Amorfati sebuah kisah tragis tentang takdir, balas dendam, dan pengorbanan jiwa
Valora dihancurkan oleh orang yang seharusnya menjadi keluarga. Dinodai oleh sepupunya sendiri, kehilangan bayinya yang baru lahir karena ilmu hitam dari ibu sang pelaku. Namun dari reruntuhan luka, ia tidak hanya bertahan—ia berubah. Valora bersekutu dengan keluarganya dan keluarga kekasihnya untuk merencanakan pembalasan yang tak hanya berdarah, tapi juga melibatkan kekuatan gaib yang jauh lebih dalam dari dendam
Namun kenyataan lebih mengerikan terungkap jiwa sang anak tidak mati, melainkan dikurung oleh kekuatan hitam. Valora, yang menyimpan dua jiwa dalam tubuhnya, bertemu dengan seorang wanita yang kehilangan jiwanya akibat kecemburuan saudari kandungnya
Kini Valora tak lagi ada. Ia menjadi Kiran dan Auliandra. Dalam tubuh dan takdir yang baru, mereka harus menghadapi kekuata hitam yang belum berakhir, di dunia di mana cinta, kebencian, dan pengorbanan menyatu dalam bayangan takdir bernama Amorfati
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim Varesta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. Pulau
🦋
Kamis - Perjalanan ke Pulau
Hari ini, rombongan Auliandra berangkat menuju pulau yang akan menjadi lokasi pembangunan villa mewah mereka. Perjalanan yang seharusnya penuh tawa dan ketenangan berubah kaku saat Mahiera ikut serta dan yang membawanya justru Jevano sendiri.
Tidak semua bisa menerima kehadiran Mahiera. Yang paling menentang, tentu saja Kiran. Baginya, Mahiera bukan sekadar orang asing, ia adalah ancaman, bagai duri dalam daging.
"Aku tidak setuju kalau Mahiera ikut," tegas Kiran, suaranya tajam.
Jevano menarik napas panjang, berusaha menahan emosi. "Kiran, mengertilah... dia hanya ingin belajar bisnis bersama kita. Jangan mempersulit."
Kiran terbelalak. "Apa?! Jadi kau pikir aku yang mempersulit?!"
"Ayolah, Kiran. Kehadirannya tidak akan mengubah apa-apa. Proyek tetap akan berjalan," balas Jevano.
Mahiera maju satu langkah, berdiri di antara mereka. Dengan suara lembut penuh kepalsuan, ia menambahkan, "Tenang saja, nona Kiran. Aku tidak akan mengganggu pekerjaan kalian. Aku hanya ingin belajar bisnis bersama Jevano."
Kiran mengepalkan tangan. "Kehadiranmu saja sudah cukup mengganggu!"
"Kiran!" bentak Jevano.
"Jevano!" balas Kiran.
Seketika
Bug! Bug!
Tinju Edwin mendarat keras di wajah Jevano. Semua terkejut, udara seakan berhenti. Gavriel menarik Edwin menjauh dari Jevano
"Tenanglah" ucap Gavriel
"Sudah berapa kali aku bilang? Jangan pernah meninggikan suara pada Kiran!" geram Edwin, matanya merah penuh amarah.
Auliandra lekas menarik lengan Edwin. "Cukup, Ed. Tidak ada gunanya bicara dengan orang yang keras kepala."
Lalu ia menatap Jevano dingin. "Mahiera boleh ikut. Tapi pastikan dia tidak mengusik kami."
Tatapan Auliandra dan Jevano bertemu. Bukan tatapan sepasang kekasih, melainkan tatapan dua musuh yang siap saling menjatuhkan atau bahkan membunuh.
Malam hari
Perjalanan tujuh jam menguras tenaga. Mereka tiba di pulau, lalu menuju pondok sederhana yang disiapkan pekerja: hanya tiga kamar, seadanya.
Di ruang tengah, mereka makan malam bersama. Makanan instan yang dikirim Nita beberapa hari yang lalu menjadi santapan pertama.
Mahiera mendorong mangkuk mie instan menjauh. "Aku tidak biasa makan makanan seperti ini. Makanan ini tidak sehat"
Kiran menoleh tajam. "Kalau tidak suka, jangan makan. Tidak ada yang memaksa."
Auliandra menenangkan Kiran dengan sentuhan kecil di tangannya. "Sudahlah, Ki."
Tapi Jevano kembali bersuara, membela Mahiera. "Dia hanya tidak terbiasa, bukan tidak suka. Benar kan, Ira?"
Nama itu... Ira. Mahiera tersenyum kecil, pipinya memerah. "I-iya, Jevan..." ucapnya sambil menarik kembali mangkuknya.
Ira adalah panggilan sayang Jevano untuk Mahiera saat mereka masih berhubungan dulu.
Adegan itu membuat dada Auliandra mendidih. Kekasih yang seharusnya ada di sisinya malah sibuk memberi perhatian pada mantan kekasihnya.
Dengan wajah tegang, Auliandra bangkit. "Aku sudah selesai. Nira, Kiran... nanti setelah makan, langsung ke kamar. Ada hal yang harus kita bahas."
Ia melangkah pergi, menahan gejolak di dadanya. Kiran segera menyusul, meninggalkan makanannya.
Asteria menatap Jevano dengan jijik. "Seharusnya kau tahu membedakan mana pacar dan mana mantan." Ia pun bangkit, keluar dari pondok.
Gavriel mendengus kasar dan ikut mengejarnya. "Kau...!"
Nira hanya menggeleng, lalu meninggalkan meja. "Aku tidak selera."
Edwin mengancam sambil berjalan pergi, "Habiskan makanan ini. Kalau tidak, kalian yang kuhabisi."
Kini hanya tersisa Jevano dan Mahiera. Sunyi.
Air mata Mahiera menetes, jatuh ke meja. "Jevan... hiks."
Dengan refleks, Jevano menyeka pipinya. "Tenang, mereka hanya butuh waktu. Jangan khawatir, aku di sisimu."
Mahiera tersenyum samar, menyembunyikan niatnya. Dalam hatinya, ia tertawa puas.
(Akhirnya, Jevano kembali dalam genggamanku. Valora sudah berhasil kusingkirkan. Auliandra? Dia tidak lebih dari seorang pengganti sementara.)
Di luar pondok
Asteria duduk di pasir, menatap ombak malam. Gavriel duduk di sampingnya tanpa suara.
"Aku tahu kau marah," ucap Gavriel pelan.
Asteria menarik napas panjang. "Siapa yang tidak marah kalau adikku dipermainkan?"
"Aku paham. Dan menurutku, Jevano sudah keterlaluan. Bagaimana bisa ia mengabaikan Auliandra demi Mahiera?" Suara Gavriel serak, penuh kemarahan yang ditahan.
Asteria hanya menggeleng. "Masalah mereka aku tak tahu pasti. Tapi sekalipun Jevano dan Auliandra sedang renggang, dia tidak berhak memperlakukan Auliandra begitu."
Gavriel memilih diam. Menjadi pendengar.
Gavriel menyimak dengan baik setiap ucapan yang keluar dari bibir Asteria. Gavriel paham dengan apa yang di rasakan oleh Asteria, namun Gavriel memilih diam. Menjadi pendengar.
Di kamar
Auliandra duduk membisu, matanya kosong. Kiran, Nira, dan Edwin menatapnya khawatir. Akhirnya, Kiran maju dan duduk di sisinya.
"Jangan sedih. Ada aku," bisiknya.
Air mata Auliandra jatuh. "Apa aku akan selalu jadi pengganti?"
Pertanyaan itu menusuk. Kiran terdiam sejenak, lalu menjawab pelan, "Tidak ada pengganti yang bertahan enam tahun. Kau bukan pengganti, tapi pemilik."
Auliandra tersenyum getir. "Pemilik? Pemilik macam apa yang selalu jadi nomor dua, Kiran?"
Kiran memeluknya erat, mencoba menenangkan. "Aku tahu sakitnya. Aku pernah di posisimu. Percayalah, semua ini tidak akan bertahan lama. Waktu akan mengembalikan segalanya."
Di luar kamar, Mahiera berdiri diam. Ia mendengar semuanya. Tatapannya penuh kebencian dan tekad.
"Jangan harap, Auliandra," bisiknya sinis. "Jevano tidak akan pernah kembali padamu. Dan sekali lagi, akulah pemenangnya."
Pagi itu – Pulau
Udara terasa berbeda. Angin laut memang berhembus lembut, tapi ada hawa lain yang menusuk, seolah pulau ini menyimpan rahasia yang tak ingin dibuka.
Para pekerja sibuk dengan ritme mereka, teratur, hampir seperti pasukan yang terlatih. Tidak ada satu pun yang menoleh ketika rombongan Auliandra tiba di lokasi pembangunan. Seolah kehadiran mereka hanyalah bayangan yang tak perlu diperhatikan.
Gavriel memperhatikan ratusan orang itu dengan alis berkerut. Terlalu rapi. Terlalu sunyi. Bahkan suara pukulan palu pun terdengar serempak, seperti teratur dalam satu komando yang tak kasat mata.
"Mereka cekatan sekali," puji Gavriel, kagum.
Edwin tersenyum puas, seakan ini semua hasil dari kendalinya. "Kau lihat? Mereka bekerja cepat. Sempurna."
Namun Auliandra tidak ikut terkagum. Matanya justru menangkap sesuatu yang lain, tatapan kosong para pekerja. Tatapan yang seperti... tidak berjiwa.
Ada dingin yang menjalari punggungnya, tapi ia memilih diam.
Kiran merasakan hal yang sama. Ia melirik sekilas ke arah Auliandra, seolah hendak bicara, tapi urung.
Lalu suara Mahiera terdengar, lembut tapi penuh sindiran. "Ya ampun, Kiran... kau tampak lemah sekali pagi ini."
Kiran menatapnya dingin, tanpa kata.
Edwin mendesis, suaranya seperti pisau. "Kalau tubuh Kiran lemah, maka kelembutan itu adalah kelembutan berharga. Tidak semua orang punya kulit setebal badak, Mahiera."
Mahiera terdiam, lalu perlahan bersembunyi di balik tubuh Jevano. Seolah sengaja menunjukkan sisi rapuhnya.
Dan benar saja, Jevano merespons cepat, berdiri di depannya, menjadi tameng. "Cukup! Bisakah kalian berhenti mengganggunya?!" Suaranya keras, menusuk udara pagi yang semula tenang. "Tolong... jangan ganggu Mahiera lagi."
Semua orang membeku.
Auliandra menatapnya lama. Tidak marah. Tidak juga terkejut. Justru... kecewa. Tatapannya kosong, namun dinginnya membuat Jevano hampir tak sanggup menatap balik.
Lalu Kiran melangkah maju. Tubuhnya kecil, hanya sebatas dada Jevano, tapi tatapannya... tajam, menekan, membuat udara di antara mereka berat.
Suara Kiran lirih, namun dingin menusuk. "Sepertinya kau lupa siapa aku, Jevano. Perlu aku mengingatkanmu?"
Jevano terdiam. Ada sesuatu dalam tatapan Kiran yang membuatnya sesak, bukan karena amarah, tapi karena ancaman yang tak terucapkan.
🦋To be continued...