Yurika Hana Amèra (Yuri), mahasiswi akhir semester dua yang mencari tempat tinggal aman, tergiur tawaran kosan "murah dan bagus". Ia terkejut, lokasi itu bukan kosan biasa, melainkan rumah mewah di tengah sawah.
Tanpa disadari Yuri, rumah itu milik keluarga Kenan Bara Adhikara, dosen muda tampan yang berkarisma dan diidolakan seantero kampus. Kenan sendiri tidak tahu bahwa mahasiswinya kini ngekos di paviliun belakang rumahnya.
Seiring berjalannya waktu, Yuri mulai melihat sisi asli sang dosen. Pria yang dielu-elukan kampus itu ternyata jauh dari kata bersih—ia sangat mesum. Apalagi ketika Kenan mulai berani bermain api, meski sudah memiliki pacar: Lalitha.
Di tengah kekacauan itu, hadir Ezra—mahasiswa semester empat yang diam-diam menaruh hati pada Yuri sejak awal. Perlahan, Ezra menjadi sosok yang hadir dengan cara berbeda, pelan-pelan mengisi celah yang sempat Yuri rindukan.
Antara dunia kampus, cinta, dan rahasia. Yuri belajar bahwa tidak semua yang berkilau itu sempurna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SweetMoon2025, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
31. Jeda yang Tercuri
Kenan melangkah masuk ke kamar rawat. Yuri terbaring di ranjang, selang infus sudah terpasang di punggung tangannya. Wajahnya yang pucat seolah sedang tidur dengan amat tenang. Kenan menarik kursi yang berada di sudut dan duduk di sebelah ranjang Yuri. Dia amati wajah itu dengan seksama, mencoba membaca setiap lekuknya.
Tangannya terulur, menyentuh pipi Yuri. Dingin, sentuhan yang kontras dengan kehangatan Kenan.
"Kamu akan baik-baik saja... selama kamu ada di dekat saya," bisik Kenan, kata-kata itu lebih seperti janji yang ia ucapkan pada dirinya sendiri.
Tangan hangat Kenan terus mengelus pipi Yuri, perlahan turun ke tangannya. Jari-jari lentik tanpa kuku palsu itu terasa begitu menarik, membuat Kenan ingin menyentuhnya lebih lama.
Drrrttt. Drrrttt. Drrrttt
Bunyi getaran yang terus-menerus terdengar di ruangan itu mulai mengusik Kenan. Ia mencari sumber suara, sampai pandangannya jatuh pada tas dan jaket Yuri yang terletak di sofa dekat jendela. Kenan mengambil tas dan jaket itu, mencari benda yang pasti adalah ponsel Yuri. Ketemu.
"Panggilan dari Ezra," batin Kenan, senyum tipis tersungging di bibirnya. Ia menggunakan sidik jari Yuri untuk membuka kunci layar. Setelah layar terbuka, ia menggeser tombol penerima panggilan. Ia dekatkan ponsel ke telinga Yuri, hanya tiga detik—memastikan Ezra mendengar bunyi napas Yuri yang lemah—sebelum Kenan mematikannya secara sepihak.
Cepat-cepat, Kenan membuat pesan singkat, sebuah pesan yang ia rancang dengan hati-hati untuk menimbulkan kecurigaan, dan mengirimkannya. Setelahnya, ia menghapus semua jejak pesannya, menghapus log panggilan, dan menonaktifkan ponsel Yuri.
"Selesai," monolognya dengan senyum yang dingin. Ia mengembalikan ponsel itu ke dalam saku jaket, seolah nggak pernah menyentuhnya.
***
Setelah mendapatkan pesan singkat yang dirasa sangat janggal—nggak seperti cara Yuri biasa mengetik—Ezra segera melajukan mobilnya menuju rumah kos Yuri.
Sesampainya di sana, suasana rumah sepi. Ia menekan bel berkali-kali, tapi nihil. Ezra juga terus mencoba menelepon Yuri, namun ponselnya sudah nggak aktif.
"Arrrgh!" teriak Ezra, napasnya tertahan oleh frustrasi.
Ia kembali masuk ke dalam mobil. Ia menunggu. Satu jam, lalu dua jam, tapi nggak ada tanda-tanda kehadiran Yuri. Kekhawatirannya mulai menjalar di hatinya, menggantikan amarah sesaatnya.
Ezra kembali melajukan mobilnya, memilih pulang ke rumah. Dia butuh tempat yang tenang untuk berpikir jernih. Sebelum ini, dia sudah menghubungi Bimbo untuk meminta nomor ponsel Widya, tapi Widya—salah satu sahabat Yuri, sendiri juga nggak tahu apa-apa karena dia sedang dalam perjalanan pulang kampung.
"Kamu sekarang di mana, sayang? Kenapa kamu seneng banget buat aku khawatir?," bisik Ezra, matanya lurus menatap jalanan, namun pikirannya masih tertinggal di ketikan pesan singkat dari Yuri.
***
Pagi harinya Yuri merasakan tubuhnya seolah tertidur sangat lama. Kepalanya berdenyut, dan ada nyeri serta ngilu di beberapa bagian tubuhnya, terutama di area perut.
"Ngggh," rintihan pelan keluar dari bibir Yuri yang terasa kering. Helaan napasnya terdengar berat dan sulit, sampai menarik perhatian Kenan.
Kenan baru kembali ke kamar ini menjelang tengah malam, membawa beberapa pakaian ganti. Ia tidur di sofa yang sempit, dan meski baru terpejam kurang dari dua jam setelah semalaman terjaga menjaga Yuri sekalian dia mengerjakan jurnal, Kenan langsung terbangun.
Ia bergegas bangun dari sofa dan menghampiri ranjang Yuri.
"Ngggh," rintihan itu terdengar lagi. Mata Yuri masih tertutup rapat, keningnya mengernyit menahan sakit.
"Yuri... Yurika..." panggil Kenan pelan. Ia menggoyang lembut lengan Yuri agar perempuan itu segera membuka mata. Cairan infus sudah habis dan sejam yang lalu baru dilepas oleh dokter Mira.
"P-pak..." lirih Yuri dengan suara serak. Dia menangkap suara dosennya tepat di sebelahnya, dan perlahan kelopak matanya terbuka.
Ruangan dan aroma asing langsung menyerbu inderanya. Aroma antiseptik tipis dan terasa kain linen bersih. Di mana ini?
Kenan dengan sigap menyodorkan sedotan ke mulut Yuri, ujung sedotan itu sudah berada di dalam botol air mineral.
"Minum dulu, pelan-pelan," perintahnya.
Yuri perlahan meminum air itu, matanya nggak berhenti memindai sekeliling. Dia jelas berada di tempat asing, seperti kamar tapi mirip klinik pribadi, bukan rumah sakit umum.
Tiba-tiba, suara pintu terbuka Mira melangkah masuk dengan setelan santai. Ini hari Minggu, jadwalnya libur untuk membuka klinik pribadi di seberang jalan.
"Sudah bangun?" sapa Mira.
"Coba kamu cek kondisinya sekarang," pinta Kenan yang diangguki Mira.
Setelah diperiksa secara menyeluruh, Kenan masih stand by di sebelah ranjang, memperhatikan dengan serius. Yuri sendiri hanya diam, kebingungan dan kelelahan membuatnya enggan bertanya.
"Sudah lebih baik. Yuri, apa kamu merasa pusing atau mual sekarang?" tanya Mira, memecah kesunyian dan mengembalikan fokus Yuri.
"Masih ada pusing sedikit, Dok. Mual enggak. Badan rasanya pegal semua," jawab Yuri pelan.
"Oke, nanti kamu saya kasih obat pereda nyeri. Kamu bisa minum kalau sakitnya sudah nggak tertahankan, ya. Ada vitamin dan salep untuk memar juga." Mira beralih menatap Kenan. "Ken, sarapan buat dia sudah ada."
Mira keluar dari kamar, diikuti Kenan di belakangnya.
Yuri menggunakan kesempatan ini untuk melihat sekeliling dan menatap langit-langit kamar. Nuansa serba putih, bersih, dan sangat sunyi. Seutas tali alarm terpasang di samping kepala ranjang.
Aku di mana?
Yuri mulai mengingat-ingat kejadian kemarin. Ya, saat dia pergi ke gedung sebelah... berakhir tersiram air kotor, pipi ditampar pedih, rambut dijambak kencang, dan perut ditendang dengan keras. Ia ingat samar-samar mendengar langkah kaki yang tenang sebelum kesadarannya menghilang.
"Hgggt."
Mengingat semua itu, kepala Yuri mulai pusing. Ulu hatinya terasa sakit luar biasa, seperti ada tekanan kuat di sana. Kenapa gue? Sial.
Yuri mencoba mengatur napasnya yang sedikit sesak. Pejaman matanya mengerat, berharap rasa sakit ini mereda. Ia menggenggam selimut putih itu, berusaha mengendalikan dirinya biar nggak menangis di tempat asing ini.
***
Semalam Ezra sampai di rumahnya saat jarum jam menunjuk angka sebelas malam, namun kantuk enggan mendekat. Setelah mandi dan berganti pakaian, ia kembali ke ruang tengah, mengambil ponselnya.
Pesan singkat itu ia baca berulang kali, setiap kata seolah mengukir kecurigaan. Terlalu singkat, terlalu formal, tanpa emoji atau tanda baca khas Yuri. Ini bukan gaya pacarnya. Setelah pesan itu, ponsel Yuri mati, nggak bisa di hubungi sama sekali.
"Sial," umpatnya sambil membanting ponsel ke sofa.
Ezra bersandar ke belakang, memijat pelipisnya. Ia mencoba menenangkan diri, memaksa otaknya berpikir logis. Apakah ini ulah Tania lagi? Hanya nama itu yang terpikir di kepalanya saat ini.
Btw, aku mampir nih kak. Seru ceritanya. Semangat 😊💕💕