Ayu Lestari namanya, dia cantik, menarik dan pandai tapi sayang semua asa dan impiannya harus kandas di tengah jalan. Dia dipilih dan dijadikan istri kedua untuk melahirkan penerus untuk sang pria. Ayu kalah karena memang tak memiliki pilihan, keadaan keluarga Ayu yang serba kekurangan dipakai senjata untuk menekannya. Sang penerus pun lahir dan keberadaan Ayu pun tak diperlukan lagi. Ayu memilih menyingkir dan pergi sejauh mungkin tapi jejaknya yang coba Ayu hapus ternyata masih meninggalkan bekas di sana yang menuntutnya untuk pulang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rens16, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31 : Dapat rejeki nomplok
Ardi menstandarkan motor butut peninggalan kakaknya dan berlari masuk ke dalam rumahnya.
"Bu, Ibu!" Ardi mencari ibunya di ruang tamu, ruang tengah dan berakhir ke dapur.
Di sana Ratih berdiri di depan kompor dan menggoreng sesuatu.
"Ibu!" Ardi memeluk ibunya dari belakang.
"Seneng banget kayaknya, Dek! Ada apa?" tanya Ratih sambil menepuk-nepuk tangan Ardi yang melingkar di perutnya.
Ardi melepas pelukannya lalu mencari sesuatu dalam tasnya.
"Tara!" Ardi mengeluarkan amplop putih dan menyerahkan kepada Ratih.
"Ini apa?" Ratih membolak-balikan amplop itu dan bingung.
Ardi menuntun ibunya untuk duduk di kursi lalu menggenggam tangan itu dengan sayang.
"Inget yang Ardi pernah ceritain waktu itu nggak, Bu?" tanya Ardi antusias.
"Yang mana sih, Di? Ibu lupa!"
"Yang ada perusahaan dari kota yang lagi salurin bantuan buat anak yang berprestasi!" jawab Ardi.
"Oh kalau nggak salah PT. Artha itu ya?"
"Ya, ya, yang itu, Bu!" jawab Ardi semakin bersemangat untuk bercerita.
"Terus gimana?"
"Ardi terpilih jadi salah satu siswa yang terpilih menerima beasiswa itu! Jadi nanti Ardi bakalan nerima bantuan sebesar dua juta rupiah per bulan, Bu! Dan kalau nanti sampai Ardi lulus nilai Ardi nggak mengalami penurunan, Ardi bakalan dikuliahin S1 bahkan sampai S2 sama mereka!" jawab Ardi sumringah.
"Ya Allah, alhamdulillah ya, Nak!" teriak Ratih dengan haru.
"Ini Ibu pegang aja uangnya, Ardi ambil tiga ratus ribu buat jajan sama beli bensin!"
"Kamu nggak kurang, Nak?" tanya Ratih tak ingin mengotak-atik uang yang menjadi haknya Ardi.
"Nggak, Ardi udah lebih dari cukup, Bu!" jawab Ardi mantap.
"Ya sudah Ibu simpan untuk keperluan kamu nanti!" ucap Ratih sambil menggenggam amplop itu dengan erat, uang setara dengan gaji sebulan suaminya itu sangat berarti buat mereka yang hidupnya serba kekurangan.
"Andai Mbak Ayu disini pasti dia bakalan bangga ama aku!" gumam Ardi yang sempat didengar oleh Ratih juga.
Ratih memejam, rasanya dadanya ingin meledak setiap mengingat anak pertamanya yang entah sekarang berada di mana.
Andai Ratih bisa memutar waktu, Ratih pasti akan menolak keinginan dari keluarga Yasa yang meminang Ayu untuk dijadikan istri kedua buat Surya.
Rasanya Ratih tak rela apalagi cucu pertamanya juga tak pernah boleh dia peluk setelah berada di rumah besar itu, padahal ada darah Ayu yang mengalir dalam tubuh Arkana.
***
"Permisi, assalamualaikum!" Suara seseorang yang memanggil penghuni rumah itu terdengar memanggil dari depan pintu.
Ceklek! Ardi membuka pintu tersebut dan melihat seorang pria dengan berpakaian rapi berdiri di depannya.
"Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Ardi sopan.
"Apakah benar ini rumahnya Pak Sena?" tanya orang itu sopan.
"I iya, benar, Pak!" jawab Ardi gugup.
"Bapaknya ada, Mas?" tanya orang itu.
"Bapak siapa?" tanya Ardi curiga.
"Saya Toni dari PT Artha Citra, Mas!" jawab Toni lagi.
"Pak Toni, Pak Toni Artha Citra! Pak Toni yang lagi bangun pabrik teh itu ya?" tanya Ardi kaget.
"Bukan saya yang punya pabrik itu, Mas! Saya hanya dipercaya oleh bos saya! Bapaknya ada nggak, Mas?"
"Ada, Pak, ada, mari silakan masuk!" Ardi mempersilakan Toni masuk lalu Ardi mencari bapaknya yang sedang membersihkan kandang ayam di belakang rumahnya.
"Pak, ada yang nyariin!" panggil Ardi membuat Sena dan Ratih menoleh.
"Siapa, Di?" tanya Pak Sena sambil mencuci tangannya yang kotor.
"Pak Toni dari Artha Citra, Pak!" jawab Ardi membuat Sena tergopoh-gopoh ke depan.
"Selamat siang, Pak Sena!" Toni berdiri dan menyapa Sena dengan sopan.
"Selamat siang, Pak Toni, silakan duduk, Pak!" Sena mempersilakan Toni untuk duduk kembali.
Tak lama Ratih menghidangkan teh dan pisang rebus untuk tamunya.
"Nggak usah repot-repot, Bu!" tegur Toni sopan.
"Cuman air, Pak, monggo silahkan diminum, Pak!"
Toni menyesap minuman sedikit lalu kembali fokus kepada Sena.
"Pak Sena, maksud kedatangan saya kemari, saya bermaksud merekrut Bapak untuk bekerja di kebun teh saya." Toni mulai menyampaikan maksud kedatangannya ke rumah Sena.
"Saya penanggung jawab PT. Artha Citra, Pak Sena. Saya sedang merekrut karyawan untuk perusahaan itu, saya ingin mengajak Bapak untuk bergabung!" lanjut Toni saat melihat Sena menatapnya tak percaya.
"Saya tahu Bapak jujur, pekerja keras dan rajin, makanya saya tertarik dengan Bapak!" Toni tersenyum sopan.
"Mimpi apa saya, Pak? Petinggi perusahaan seperti Bapak datang mencari saya dan mengajak saya bergabung di perusahaan Bapak!" Sena mengusap dadanya yang berdebar tak biasa karena rejeki yang tak terduga itu.
"Bapak lagi nggak bermimpi." Toni tersenyum sopan.
"Saya mendapatkan nama Bapak dari teman-teman Bapak yang mengatakan Bapak itu pekerja yang tangguh!" ucap Toni lagi.
"Lalu saya di PT. Artha Citra pekerjaannya apa, Pak?" tanya Sena.
"Kalau di Yasa Utama pekerjaan Bapak sebagai apa?" tanya Toni pura-pura tak mengetahui pekerjaan Sena di sana.
"Saya mandor tapi sering juga bantu memetik tehnya kalau kami kekurangan orang," jawab Sena.
"Di Artha Citra nanti Bapak akan saya taruh sebagai kepala mandor, apakah Bapak bersedia?" tanya Toni.
"Kepala mandor? Bapak nggak salah kasih saya posisi setinggi itu?" tanya Sena bingung.
"Saya seribu persen yakin, Pak!" Toni mengangguk mantap.
"Baik, Pak Toni, saya terima tawaran Bapak!" Sena menyetujui ajakan tersebut.
"Lalu untuk gajinya gimana, Pak Sena?" tanya Toni.
"Bapak lihat pekerjaan saya dulu, baru kita bicara gaji," jawab Sena.
Toni tersenyum saat mendengar jawaban Sena yang sederhana itu, rasanya memang pilihan Albert yang memintanya untuk merekrut Sena tak salah karena Toni melihat kerendahan hati pria di depannya tersebut.
"Kalau saya kasih gaji segini dulu gimana, Pak?" tanya Pak Toni sambil menyodorkan secarik kertas dengan deretan angka yang merupakan gaji yang akan diterima oleh Sena nanti.
"MasyaAllah, ini gede banget, Pak!" teriak Sena kaget.
"Saya rasa gaji segini belum begitu besar mengingat pengalaman kerja Bapak yang mumpuni di bidang ini!" Toni tersenyum lagi melihat Sena yang masih shock dengan angka di tangannya.
"Gimana, Pak?" tanya Toni seperti mendesak agar Sena menerima tawarannya.
"Baik, saya terima tawaran Bapak, lalu saya mulai masuk kerja kapan, Pak? Saya harus mengurus pengunduran diri saya di Yasa Utama dulu!"
"Kira-kira kalau satu minggu cukup nggak, Pak?" tanya Toni.
"Cukup, cukup, Pak!" jawab Sena.
"Baik, saya tunggu minggu depan di kantor ya, Pak! Terima kasih karena udah mau membantu usaha kami." Toni mengucapkan terima kasih dengan tulus.
"Saya yang seharusnya mengucapkan terima kasih kepada Bapak dan management PT, Artha Citra karena telah memberi kesempatan sebesar ini."
Mereka berjabat tangan lalu Toni meninggalkan rumah itu dan menyisakan Sena yang masih terbengong tak percaya.
"Kenapa, Pak?" tanya Ratih penasaran.
"Kita ini udah jahat sama anak sendiri kan, Bu? Tapi kenapa sejak Ayu pergi kita malah dapet rejeki yang nggak terputus seperti ini?" Sena meneteskan airmatanya sambil memeluk kertas yang berisi nominal gajinya tersebut.
Ardi mengambil alih kertas itu dan membaca isinya. "Bapak digaji delapan juta?!" tanya Ardi membuat Ratih ikut tersentak mendengarnya.
"Terima kasih ya, Allah!"
Mereka saling berangkulan lalu mereka teringat dengan Ayu yang sekarang entah berada di mana.