekatkan wajahnya ke Halwa.
"Ada apa, Sayang? Kamu terkejut melihatku?"
Athar tidak menunggu jawaban, ia memeluk tubuh istrinya dengan sangat hati-hati, memastikan punggung Halwa tidak tertekan.
"Aku akan tinggal di sini bersamamu. Aku tidak akan pergi ke mana-mana sampai kamu benar-benar sembuh," bisik Athar, mencium puncak kepala Halwa, menikmati kehangatan dan aroma istrinya setelah sekian lama.
Halwa membalas pelukan suaminya. Meskipun tubuhnya masih lemah, ia merasa dorongan yang kuat.
Ia mendongak, mendekatkan bibirnya ke bibir suaminya yang berbrewok tipis.
Athar merespons ciuman itu dengan penuh kerinduan dan kelembutan, menjaga agar ciumannya tidak terlalu menuntut.
"Sayang...." panggil Halwa, suaranya tercekat karena hasrat yang lama tertahan.
Athar memutus ciuman itu, menggeser wajahnya ke leher Halwa, dan Athar menggigit leher Halwa dengan gemas dan penuh kepemilikan.
Reaksi itu membuat Halwa mencengkeram erat kedua punggung suaminya, ia merasakan gejolak emosi yang menyenangkan.
Athar tersenyum tipis, senang melihat respon istrinya yang sudah kembali normal.
Namun, Athar tahu Halwa belum pulih sepenuhnya.
Ia menarik napas dalam-dalam, menahan keinginannya.
Ia hanya mencium kening Halwa lama-lama.
"Bersabarlah, Sayang. Sampai kamu benar-benar sembuh. Setelah itu, tidak ada yang bisa mengganggu kita," janji Athar.
Halwa mengangguk, menerima keputusan Athar dengan patuh.
Ia bersandar di dada suaminya, menikmati waktu yang telah lama mereka dambakan.
Kemudian Halwa memejamkan matanya, menikmati kenyamanan dan rasa aman di atas dada bidang suaminya.
Napasnya mulai teratur, dan ia kembali tertidur pulas.
Athar memeluk Halwa erat, mencium puncak kepalanya.
Ia tersenyum tipis, tidak menyangka bahwa ia, seorang CEO besar dan dingin, kini memiliki seorang istri yang masih duduk di bangku SMA seorang gadis yang berhasil mengubah seluruh hidup dan prioritasnya.
Sementara itu, di tempat lain, di sebuah kota terpencil di luar negeri, Afrain sedang memantau berita online Indonesia.
Ia membaca laporan tentang kepulangan Athar dan pengalihan Halwa ke perawatan rumah. Afrain membaca berita itu berulang kali. Ia terkejut.
"Dia selamat? Tidak mungkin!" gumam Afrain, tangannya gemetar. Rencananya gagal, dan Halwa masih hidup.
Ia mencoba menghubungi beberapa kenalannya di Jakarta, tetapi semua berita mengarah pada satu kesimpulan bahwa Polisi sedang menyelidiki kasus penusukan itu secara besar-besaran, dan Athar menjaganya dengan sangat ketat.
Afrain tahu ia tidak bisa kembali lagi ke Jakarta, karena ia akan langsung ditangkap.
Afrain menghela napas panjang, amarah dan keputusasaan merayapi hatinya.
"Baiklah, Athar. Kau menang kali ini," desis Afrain.
"Tapi aku belum selesai."
Ia menyalakan laptopnya dan mulai mencari cara lain.
Jika ia tidak bisa menyentuh Halwa secara fisik, ia akan menyerang Athar melalui bisnis dan orang-orang terdekatnya.
Afrain mulai menyusun rencana balas dendam baru, kali ini dari jarak jauh.
Athar sedang menemani Halwa di kamar ketika ponselnya berdering tanpa henti.
Yunus, dengan wajah sangat cemas, mengetuk pintu kamar Athar.
"Tuan Athar, maaf mengganggu istirahat Anda, tetapi ini gawat," lapor Yunus, suaranya terdengar panik.
"Ada berita kebakaran besar di kantor cabang kita di Kanada. Kerusakannya parah, Tuan."
Athar langsung berdiri. Kabar itu sangat mengejutkan.
Kantor di Kanada adalah salah satu pusat operasional terbesarnya.
Ia mengambil ponselnya dan melihat foto serta laporan awal yang dikirimkan. Ini jelas bukan kecelakaan biasa.
"Sial! Ini pasti sabotase," geram Athar.
Ia tahu ia harus segera pergi ke Kanada untuk menangani krisis ini secara langsung.
Halwa yang mendengar percakapan itu menjadi khawatir.
Ia tahu Athar tidak akan meninggalkannya lagi, tetapi ia juga tahu Athar harus pergi.
Athar menatap Halwa, matanya menunjukkan konflik batin.
Ia tidak mungkin meninggalkan Halwa yang masih lemah, tetapi ia juga tidak bisa menunda perjalanan ini.
"Sayang," Athar berjalan mendekati Halwa dan menggenggam tangannya.
"Aku harus pergi ke Kanada sekarang juga. Ini masalah besar."
Halwa mengangguk sedih. "Pergilah, Athar. Aku akan baik-baik saja di sini."
"Tidak," potong Athar tegas.
"Aku tidak akan meninggalkanmu lagi. Kamu masih dalam masa pemulihan, dan aku tidak mau ada risiko lagi. Siapkan dirimu, Sayang. Kita akan ke Kanada sekarang juga."
Athar mau tidak mau mengajak Halwa terbang bersamanya ke Kanada.
Athar tidak akan membiarkan ada jarak lagi yang digunakan musuhnya.
Athar segera memapah Halwa, yang masih berjalan agak lambat, menuju ke mobil yang sudah menunggu.
Mereka melaju dengan cepat menuju landasan jet pribadi milik Athar.
Di dalam jet yang mewah dan luas, Athar membantu Halwa berbaring di sofa panjang yang nyaman. Ia menyelimuti istrinya dengan lembut.
"Istirahatlah lagi, Sayang. Penerbangan ini akan memakan waktu lama," ucap Athar, wajahnya dipenuhi rasa bersalah.
Ia duduk di samping Halwa dan menggenggam tangannya.
"Maafkan aku yang harus membawamu ke Kanada. Aku tahu kamu harusnya istirahat penuh. Tapi aku tidak bisa meninggalkanmu."
Halwa tersenyum tipis, menatap mata suaminya yang lelah.
"Tidak apa-apa, Athar. Aku mengerti. Aku ikut, itu lebih baik daripada sendirian di sini."
Halwa menganggukkan kepalanya, meyakinkan Athar bahwa keputusannya sudah tepat.
Di samping Athar, di mana pun, adalah tempat teramannya.
Jet pribadi Athar mulai bergerak, meluncur di landasan, dan tak lama kemudian, mereka lepas landas, menuju ke Kanada yang jauh.
Selama penerbangan, pramugari segera menyiapkan makanan yang sudah diresepkan khusus oleh dokter untuk Halwa.
Makanan itu kaya nutrisi, dirancang untuk mempercepat pemulihan.
"Ayo, Sayang, kamu harus makan dulu," bujuk Athar lembut.
Halwa menganggukkan kepalanya. Dengan sabar dan telaten, Athar menyuapi istrinya yang masih lemah. Ia memastikan Halwa menghabiskan setiap suapan.
Setelah selesai makan, tibalah waktu Athar memberikan perawatan medis lanjutan.
Athar mengambil jarum suntik berisi obat khusus yang harus disuntikkan langsung ke area luka Halwa untuk mencegah infeksi dan membantu regenerasi jaringan.
"Tahan sedikit ya, Sayang. Ini pasti sakit," kata Athar, nadanya penuh perhatian.
Halwa memejamkan mata dan menganggukkan kepalanya, bersiap menahan rasa sakit.
Saat Athar menyuntikkan obat itu, Halwa menggenggam erat tangan Athar.
"S-sakit..." rintih Halwa pelan, air mata menetes dari sudut matanya karena rasa perih yang menusuk.
Athar dengan cepat menyelesaikan penyuntikan. Ia segera menghapus air mata istrinya dengan ibu jarinya, mencium kening Halwa.
"Sudah selesai, Sayang. Maafkan aku," bisik Athar, merasa sakit melihat Halwa kesakitan.
Halwa tersenyum lemah. Ia tahu, rasa sakit ini adalah bagian dari pengorbanan Athar untuk kesembuhannya. Ia kembali bersandar nyaman di dada suaminya.