Hidup Anaya tidak pernah beruntung, sejak kecil ia selalu di jauhi teman-temannya, dirundung, di abaikan keluarganya. kekacauan hidup itu malah disempurnakan saat dia di jual kepada seorang CEO dingin dan dinyatakan hamil setelah melakukan malam panas bersama sang CEO.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pena cantik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
menemui
Farah sedang menyisir rambut Anaya, ketika tiba-tiba perasaannya tidak enak. Gelombang perasaan itu datang begitu saja. Aneh...
Farah memegang dadanya, rasanya tidak nyaman. Ia menatap arah luar jendela, Melihat lampu itu lagi.
Hatinya berdebar, "Siapa sebenarnya yang sudah membetulkan lampu itu?" gumamnya dalam hati.
Anaya mendongak menatapnya ketika pikiran Farah sedang melayang jauh.
"Ma, apa apa? kenapa bengong gitu?" tanya Anaya heran.
Farah Tersenyum Padanya, lalu mengusap lembut kepala putrinya. "Ngak apa-apa, sayang."
"Jangan banyak bengong, ma. Nanti keculupan, lho."
Farah tertawa kecil, sejenak ia melupakan perasaannya yang tadinya terasa gelisah.
Farah tidak tahu... Seseorang yang ingin ia hindari sedang dalam perjalanan menuju ke tempatnya.
~
Siang itu matahari bersinar terik. Farah baru saja selesai menjemur pakaian.
Suara cempreng Anaya terdengar nyaring ketika dia berlari kecil keluar rumah. "Ma....ada mobil hitam gede di depan toko loti." Serunya.
Farah mengerutkan keningnya. Mobil siapa? Di desa ini jarang sekali ada mobil lewat, apalagi berhenti di depan toko roti. Dan, hari ini juga toko roti nya tutup.
Angkasa menyusul adiknya, wajahnya begitu penasaran dengan siapa pemilik mobil mewah yang terparkir di depan rumah mereka.
"Ma... kayanya orang kota deh." ucapnya sambil melihat ke arah depan toko.
Farah mengusap kedua kepala anak-anaknya. "Masuk dulu, jangan keluar, ya. Biar mama, lihat."
Anaya mengembangkan pipinya, "Tapi...penasalan."
Farah tersenyum, "Nanti kalau mama sudah pastikan siapa orangnya.ama pasti kasih tau Aya," ujar Farah memberi pengertian kepada putrinya.
Angkasa menarik tangan adiknya, seolah ia memahami situasi Farah. "Kita lihat Dali atas caja," ajak angkasa, membuat Anaya nurut.
Farah melangkah pelan menuju pagar kayu. Jantungnya berdebar aneh—seperti tubuhnya enggan menghampiri orang itu, seolah tubuhnya mengingatkan sesuatu sebelum dia tahu apa yang akan terjadi.
Saat ia membuka pintu pagar, terlihat seorang pria bertubuh tinggi, tegap, berpakaian hitam dari hujung kepala sampai kaki. Ia berdiri membelakanginya.
"Cari siapa, ya" Tanya Farah.
Sedetik kemudian pria itu membalikkan badannya menghadap ke arahnya.
Farah membeku.
Jackson...
Dunia seakan berhenti bergerak.
Reflek kaki Farah mundur ke belakang. Nafasnya tercekat, lututnya mendadak lemas. Farah memegang pagar agar tidak jatuh.
Jackson berdiri beberapa meter darinya. Untuk pertama kalinya, setelah bertahun-tahun mata mereka bertemu. Jackson dapat melihat luka yang begitu besar dari sorot matanya.
sementara Farah, dia ketakutan. Tatapan itu—tajam, gelap, dalam, penuh sesuatu yang Farah tidak sanggup gambarkan.
Farah membuka mulut, tapi suaranya seolah enggan keluar.
Jackson melangkah pelan, sangat pelan seolah takut membuat Farah terluka atau takut jika dia terlalu cepat.
Ia berhenti didepan pagar yang memisahkan mereka.
"Farah," suaranya berat, rendah, tenggelam dalam rasa yang tak pernah bisa ia sembunyikan.
Farah memalingkan wajah, menelan slivarnya dengan susah payah.
"B—bagaimana kau....bisa ada disini?" suaranya bergetar.
"Aku tidak bisa menunggu lagi," potong Jackson. "Farah, aku Tahu, kata maaf tidak akan bisa menghapuskan rasa sakit yang telah ku torehkan kepadamu. Tapi Farah...aku mohon padamu, tolong beri aku kesempatan untuk menebus semua kesalahanku, izinkan aku membahagiakan kamu dan anak-anak." ucap Jackson langsung, tanpa basa-basi.
Farah meremas pagar kayu dengan tangan yang gemetar tak terkendali. "Kau... tidak boleh ada di sini," suaranya nyaris pecah.
Tapi Jackson menggenggam tangannya dari seberang pagar yang kini tak lebih dari sekat rapuh. "Aku sudah tahu semuanya, Fa. Aku tahu Dimas bukan suamimu, tapi sepupumu. Dan aku... aku tahu anak-anak itu adalah darah dagingku. Aku, ayah mereka."
Detik-detik itu terasa seperti beku di ruang hampa. Farah menegang, jemarinya semakin kuat meremas ujung bajunya sendiri, seolah mencari pegangan di tengah badai.
"Tidak! Mereka anak-anakku, bukan anak-anakmu!" Suaranya meninggi, nyaris memecah keheningan. "Tolong... jangan ganggu hidupku dan anak-anak. Apa kau belum puas menghancurkan semuanya?"
Air matanya jatuh, membasahi pipi, membiarkan rasa sakitnya mengalir bebas. Lalu, dia melihat Jackson berlutut di depannya, suara pria itu bergetar, penuh penyesalan.
"Farah... aku mohon, aku tahu aku salah. Aku minta maaf, Fa. Aku benar-benar menyesal."
Dalam hatinya, Farah bertanya-tanya, apa benar penyesalan itu bisa menambal luka yang sudah sedalam ini? Apakah cukup hanya kata maaf untuk menghapus kepedihan dan Penghinaan yang ia rasakan?
Namun, untuk saat ini, semua yang bisa dia lakukan hanyalah menahan airmata dan berharap ada jalan keluar dari semua kehancuran ini.
Farah menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Bukan karena iba, namun karena luka lama yang terbuka kembali.
"Kau fikir semudah itu, Jack?"
Jackson menatapnya dalam-dalam, mata dinginnya berubah lembut.
Farah memukul pelan dadanya, "Disini...ada luka yang tidak pernah bisa sembuh. Ibaratnya kaca, jika sudah retak tidak bisa kembali utuh seperti semula. maka, begitu pula dengan hatiku, semuanya sudah hancur berkeping-keping sejak saat itu."
Namun, suara Anaya terdengar dari dalam. "Mama...ada ciapa itu?"
Farah mengusap airmatanya supaya anak-anak tidak melihat dia menangis.
Tubuh Jackson menegang, suara kecil itu membuat dadanya berdebar. Ingin sekali ia menggendongnya, memeluknya.
Farah langsung menoleh ke arah rumah. "Masuk! Jangan keluar!" ucap Farah tegas.
Anak-anak itu berhenti, tapi rasa ingin tahu mereka besar. Angkasa muncul sedikit dari balik pintu. Matanya langsung bertemu dengan manik mata milik Jackson.
Untuk pertama kalinya Jackson putranya dengan jelas. Ia seolah melihat miniatur dirinya sendiri.
Sorot mata yang sama, rahang yang sama, bahkan cara berdirinya sama. Jackson terpaku.
Farah Panik, cepat-cepat farah membawa anak-anak masuk ke dalam rumah lalu mengunci pintu.
Jackson memegang kuat pagar kayu itu, "Farah...aku tidak akan pergi sebelum kamu mau memaafkan aku. Aku bakal nungguin disini sampai kamu siap bertemu denganku!" teriak Jackson.
singgah balik di halamanku 😍 baca novel pertamaku yg berjudul "AKU DAN ADIK TIRIKU"😍
terima kasih sebelumnya