Setelah kecelakaan misterius, Jung Ha Young terbangun dalam tubuh orang lain Lee Ji Soo, seorang wanita yang dikenal dingin dan penuh rahasia. Identitasnya yang tertukar bukan hanya teka-teki medis, tapi juga awal dari pengungkapan masa lalu kelam yang melibatkan keluarga, pengkhianatan, dan jejak kriminal yang tak terduga.
Di sisi lain, Detektif Han Jae Wan menyelidiki kasus pembakaran kios ikan milik Ibu Shin. Tersangka utama, Nam Gi Taek, menyebut Ji Soo sebagai dalang pembakaran, bahkan mengisyaratkan keterlibatannya dalam kecelakaan Ha Young. Ketika Ji Soo dikabarkan sadar dari koma, penyelidikan memasuki babak baru antara kebenaran dan manipulasi, antara korban dan pelaku.
Ha Young, yang hidup sebagai Ji Soo, harus menghadapi dunia yang tak mengenal dirinya, ibu yang terasa asing, dan teman-teman yang tak bisa ia dekati. Di tengah tubuh yang bukan miliknya, ia mencari makna, kebenaran, dan jalan pulang menuju dirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ulfa Nadia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
제31장
FLASHBACK....
Ruangan itu sunyi, hanya suara ketukan jari CEO Jung di atas meja kayu yang terdengar berulang, seperti irama dari pikiran yang sedang menyusun strategi. Ia duduk tegak, matanya menatap lurus ke arah jendela yang memantulkan bayangan kota Seoul. Tanpa banyak kata, ia memanggil Sekretaris Lee dan memberi perintah yang tajam: cari tahu semua tentang Detektif Han Jae Wan. Bukan sekadar latar belakang, tapi kelemahan. Titik rapuh yang bisa digunakan untuk menundukkan pria itu jika diperlukan.
CEO Jung tahu betul bahwa Jae Wan bukan polisi biasa. Pria itu terlalu berani, terlalu bersih, dan terlalu dekat dengan kebenaran yang seharusnya tetap terkubur. Ia mulai merasa terganggu. Dan seperti biasa, gangguan harus disingkirkan. CEO Jung tidak pernah ragu untuk menghancurkan siapa pun yang mencoba mengusik jalannya, bahkan jika itu seorang penegak hukum. Ia sudah melakukannya sebelumnya, dan kali ini pun ia siap melakukannya lagi.
Bayangan Jae Wan mulai mengganggu ketenangan yang selama ini ia jaga. CEO Jung tahu, jika Jae Wan terus bergerak, maka cepat atau lambat ia akan menemukan sesuatu yang tidak seharusnya diketahui. Maka sebelum itu terjadi, ia harus memastikan bahwa Jae Wan tidak punya ruang untuk bergerak. Dan untuk itu, ia butuh celah celah yang hanya bisa ditemukan.
Dalam pikirannya, CEO Jung sudah menyusun skenario. Jika kelemahan Jae Wan ditemukan, maka ia bisa dikendalikan. Jika tidak, maka ia harus dihancurkan. Ia tidak peduli siapa yang harus dikorbankan. Ia hanya peduli pada satu hal: kekuasaan yang tak tergoyahkan. Dan jika Jae Wan berani menantangnya, maka pria itu akan menjadi korban berikutnya tanpa ampun, tanpa jejak.
Beberapa hari setelah perintah itu diberikan, laporan dari Sekretaris Lee akhirnya tiba di meja CEO Jung. Latar belakang Detektif Han Jae Wan terungkap dengan jelas: seorang polisi yang dikenal bersih, keras kepala, dan tak mudah diintimidasi. Namun di balik ketegasannya, tersimpan masa lalu yang sunyi. Ia yatim piatu kedua orang tuanya telah lama meninggal, ibunya meninggal lebih dulu karena sakit dan ayahnya meninggal jatuh dari gunung saat olahraga naik gunung bersama dengannya. Sejak itu, Jae Wan dibesarkan oleh paman dan bibinya, dan dari garis keluarga itulah muncul satu nama yang menarik perhatian CEO Jung: Kang Ilsan.
Kang Ilsan adalah anak dari bibi Jae Wan, menjadikannya saudara sepupu yang sangat dekat. Mereka tumbuh bersama, masuk akademi kepolisian di tahun yang sama, dan meski akhirnya bertugas di wilayah berbeda, hubungan mereka tetap erat. Namun yang membuat CEO Jung mengernyit adalah keputusan Ilsan untuk keluar dari kepolisian secara tiba-tiba. Ia memilih jalur akademik, menjadi profesor di sekolah musik ternama kontras dengan latar belakangnya sebagai penegak hukum. Sekretaris Lee menduga keputusan itu karena ingin mengikuti jejak ayahnya, yang juga seorang profesor, tapi tak ada alasan resmi yang tercatat.
CEO Jung menyimak laporan itu dengan ekspresi datar, lalu berkomentar pelan, “Itu terlalu mendadak. Aku tidak suka yang samar-samar. Tentu saja itu aneh alasan kenapa dia meninggalkan kepolisian.” Sekretaris Lee menawarkan diri untuk menyelidiki lebih lanjut, namun CEO Jung mengangkat tangannya, menolak. “Tidak. Biar aku yang cari tahu sendiri. Aku akan tanya langsung ke pria itu,” ujarnya sambil tersenyum tipis, senyum yang tak pernah benar-benar berarti ramah.
Sekretaris Lee sempat bingung dengan pernyataan tuannya, tapi tak berani bertanya lebih jauh. Beberapa saat kemudian, CEO Jung menjelaskan niatnya dengan nada tenang namun penuh maksud. Ia ingin Sekretaris Lee mengatur pertemuan dengan Kang Ilsan. Bukan sekadar untuk mengenal lebih dekat, tapi untuk mengukur apakah pria itu bisa dimanfaatkan atau harus diwaspadai. CEO Jung tahu, dalam permainan kekuasaan, darah bisa menjadi senjata... atau jebakan.
Ruang pertemuan di lantai tertinggi Geumseong Grup tampak sunyi dan steril, seolah setiap sudutnya dirancang untuk mengintimidasi. Dinding kaca menyuguhkan pemandangan kota Seoul yang sibuk, tapi di dalam ruangan itu, waktu seakan melambat. Kang Ilsan melangkah masuk dengan tenang, mengenakan setelan gelap yang rapi, wajahnya tenang namun penuh waspada. Di ujung ruangan, CEO Jung berdiri membelakangi pintu, menatap keluar jendela dengan tangan di balik punggung.
Ilsan berhenti beberapa langkah dari meja, menunggu tanpa suara. CEO Jung akhirnya berbalik, senyumnya tipis dan penuh perhitungan. “Profesor Kang,” ucapnya, seolah menyambut seorang tamu kehormatan. Ilsan membalas dengan anggukan sopan, menyembunyikan ketegangan yang mengendap di dadanya. Ia tahu, pria di hadapannya bukan sekadar pemilik agensi hiburan ia adalah sosok yang bisa menghancurkan hidup seseorang hanya dengan satu perintah.
Mereka duduk. CEO Jung membuka percakapan dengan basa-basi tentang reputasi Ilsan di dunia akademik, lalu perlahan mengarah pada masa lalunya sebagai polisi. “Langkah yang menarik,” katanya, “meninggalkan kepolisian untuk mengajar musik.” Nada suaranya ringan, tapi sorot matanya tajam, mengamati setiap reaksi. Ilsan hanya tersenyum kecil. “Saya percaya, setiap orang punya panggilan masing-masing.” Jawaban itu netral, cukup untuk menutup celah, tapi tidak cukup untuk memuaskan rasa ingin tahu CEO Jung.
Kang Ilsan duduk tegak di kursi tamu, matanya menatap CEO Jung dengan tenang. Ia masih belum sepenuhnya memahami alasan di balik undangan mendadak dari pemilik Geumseong Grup. Rasa penasaran itu ia tahan, menunggu penjelasan langsung dari pria yang kini duduk di hadapannya. CEO Jung menyambutnya dengan tawa ringan, lalu segera memperbaiki posisi duduknya, menatap Ilsan dengan sorot yang tajam. Tanpa basa-basi, ia menawarkan sesuatu yang tak terduga posisi sebagai pemimpin Songhwa Entertainment. “Kamu profesor di bidang seni,” katanya, “tentu kamu punya banyak keahlian dalam menilai industri label agensi.”
Ilsan terdiam sejenak, lalu tersenyum. Senyumnya melebar perlahan, bukan karena terkejut, tapi karena ia tahu tawaran sebesar itu tak pernah datang tanpa motif tersembunyi. Ia menatap CEO Jung dengan sikap tenang, lalu berkata, “Anda kasih posisi ini ke saya pasti karena ada maksudnya, kan? Walaupun saya belum tahu apa, saya gak bodoh.” CEO Jung mengangguk, tampak puas dengan respons itu. Sebelum mengungkap niatnya, ia melempar satu pertanyaan yang tampak sederhana namun penuh makna: kenapa Ilsan keluar dari kepolisian?
Jawaban Ilsan datang cepat, tanpa ragu. Ia menyebut satu alasan: Han Jae Wan. Sepupunya. CEO Jung tertawa girang, tak menyangka jawaban sejujur itu keluar begitu saja. “Bukankah kalian sangat dekat?” tanyanya. Ilsan membalas dengan nada datar, mengatakan bahwa kedekatan itu hanya ilusi publik. Ia masuk akademi polisi bukan karena panggilan, tapi karena ingin mengalahkan Jae Wan. Namun lama-lama, ambisi itu terasa membosankan. Ia memilih menjauh, mencari jalur lain. Ketika CEO Jung bertanya seberapa besar kebenciannya, Ilsan hanya menjawab bahwa ia ingin Jae Wan hancur tanpa perlu menjelaskan lebih jauh.
CEO Jung berdiri, melangkah ke meja kerjanya, lalu menatap Ilsan dari balik kursi. “Kalau kamu dan aku punya tujuan yang sama, kenapa kita gak kerja sama saja?” katanya. Ilsan menatap balik, matanya menyala penuh semangat. Ia tahu arah pembicaraan ini, dan ia tak berniat menolak. “Kalau anda bersedia, saya gak akan melewatkan kesempatan ini,” ucapnya. CEO Jung tersenyum, lalu mengungkap langkah pertama: Kang Ilsan akan menjadi pemimpin Songhwa Entertainment. Dan permainan pun dimulai.
**
Ji Soo menyelinap masuk ke rumah yang dulu pernah ia sebut sebagai tempat tinggal. Malam itu, langkahnya pelan dan penuh kehati-hatian. Ia tahu ibu tirinya sedang keluar, dan kesempatan itu tak akan datang dua kali. Di dalam laci tua di kamar ayahnya, ia menemukan surat kepemilikan rumah dokumen yang selama ini ia cari. Dengan napas tertahan, ia menggenggam map itu dan bersiap pergi. Namun sebelum sempat melangkah keluar, suara Ji Sang memecah keheningan. Ia berdiri di ambang pintu, menatap Ji Soo dengan wajah bingung, lalu matanya tertuju pada map di tangan kakaknya.
“Apa yang Noona lakukan di sini?” tanyanya, lalu melangkah mendekat. Ji Soo tak menjawab, hanya berusaha pergi. Tapi Ji Sang dengan cepat merebut map itu dan membuka isinya. Matanya membesar. “Kamu mau mencuri surat rumah ini?” ucapnya, tak percaya. Ji Soo mencoba merebut kembali dokumen itu, namun Ji Sang menghindar. Ketegangan memuncak. Ji Soo menendang tulang kering adiknya, membuat map itu terlepas dari genggaman. Ji Sang mengerang pelan, memegangi kakinya. Ji Soo segera mengambil surat itu dan hendak kabur, namun Ji Sang memeluknya dari belakang, menahannya dengan sekuat tenaga. “Tidak akan kubiarkan Noona pergi membawa surat itu,” katanya.
Ji Soo berteriak, penuh amarah. Ia mengancam akan mengusir Ji Sang dan ibunya dari rumah itu, membuat mereka tidur di jalanan. Tepat saat kata-kata itu meluncur, ibu tirinya pulang dan menyaksikan semuanya. Tanpa peringatan, ia menampar Ji Soo keras hingga gadis itu terjatuh ke lantai.
Ji Sang tertegun, tak menyangka ibunya akan bertindak sejauh itu. Ia berlutut di samping Ji Soo, mencoba menenangkan, tapi Ji Soo menepis tangannya dengan sorot mata penuh luka. Ia berdiri, menatap ibu tirinya dengan dingin. “Kau puas sudah menamparku? Kalau begitu, tinggalkan rumah ini sekarang juga,” ucapnya, menahan amarah yang nyaris meledak.
Ibu tirinya tak gentar. Ia mengeluarkan selembar kertas yang terlipat dan menyodorkannya. “Baca baik-baik dan pastikan, apakah kita keluarga atau bukan.” Ji Soo terdiam. Ragu, tapi penasaran. Ia membuka lipatan itu perlahan, dan matanya membesar saat membaca hasil tes DNA menyatakan bahwa ia adalah anak kandung Shin Hae Sung. Ji Soo terpaku. “Ini tidak mungkin. Kamu pasti palsukan ini,” katanya, gemetar. Tapi ibu tirinya mencabut sehelai rambut dan menyerahkannya.
“Ambil. Lakukan tes sendiri kalau kau tak percaya. Aku tidak berbohong. Aku benar-benar ibumu.” Ji Soo tak berkata apa-apa lagi. Ia berlari keluar rumah, menuju rumah sakit, membawa rambut itu dan segunung pertanyaan yang tak bisa ia jawab. Di dalam hatinya, kemarahan dan ketakutan bercampur menjadi satu. Jika surat itu benar... maka seluruh hidupnya bisa berubah.