NovelToon NovelToon
Dunia Raka

Dunia Raka

Status: sedang berlangsung
Genre:Perperangan / Penyelamat / Action / Spiritual / Epik Petualangan / Fantasi
Popularitas:272
Nilai: 5
Nama Author: Lukman Mubarok

Kisah perjalanan Raka melakukan ujian Prahya sebelum resmi menjadi Rasi seorang guru Spiritual.

Perjalanan terkadang tidaklah mudah tapi bisa melewatinya dengan kesabaran dan kebijaksanaan.

Kisah ini ada di zaman neolitikum atau zaman batu muda dimana orang orang berpindah tempat nomaden kini menetap peralatan dan berburu masih sederhana menggunakan batu di poles halus menjadi pisau batu, tombak batu dan panah batu.

Tapi ada satu Kerajaan besar zaman neolitikum yang sangat maju peradabannya bahkan sangat di takuti suku suku lain dan bahkan di negeri lain.

Kerajaan itu adalah Lakantara berdiri di atas tanah dengan tembok melingkar konsentris lapis ada 5 tembok dgn status yang berbeda.

Sudah mengenal sistem irigasi, pertanian, sosial, ekonomi dan senjata yang terbuat dari perunggu yang lebih keras dari senjata batu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lukman Mubarok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 4 - Malam Wahyu

Malam merayap menutupi hutan di sekitar pondok Rasi Laka. Cahaya api unggun menari-nari di wajah Raka yang duduk bersila, berhadapan langsung dengan sang Rasi.

‎Angin malam membawa aroma daun basah dan tanah lembab. Di bawah langit berkabut, hanya ada keheningan dan suara lirih dari wahyu yang akan diujikan.

‎Rasi Laka menatap mata Raka dengan tajam, namun hangat. “Sekarang, Raka,” katanya pelan, “aku akan mengujimu. Hafalkan wahyu ini, resapi maknanya, dan bacakan kembali padaku dengan keyakinanmu.”

‎Raka menunduk, menarik napas dalam, lalu mengulang satu per satu:

‎1. “Barang siapa yang mengambil barang bukan haknya, maka baginya bukan bagian keimanan.”

‎Resi Laka mengangguk tipis. “Ingat, Raka. Keimanan tidak hanya di hati, tapi di setiap tindakan. Apa yang salah, walau kecil, akan memengaruhi diri dan sekitarnya.”

‎2. “Tangan yang kuat dibarengi lisan keyakinan akan mampu mengatasi berbagai masalah.”

‎Raka menegakkan tubuhnya, merasakan kata-kata itu bergetar di dalam dadanya. “Kekuatan tanpa keyakinan laksana akar tanpa tanah,” gumam Rasi Laka.

‎3. “Ku ciptakan dan ku utus manusia menjadi pemimpin bumi, mengurus alam dan merawat.”

‎Raka menatap ke langit gelap. Ia bisa merasakan tanggung jawab yang terpatri dalam kata-kata itu, seperti beban dan cahaya yang menyatu.

‎4. “Pohon untuk memberikan nafasmu, menjaga alam, tempat berteduh; maka jangan sekali-kali merusaknya, karena akan datang bencana akibat ulah manusia.”

‎Raka menutup matanya sejenak, membayangkan pohon-pohon raksasa dan hembusan angin yang memberi kehidupan. Suara Rasi Laka terdengar lembut, namun penuh peringatan: “Hidupmu, Raka, akan selalu terkait dengan alam. Ingat, setiap tindakanmu memengaruhi keseimbangan bumi.”

‎Malam itu, Raka duduk lama.

Ia mengulang wahyu-wahyu itu dalam hati, memastikan tiap kata menembus kesadarannya, bukan hanya sebagai bacaan, tetapi sebagai prinsip hidup yang akan ia bawa selamanya.

Rasi Laka tersenyum tipis, melihat mata Raka yang mulai bercahaya penuh pengertian.

“Kau siap, Raka. Ini baru permulaan perjalananmu.”

‎Dua hari kemudian, Raka telah menghafal seluruh wahyu. Ia menjadi murid termuda yang mampu menuntaskan hafalan itu, sedangkan murid-murid sebelumnya membutuhkan lima puluh siklus untuk mencapai hal yang sama.

‎Sejak siklus kelima, Raka dilatih tanpa henti bukan hanya menghafal kata, tetapi juga memahami tafsir dan tindakan di baliknya. Karena itu, Rasi Laka tidak memiliki pilihan lain selain memberikan ujian pengembaraan.

‎Dalam ujian itu, Raka harus mempraktikkan seluruh isi wahyu: menolong tanpa pamrih, membagi pengetahuan alam, menanam, merawat, dan memanen. Ia juga harus menjaga tutur kata, kesopanan, kehidupan sosial, dan pendidikan agar wahyu tak hanya menjadi hafalan, tetapi hidup di dalam perbuatan.

‎Namun di balik kebanggaan itu, terselip keraguan di hati Rasi Laka.

‎Ia merasa iri sekaligus cemas karena terlalu muda, Raka sudah menuntaskan seluruh hafalan wahyu, sesuatu yang bahkan para murid terdahulu butuh lima puluh siklus untuk mencapainya.

‎Sejak masa para Rasi sebelum dirinya, telah menjadi tradisi bahwa siapa pun yang menamatkan hafalan wahyu wajib menjalani ujian Prahya: pengembaraan suci untuk menimbang jiwa, perilaku, dan keseimbangan diri terhadap alam.

‎Malam itu, Rasi Laka berjalan mondar-mandir di depan pondok, memikirkan keselamatan muridnya. Ia tahu, Raka bukan anak biasa darah Lahkara’ru mengalir di tubuhnya, meski ia sendiri tak pernah tahu siapa dirinya dan dari mana asalnya.

‎Rasi Laka tak berani mengungkapkan kebenaran itu. Ia takut, bila Raka mengetahui asal-usulnya, jiwanya akan terguncang dan mengikuti jalan tamak seperti Yarun Rahu Ama dahulu.

‎Dalam hatinya, Rasi Laka juga teringat dua saudaranya Pasai dan Yaka.

‎Sejak siklus ke-15, mereka belum pernah bertemu lagi. Tak ada kabar, tak ada tanda. Ia pun tak tahu bagaimana reaksi mereka jika mendengar bahwa seorang anak muda bernama Raka telah menuntaskan seluruh wahyu.

‎Ia bahkan tak tahu apakah kedua saudaranya kini telah menyandang gelar Rasi atau masih terikat pada masa lalu mereka. Sebab, saat terakhir mereka sebelum berpisah, Pasai dan Yaka terkurung di Menara Observasi, tanpa pernah menjalani ujian Prahya sebagaimana tradisi para pewaris wahyu.

‎Pikiran itu semakin menambah beban di dada Rasi Laka. Ia merasa seolah garis waktu menutup dirinya dari segala kabar, dan satu-satunya cahaya kini hanyalah Raka murid termuda yang membawa harapan, sekaligus kekhawatiran.

‎Rasi Laka berdiri di tepi pondok, menatap ke arah lembah yang diselimuti kabut lembab. Angin dini hari berhembus pelan, membawa suara pepohonan yang beradu di kejauhan. Di sanalah ia merenungi keputusan yang tak bisa ia tunda lebih lama.

‎“Anak itu telah melampaui batas usia yang pantas untuk mengerti,” gumamnya pelan. “Namun, ia juga belum cukup matang untuk menanggung akibat dari pengetahuannya.”

‎Ia tahu, setiap murid yang menuntaskan wahyu wajib menjalani ujian Prahya ujian pengembaraan tanpa tanda, tanpa bekal, hanya dengan pengetahuan dan hati yang telah ditempa.

Namun kali ini, hatinya berat. Raka bukan sembarang murid; darah Lahkara’ru mengalir dalam dirinya. Jika kebenaran itu terungkap sebelum waktunya, watak Raka bisa berubah seperti Yarun Rahu Ama, yang hatinya dibakar oleh keinginan untuk menguasai, bukan menjaga.

‎Maka malam itu, setelah lama bergulat dengan pikirannya, Rasi Laka memutuskan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasi manapun sebelumnya.

‎Ia memanggil Raka dan berkata dengan suara tenang namun berat:

‎“Kau akan menjalani ujian Prahya, Raka. Tapi tidak seperti murid lain.

‎Kau tidak akan berjalan ke arah matahari terbit atau terbenam, melainkan ke tengah ke dalam dunia yang belum mengenal namamu.

‎‎Kau tidak membawa tanda Rasi, tidak membawa lambang wahyu. Kau akan dikenal hanya sebagai manusia, bukan pewaris pengetahuan. Di situlah nanti dunia menimbang siapa dirimu yang sejati.”

‎Raka menunduk, lalu menyentuh tanah dengan kedua tangannya sebuah penghormatan lama kepada gurunya.

‎“Aku menerima, Guru. Jika memang jalan itu yang harus kulalui.”

‎‎Rasi Laka menatapnya dalam-dalam, menyimpan rasa bangga dan takut sekaligus. Dalam hatinya, ia berbisik,

‎‎“Semoga alam mengenalmu lebih dulu sebelum dunia menilaimu.”

‎Rasi Laka menatap api unggun yang mulai mengecil, suaranya rendah namun bergetar oleh beban yang disimpannya sejak lama.

‎“Raka,” katanya pelan, “kau bukan muridku di mata dunia. Ingat itu baik-baik.”

‎Raka menegakkan duduknya, bingung menatap gurunya.

‎“Tapi, guru… bukankah wahyu yang aku hafal berasal darimu?”

‎Rasi Laka menarik napas panjang, menatap ke arah gelap hutan di luar pondok.

“Dulu, para Rasi bebas berjalan, mengajar, menanam, dan mengajar di tanah mana pun. Tapi sejak Yarun Rahu mengangkat dirinya menjadi Ama, para Rasi dan murid diburu. Dituduh menyimpan ilmu yang bisa membalikkan dunia.”

‎Ia menatap Raka dengan sorot yang dalam, seolah ingin mengukir kata-katanya di hati sang murid.

‎“Mulai malam ini, jangan lagi kau sebut dirimu murid Rasi. Jangan sebut namaku, jangan sebut wahyu. Katakan saja kau anak hutan, pengembara yang menanam dan menolong siapa saja. Itu jalan Prahya-mu.”

‎Raka menunduk. Api kecil itu memantulkan bayangan wajahnya di tanah, seperti dua jiwa yang berpisah.

‎“Jadi aku… harus hidup berbohong?”

‎Rasi Laka tersenyum tipis, lelah namun penuh kasih.

‎“Bukan berbohong, Raka. Tapi menjaga kebenaran agar tidak mati. Wahyu akan menemuimu lagi saat dunia siap menerimanya.”

‎Malam itu, angin lembab membawa aroma tanah basah dan daun kering. Di bawah kanopi tebal langit purba, dua manusia duduk diam satu menyimpan rahasia, satu membawa takdir yang belum ia pahami.

Fajar tak lagi tampak seperti sinar, hanya kabut yang berpendar lembut di antara pepohonan lembah. Suara tetes air dari daun terdengar seperti bunyi waktu yang menetes pelan.

Di depan pondok sederhana, Raka berdiri membawa sehelai kain pembungkus, seutas tali, dan sebilah pisau batu yang ia buat sendiri.

Rasi Laka berdiri di ambang pintu, matanya menatap muridnya itu tanpa banyak kata. Angin lembab menyusup di antara mereka, membawa aroma tanah yang basah oleh embun.

“Jalanmu bukan untuk mencari pulang,” ujar Rasi Laka perlahan, “tapi untuk mengerti arah dunia. Bila nanti kau menemukan manusia lain, ajarilah tanpa menyebut siapa dirimu. Bila kau temui penderitaan, obatilah tanpa mengharap imbalan. Dan bila kau temui keindahan, jangan memujanya ingatlah, semuanya hanya titipan alam.”

Raka menunduk, memegang pergelangan tangan gurunya, lalu menyentuh tanah. “Aku akan kembali, Guru… bila waktu memperbolehkan.”

“Waktu tidak pernah memberi izin,” sahut Rasi Laka lirih. “Hanya kehidupan yang memanggilmu kembali.”

Raka menatap hutan di depan, penuh kabut tipis yang bergulung seperti napas bumi. Setiap langkah yang ia ambil terdengar menembus sunyi.

Awan kanopi di atas seakan menutup pandangan langit, menyisakan warna hijau kebiruan samar sisa dari cahaya Api Hijau yang pernah jatuh di masa lampau.

Rasi Laka tetap berdiri di tempatnya, memandang punggung Raka yang perlahan hilang di antara kabut lembab.

Dalam keheningan itu, ia memejamkan mata dan berbisik pelan, “Jagalah ia, wahai tanah dan angin... jangan biarkan dunia menelan yang belum waktunya.”

Ia kemudian duduk di depan pondok, menatap sisa bara api yang hampir padam. Di antara abu itu, seberkas cahaya kecil masih berpendar bukan api, melainkan serpih batu yang dulu terbakar bersama meteor hijau. Batu itu berdenyut lembut, seolah ikut bernapas.

“Begitu cepat waktumu, Raka,” gumamnya. “Dan aku terlalu lambat untuk memahami makna dunia.”

Angin bertiup perlahan. Kabut semakin menebal, menelan pondok, menelan suara, hingga tinggal Rasi Laka seorang diri, dikelilingi sunyi dan sisa api yang menyala redup.

Dari kejauhan, gema samar terdengar mungkin suara langkah Raka yang menjauh, atau mungkin hanya gema ingatan.

Namun bagi Rasi Laka, itulah awal dari perubahan besar yang akan mengguncang Lakantara.

Di kejauhan, kabut turun perlahan menelan jejak kakinya.

Hanya pendar hijau samar di kaki gunung yang masih menyala,

seolah alam sendiri mengingat nama yang kini harus dilupakan.

Rasi Laka menuruni lereng barat Gunung Salak, menyusuri jalan batu yang pernah ia lewati lima belas siklus silam.

Angin dari barat membawa aroma tanah tua dan abu masa lalu.

Di bawah sana, terhampar tanah tandus tempat pernah berdiri Kerajaan Suralah kini hanya sunyi dan bebatuan retak, seolah bumi sendiri telah berhenti bernapas.

Ia berjalan di antara tumpukan batu yang dulunya dinding istana, hingga tiba di sebuah dataran yang dipenuhi gundukan tanah tanpa nama.

Beberapa batu tegak berdiri miring, ditumbuhi lumut, penanda makam bagi mereka yang gugur di malam api hijau dan darah.

Rasi Laka berlutut di depan salah satu batu yang lebih besar.

Di sanalah makam Lahkara’na Sura dan Lahkara Ama dikuburkan bersama rakyat mereka tempat di mana segalanya berakhir dan takdir baru lahir.

Ia menunduk dalam, berbicara perlahan, seakan roh masa lalu masih mendengarkan.

“Lahkara’na… Ama… malam itu aku hanya membawa bayi kecil, darah kalian sendiri. Kalian menemuinya dengan cinta, lalu menyerahkannya padaku dengan air mata. Saat api hijau membelah langit, aku pergi ke timur ke bawah kaki gunung, jauh dari bising perang.”

Ia menarik napas panjang, matanya menatap tanah yang retak.

“Bayi itu tumbuh dalam sunyi. Dua siklus aku mencari susu, kadang menukar batu, kulit, apa pun yang bisa diserahkan. Kadang dapat dari domba, kadang dari kerbau, kadang dari belas kasih seorang ibu yang tak mengenal nama.

Sampai akhirnya ia kuat, belajar dari bumi, mengenal akar, daun, dan biji.”

Ia terdiam sejenak.

“Sepuluh siklus kuajari mempelajari wahyu, mendengar napas alam dan membaca tanda cahaya. Kini sudah siklus ke lima belas, ia telah berangkat menjalani ujian Prahya menguji hatinya dan takdirnya sendiri.”

Rasi Laka mengambil bunga saka simbol keberanian dan pengorbanan, menaruhnya di atas batu makam itu.

“Tidurlah dalam damai, kalian yang telah memberi hidup pada dunia ini. Aku hanya penjaga sementara dari janji yang kalian titipkan.”

Angin berhembus lembut, menyingkap debu halus dari tanah tua.

Rasi Laka berdiri, menatap langit barat yang merah tembaga. Di kejauhan, burung hitam melintas di antara kabut seperti roh masa lalu yang berpamitan.

Ia berbalik, melangkah pulang ke timur.

Di balik Gunung Salak, Raka kini sedang menapaki jalan ujian Prahya dan dari langkah itu, takdir dunia mulai bergerak.

1
Adrian Koto
gaya penulisannya asik jg. mengalir 👍
Lukman Mubarok: 🙏Terimakasih kak
total 1 replies
Nixney.ie
Mesti dibaca ulang!
Lukman Mubarok: 🙏 Terimakasih
total 1 replies
Tít láo
Gak bisa move on! 😍
Lukman Mubarok: 🙏 Terimakasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!