NovelToon NovelToon
Bayangan Sang Triliuner

Bayangan Sang Triliuner

Status: sedang berlangsung
Genre:Crazy Rich/Konglomerat / Mafia
Popularitas:523
Nilai: 5
Nama Author: EPI

Fandi Dirgantara dikenal sebagai pewaris muda triliunan rupiah — CEO muda yang selalu tampil tenang dan elegan di hadapan dunia bisnis. Namun, di balik senyum dinginnya, tersimpan amarah masa lalu yang tak pernah padam. Ketika malam tiba, Fandi menjelma menjadi sosok misterius yang diburu dunia bawah tanah: “Specter”, pemburu mafia yang menebar ketakutan di setiap langkahnya. Ia tidak sendiri — dua sahabatnya, Kei, seorang ahli teknologi yang santai tapi tajam, dan Alfin, mantan anggota pasukan khusus yang dingin dan loyal, selalu berada di sisinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EPI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Di hadang

Tiba-tiba suara mesin mobil berhenti di halaman depan rumah megah itu. Dari dalam mobil mewah berwarna hitam, turun seorang gadis muda. Langkahnya anggun, rambutnya terurai rapi, aroma parfumnya langsung tercium begitu ia masuk melewati pintu utama.

Kei yang sedang duduk bersandar di sofa langsung melirik sekilas ke arah pintu, lalu cepat-cepat memalingkan wajah. Alfin yang dari tadi memegang ponsel hanya menghela napas panjang, matanya sekilas memantul wajah gadis itu lewat pantulan layar.

Kei bergumam pelan sambil melipat tangan di dada, “Nggak dateng, nggak enak…dateng, bikin males aja, nih anak.”

Alfin menurunkan ponselnya sedikit, nada suaranya datar tapi tegas. “Sama. Ribet.”

Gadis itu tersenyum manis, berjalan mendekat dengan langkah percaya diri. “Hai, Kak Alfin, Kak Kei!” sapanya ceria, suaranya lembut tapi dibuat-buat.

Kedua pria itu hanya mengangguk kecil tanpa menoleh. Kei bahkan pura-pura sibuk membuka notifikasi di ponselnya.

Gadis itu mendengus kesal, lalu menyilangkan tangan di dada. “Kak Fandi mana?” tanyanya dengan nada agak manja.

Alfin menjawab tanpa menatap, suaranya rendah dan malas. “Di kamar, sama Om Atha.”

“Oh, gitu…” gumamnya pelan, tapi matanya langsung melirik ke arah tangga. Tanpa basa-basi, dia berjalan meninggalkan dua pria itu.

Begitu langkah gadis itu menjauh, Kei langsung mendesah lega. “Akhirnya pergi juga. Bentar lagi juga mulai caper sama Fandi. Geli banget, sumpah.”

Alfin menatap kosong ke depan. “Biarin aja. Selama dia nggak ganggu kita, gue nggak peduli. Tapi kalo sampe ganggu… bisa khilaf gue abisin dia.” ucapnya datar, tapi tajam.

Kei menoleh cepat, menaikkan satu alis. “Serem, Fin. Tapi gue ngerti maksud lo.”

Sementara itu di lantai atas, suasana kamar terasa tenang. Atha masih terbaring di ranjang sambil membaca buku, sedangkan Fandi duduk di kursi dekat jendela. Tak ada suara selain detik jam dan napas pelan ayahnya.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka pelan. “Kak Fandiii\~ Om Atha\~” suara itu terdengar lembut, dibuat semanja mungkin.

Atha menoleh sedikit dan tersenyum tipis. Fandi hanya mengangkat kepala sebentar lalu kembali diam.

Tanpa menunggu respon, gadis itu — Erika — berjalan mendekat sambil tersenyum. “Om, apa kabar? Aku kangen banget loh…” katanya dengan nada menggoda, lalu menatap ke arah Fandi. “Kak, sibuk banget sih akhir-akhir ini…”

Fandi berdiri, wajahnya datar, tanpa emosi. “Yah, aku pergi dulu,” katanya pendek.

Atha hanya mengangguk pelan. Erika cepat-cepat melangkah ke depan, hendak menyentuh lengan Fandi. “Loh kok buru-buru banget, aku baru aja dateng, Kak…” katanya manja sambil tersenyum kecil.

Tangan Fandi langsung menepisnya kasar. “Jangan sentuh gue,” ucapnya dingin, lalu berjalan ke arah pintu.

Erika menatap kaget. “Eh… Kak, tunggu dulu! Aku mau ngomong!” teriaknya kecil sambil mengejar ke luar kamar.

Di ruang depan, Kei dan Alfin langsung melirik ketika melihat Fandi keluar dengan langkah cepat, diikuti Erika yang berlari kecil di belakangnya.

Erika berdiri di depan Fandi, menghalangi jalannya. “Kak, hari Sabtu aku ada undangan ulang tahun temen,” katanya manja, suaranya dibuat selembut mungkin. “Harus bawa pasangan, dan aku udah bilang ke mereka kalau aku bakal dateng sama kamu. Boleh ya, Kak? Sebentar aja kok…”

Fandi menatapnya tanpa ekspresi. “Nggak.”

Erika berusaha tersenyum lagi, pura-pura tak mendengar. “Ayah aku juga pengen ketemu kamu loh, Kak. Ayolah, cuma sebenta—”

“Erika,” potong Fandi dengan suara rendah tapi tajam. Ia menatap lurus ke mata gadis itu. “Jangan mancing emosi gue.”

Erika terdiam, tapi masih mencoba menahan lengan Fandi. “Kak, aku cuma—”

Tiba-tiba Fandi menepis tangannya lebih keras hingga tubuh gadis itu sedikit terhuyung. “Sekali lagi lo halangin gue… nggak segan gue habisin lo di depan orang tua lo sendiri.”

Nada suaranya datar tapi penuh tekanan. Sorot matanya tajam seperti pisau, membuat udara di sekitar mereka terasa berat.

Erika terdiam. Wajahnya pucat. Bibirnya bergetar tapi tak ada kata yang keluar.

Alfin dan Kei saling pandang, ada sedikit senyum puas di wajah mereka. Kei berbisik lirih, “Tuh kan, kena batunya.”

Alfin hanya menghela napas pelan. “Udah gue bilang, jangan ganggu orang kayak dia.”

Tanpa menoleh lagi, Fandi berjalan ke arah mobil. Kei dan Alfin mengikuti di belakangnya. Erika masih berdiri diam di depan rumah, matanya berkaca-kaca, menatap mobil hitam itu perlahan menjauh.

Mobil mewah berwarna hitam itu melaju kencang di jalanan sepi. Lampu kota memantul di kaca depannya.

Di balik kemudi, Erika menggertakkan giginya, wajahnya merah karena amarah.

“Dasar gila! Dingin banget sih dia!”

Tangannya memukul-mukul setir. Bugh! Bugh!

“Mana aku udah pamer ke semua temen kalau mau datang sama Fandi… sial! SIAL!”

Tring… tring…

Nada dering ponselnya memecah kemarahan itu. Erika melirik sekilas. Nama di layar: Sila.

“Aduh apalagi sih ini orang!” dengusnya, malas. Ia biarkan ponsel terus berdering sementara mobil terus melaju, membelah malam yang mulai berkabut.

Sementara itu, di mobil hitam lain beberapa kilometer di depan, Fandi duduk di kursi penumpang depan.

Wajahnya tetap datar, menatap lurus ke jalan yang basah oleh hujan tadi.

Alfin di kursi pengemudi, fokus. Kei di belakang, memainkan ponselnya.

Suara mesin bergemuruh lembut. Tak ada obrolan. Hanya lampu kota yang memantul di kaca.

Tiba-tiba Alfin berbicara pelan.

“Kita diikuti.”

Nada suaranya tenang tapi tegas.

Kei langsung berhenti main ponsel. “Sejak kapan?”

“Baru dua menit lalu. Empat mobil. Jarak sekitar seratus meter.”

Fandi masih diam. Tapi matanya menajam, menatap pantulan dari kaca spion.

Suasana di dalam mobil mendadak berat.

Kei menelan ludah. “Kita kabur aja?”

Fandi perlahan berkata, suaranya dalam dan datar.

“Tidak. Alfin, cari tempat yang pas. Ini tengah kota, bukan hutan. Kalau mereka mati di sini, kita akan dicari polisi. Akan banyak saksi mata.”

Alfin mengangguk, menginjak pedal gas. Mesin meraung.

Mobil melaju makin cepat, dan di belakang — empat mobil ikut menambah kecepatan.

Adegan kejar-kejaran dimulai.

Lampu-lampu mobil saling berkejaran di jalan kota yang hampir kosong. Klakson panjang, suara ban berdecit, dan hembusan angin malam menciptakan irama yang tegang.

“Pegangan,” ucap Alfin pendek.

Wuuusshhhh…!

Mobil mereka menyalip sebuah truk, masuk ke jalur kanan, dan tiba-tiba — Cyiiiiitttt! — mengerem mendadak di area kosong dekat gudang tua.

Kei membuka sabuk pengaman.

“Serius nih mau lawan mereka di sini?”

Alfin membuka pintu mobil, suaranya rendah tapi dingin.

“Kalau kabur, mereka pikir kita takut.”

Mereka turun cepat. Alfin tarik katana, Kei ambil pedang pendeknya, Fandi menenteng pistol dan katana. Napas berasap di udara dingin.

Fandi menatap tajam ke depan. “Ingat — kemenangan adalah kematian bagi mereka. Jangan beri celah. Jangan biarkan satu pun hidup.”

Suara Fandi pendek, dingin, meledak di antara hujan yang baru reda.

Langkah kaki terdengar dari empat mobil yang mendekat, lalu sosok-sosok berbusana hitam muncul. Mereka melingkari. Mata saling beradu.

“Siapa kalian?!” bentak Kei, nada menantang.

Salah satu pria maju, suaranya kasar. “Kalian yang ganggu klien kami. Tinggal mati saja.”

Dor… Dor… Dor…

Tembakan pendek, peluru memecah kesunyian. Satu pria roboh. Malam mencekam.

“Bugh! Bugh! Bugh!”

Gerak pertama—Fandi menembak tiga orang yang paling depan. Kepala mereka roboh, tubuh terkulai. Hening sejenak, air menetes dari atap mobil.

Alfin melesat, gerakannya kilat. Bugh! Bugh! Bugh! Kakinya melayang, memukul dada seorang lawan hingga mundur beberapa langkah.

Kei tak mau kalah. Dia menendang, badan lawan terpental ke pinggir. Bugh! Suara benturan berat.

Mereka membentuk formasi segitiga—tiga bayangan mengunci. Dari sarung, tiga katana melesat keluar. Sriing… Sring… Sring…

Mata mereka tajam. Napas berirama. Musuh bersiaga; sisa delapan orang menarik senjata.

Seorang lawan menyeringai. “Kalian minta mati ternyata…”

Lalu semua bergerak—serangan saling meluncur.

Wushh… Wush… Wush…

Alfin melibas, pedang dan palu besi beradu. Dengung logam memenuhi udara, percikan air dari lantai basah.

“Majuu!” teriak Alfin pendek saat dia menangkis dua serang sekaligus.

Trang… tang… Bunyi senjata tabrakan, suara denting tajam ke telinga.

Kei beradu dengan lawan berat; stik besi beradu dengan bilah. Trang… tang…

Dia mundur, lalu serang balik.

“Arrrgh!” teriak dua lawan saat kena hantaman bertubi-tubi dari Fandi.

Suara serangan memukul, bunyi tubuh menghantam aspal — Bugh… — tetapi hasilnya terlihat: dua lawan roboh tak bangkit.

Alfin vs musuh satu:

Wush… Wush… Alfin menghunus cepat. Lawan menahan, melompat menghindar lalu menyerang balik dengan gerak brutal. Bugh.. Bugh…

Alfin menahan semua, baju sobek—tapi bukan kerusakan fatal. Ia segera mengunci, putar badan, dan hantaman-muntahnya membuat musuh limbung.

“Kau pakai baju anti-peluru? Sialan!” teriak lawan. Alfin tidak peduli, dia terus menekan sampai musuh tak bergerak lagi. Akhirnya Alfin menembak—satu tembakan cepat—musuh itu tumbang, tak bangkit.

Kei vs musuh dua:

Wushh… Wushh… Trang… tang… Bilah Kei bersaut, diketuk, ditangkis. Dia menunduk, menghindari serangan ke wajah, mengayun pedangnya—Sreeeet…—sabet yang mengenai pinggang musuh. Musuh terhuyung, keseimbangan oleng.

“Terlalu banyak bicara…” kata Kei dingin sambil melangkah maju. Bugh… bugh… Lawan roboh, napas terengah—lalu tak bergerak lagi.

Fandi berdiri di tengah, dua musuh mengerubung dengan kapak besar. Mereka menyerang berbarengan. Trang… tang… Trang… tang…

Fandi menangkis dengan tenang. Pukulan, bantingan, tendangan—semua dikendalikan. Suaranya tidak naik; dia memukul, menendang; dua musuh goyah.

Salah satu musuh menembak ke arah Fandi—peluru sanggul mengenai lengan kirinya. Fandi menahan, matanya tetap dingin. Ia melesat menubruk, melancarkan serangkaian pukulan dan dorongan. Wushh… Wushhh… Sreeet… Tush… kepala terpenggal dan menggelinding di aspal tubuh

Lawan jatuh, tubuh tak lagi bergerak. Fandi berdiri, menatap sejenak — dingin, tak tergerak — lalu berbalik.

Beberapa menit kemudian, hujan rintik turun lagi.

Alfin menatap Fandi yang berdiri tegap di tengah jalan. “Kau terluka, bro. Ayo, biar aku bantu keluarin pelurunya.”

“Tunggu,” kata Fandi pelan tapi tajam. “Aku ingin tahu siapa yang berani menyerang terang-terangan seperti ini.”

Kei berjalan ke arah mobil musuh, memukul kaca. Kraaak!

Dia membuka pintu, menggeledah bagian dalam, lalu mengangkat sebuah map kecil. “Ada dokumen. Kita bisa tahu siapa dalang di balik semua ini.”

Fandi hanya menatapnya datar. “Bawa. Kita urus di markas. Jangan sisakan jejak.”

Alfin menoleh ke belakang, memastikan tak ada saksi. “Semua bersih. Tapi kita harus cepat sebelum polisi ke sini.”

Mereka masuk ke mobil, suara pintu tertutup serempak.

Mobil melaju lagi, meninggalkan jalan basah itu.

Di dalam, Kei masih memegang map yang ia ambil.

“Kalau dugaanku benar,” katanya pelan, “ini bukan serangan acak. Ada yang ingin perang.”

Fandi menatap jalan di depan. “Kalau begitu, biar kita yang nyalakan apinya dulu.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!