NovelToon NovelToon
REVENGE; The Mad Twin'S

REVENGE; The Mad Twin'S

Status: sedang berlangsung
Genre:Anak Kembar / Identitas Tersembunyi / Keluarga / Teen School/College / Crazy Rich/Konglomerat / Dendam Kesumat
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: QueenBwi

Ketika Arbiyan Pramudya pulang untuk melihat saudara kembarnya, Abhinara, terbaring koma, ia bersumpah akan menemukan pelakunya. Dengan menyamar sebagai adiknya yang lembut, ia menyusup ke dalam dunia SMA yang penuh tekanan, di mana setiap sudut menyimpan rahasia kelam. Namun, kebenaran ternyata jauh lebih mengerikan. Di balik tragedi Abhinara, ada konspirasi besar yang didalangi oleh orang terdekat. Kini, Arbiyan harus berpacu dengan waktu untuk membongkar semuanya sebelum ia menjadi target berikutnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon QueenBwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 4

“Mama tahu soal ini, kan?” ulang Arbiyan, setiap kata diucapkannya dengan penekanan yang tajam dan menusuk. Ia melangkah mendekat, bayangannya menelan sosok ibunya. “Selama ini… Mama tahu apa yang terjadi sama Abhi.”

Linda Pramudya berbalik perlahan, wajahnya yang tadi beku kini dihiasi kemarahan dingin. “Kamu menuduh Mama?” tanyanya, suaranya mengandung bahaya. “Setelah semua yang Mama korbankan? Mana mengurus perusahaan sendirian, dan kamu pulang hanya untuk melemparkan tuduhan konyol dari mulut dokter yang tidak kompeten?”

“Konyol?” Arbiyan mendesis. Ia menunjuk ranjang Abhinara. “Bekas luka sulutan itu konyol, Ma? Luka yang udah berbulan-bulan itu konyol? Mama lebih suka percaya dia jatuh dari tangga daripada mengakui ada yang salah di rumah ini, di sekolah itu, selama aku gak ada!”

“Jangan bersikap dramatis, Arbiyan. Anak-anak memang berkelahi di sekolah,” balas Linda, suaranya kembali datar, seolah mencoba meredam krisis. “Mama sudah kasih pengamanan. Abhinara sendiri yang bilang dia baik-baik saja—”

“Dia bohong, Ma! Dia selalu bohong! Karena dia takut Mama kecewa!” teriak Arbiyan, kini tidak peduli pada Dokter Irawan yang berdiri canggung di sudut ruangan. “Mama yang bikin dia takut ngomong! Mama yang menganggap kecemasan dia cuma drama! Sekarang dia koma, Ma! Atau lebih buruk, dia disiksa selama setahun, dan Mama gak lihat apa-apa?”

Linda menutup matanya sejenak, menarik napas panjang. Ketika ia membukanya, ketenangan profesionalnya telah kembali. “Mama sudah minta polisi menyelidiki. Bagaskara dan Rendra, dua senior yang sering mengganggunya, sudah diinterogasi. Kita tunggu saja hasilnya. Tugasmu sekarang adalah menjaga diri dan berdoa untuk adikmu.”

“Menunggu?” Arbiyan menggeleng, seringai sinis tersungging di bibirnya. “Gak. Gue gak akan nunggu polisi yang mungkin udah disogok buat bilang ini cuma kecelakaan. Dan gue gak akan nunggu Mama yang buta karena terlalu sibuk sama uang. Abhi udah gak bisa ngomong, kan? Ya udah. Biar gue yang bicara buat dia.”

“Maksudmu apa?” Linda menatapnya curiga.

“Gue akan cari tahu sendiri,” jawab Arbiyan dingin. Ia menoleh ke Dokter Irawan. “Dok, terima kasih atas informasinya. Tolong pastikan Abhinara mendapat perawatan terbaik. Saya akan urus sisanya.”

Tanpa menunggu balasan ibunya, tanpa mengucapkan selamat tinggal, Arbiyan berbalik dan melangkah keluar dari kamar VVIP yang terasa seperti sangkar itu. Pintu tertutup di belakangnya dengan bunyi ‘klik’ yang tegas, memutusnya dari suara monitor jantung adiknya.

Ia berjalan cepat menyusuri koridor, langkah kakinya berirama dengan detak jantungnya yang berdentum marah. Amarah itu kini bukan lagi ledakan impulsif, melainkan energi terfokus. Jika Abhinara tidak bisa mengungkap siapa yang menyakitinya, dia harus pergi ke tempat terakhir Abhinara berdiri.

Sekolah.

Sekolah yang telah menjadi tempat penyiksaan bagi Abhinara. Sekolah itu pasti menyimpan semua jawaban. Tetapi Arbiyan tahu, jika ia masuk sebagai dirinya sendiri—Arbiyan Pramudya, kembaran yang bermasalah, diasingkan, dan dikenal agresif—semua orang akan menutup mulut. Para pelaku akan bersembunyi.

Dia harus menjadi Abhinara.

Ide itu, secepat kilat, melintas di benaknya. Gila. Benar-benar gila. Tapi mereka kembar identik. Sejak kecil, mereka sering bertukar tempat untuk mengerjai guru dan teman. Abhinara lebih tenang, rapi, dan cerdas dalam pelajaran. Arbiyan lebih kasar, impulsif, dan jago berkelahi.

Dia harus menanggalkan Arbiyan yang impulsif. Dia harus mengenakan kulit Abhinara yang rapuh, yang pendiam, yang selalu menundukkan kepala. Hanya dengan menjadi Abhinara, dia bisa melihat siapa yang tersenyum padanya dengan pisau di balik punggung.

Arbiyan mencapai area tunggu yang sepi, mengeluarkan ponselnya. Jari-jarinya dengan cepat mencari kontak yang paling bisa ia andalkan dalam situasi yang melibatkan kebohongan, identitas ganda, dan kerahasiaan ekstrem.

Deandra Pramudya. Sepupunya yang tinggal di New York, sang ahli strategi dan logistik tim mereka.

Panggilan tersambung setelah deringan kedua. Wajah Deandra, yang biasanya tampak serius dengan kacamata bingkai hitamnya, kini muncul di layar. Di belakangnya, terlihat Eve dan Neo. Mereka pasti sudah menunggu.

“Biyan. Gimana?” tanya Deandra tanpa basa-basi. Nada suaranya tegang.

Arbiyan tidak menjawab dengan kata-kata manis. Ia hanya mencondongkan ponselnya, membiarkan cahayanya menyinari wajahnya. Wajahnya keras, matanya merah karena kurang tidur dan amarah.

“Abhi gak jatuh dari tangga, Dea,” ucap Arbiyan, suaranya rendah dan tajam. “Dia disiksa. Selama setahun. Luka-lukanya nunjukkin itu. Dan nyokap tahu, atau pura-pura gak tahu.”

Keheningan menyelimuti panggilan itu. Eve, yang biasanya sarkastis, menutup mulutnya dengan tangan. Neo hanya mengangguk pelan, tatapannya menyiratkan pemahaman penuh.

Deandra menarik napas dalam-dalam, memproses informasi itu dengan kecepatan seorang superkomputer. “Oke. Polisi gimana?”

“Mereka lambat. Atau mereka disuap. Gue gak peduli,” jawab Arbiyan. “Gue gak bisa nunggu. Gue harus masuk ke sekolah itu. Gue harus liat dunia dari mata Abhi.”

Deandra mengerutkan kening. “Maksud lo… lo mau menyelidiki?”

“Gak cuma menyelidiki,” kata Arbiyan, tatapannya mengeras. “Gue mau jadi dia. Gue mau nyamar jadi Abhinara.”

Mata Deandra membesar. “Gila lo, Biyan. Lo dan Abhinara emang identik, tapi kepribadian kalian beda jauh. Abhinara itu pendiam, selalu nunduk. Lo itu bom waktu yang siap meledak. Seminggu di sana, lo pasti nonjok senior. Identitas lo langsung kebongkar.”

“Makanya gue butuh lo. Gue butuh lo ajarin gue gimana jadi dia,” desak Arbiyan. “Gue udah gak peduli sama reputasi gue. Gue gak peduli sama amarah gue. Yang gue peduliin cuma siapa yang udah nyakitin adik gue. Dan satu-satunya cara buat nemuin mereka adalah kalo mereka mengira Abhinara udah balik, tapi masih rapuh.”

“Ini bahaya banget, Bro,” sela Neo dari belakang. “Kalo pelaku tahu lo Arbiyan, lo jadi target.”

“Kalo mereka udah berani nyakitin Abhi sampe kayak gitu, berarti mereka udah jadi target gue duluan,” balas Arbiyan tajam. Ia kembali fokus pada Deandra. “Dea, lo yang paling tau soal psikologi. Gimana cara gue matiin Arbiyan di dalam diri gue? Lo harus bantuin gue bikin skenario ini sempurna. Gue butuh semua data Abhinara: jadwal, catatan, kebiasaan, bahkan cara dia jalan dan senyum.”

Deandra menghela napas panjang. Arbiyan tahu ia telah menang. Deandra adalah orang yang paling benci ketidakadilan.

“Oke. Tapi ada syarat,” ujar Deandra tegas. “Lo harus janji gak boleh pake kekerasan kecuali nyawa lo terancam. Lo harus jadi Abhinara yang selalu takut. Kalo lo nonjok, rencana kita gagal total. Kedua, gue akan kirim Eve buat urus semua data dan perangkat lunak yang lo butuhin, termasuk bug di ponsel lo. Ketiga, kita harus kontak sekolah itu. Kita harus bikin alibi kalo Abhinara ‘siuman’ dan ‘kembali’ ke sekolah, tapi dengan trauma parah sehingga dia jadi makin pendiam.”

“Sepakat,” jawab Arbiyan cepat. “Kirim Eve secepatnya. Gue tunggu di apartemen lama Abhi. Gue gak mau nyokap tahu soal ini.”

“Malam ini Eve terbang. Dua belas jam lagi dia sampai. Sekarang fokus lo: pelajari Abhinara. Lo harus menghidupkan dia lagi, Biyan,” kata Deandra, tatapannya penuh peringatan.

Setelah memutus panggilan, Arbiyan merasakan beban identitas ganda yang baru saja ia ambil. Ia meninggalkan rumah sakit, menuju apartemen kecil yang Abhinara gunakan sebagai tempat pelarian saat ia ingin menjauh dari ibunya.

Setibanya di sana, aroma khas Abhinara menyambutnya: buku lama, teh melati, dan sedikit bau pensil. Ruangan itu rapi, terlalu rapi, mencerminkan kepribadian Abhinara yang perfeksionis dan cemas. Arbiyan masuk ke kamar tidur, membuka lemari. Di sana tergantung seragam sekolah yang sama, disetrika dengan lipatan sempurna.

Arbiyan berdiri di depan cermin besar. Ia menatap pantulan dirinya. Wajah yang sama. Rambut yang sama. Tapi tatapannya, tajam, penuh amarah, jelas milik Arbiyan.

Ia mendekat, mengangkat tangannya, dan perlahan menirukan ekspresi Abhinara. Mata sedikit melebar, bibir ditarik ke dalam, dan pandangan mata yang selalu sedikit menunduk, seolah meminta maaf atas kehadirannya.

Itu terasa salah. Terasa palsu. Tapi dia harus melakukannya.

Dia melepas kaus yang ia kenakan. Memakai seragam Abhinara. Kain kemeja itu terasa tipis, mencekik. Ia mengambil sisir dan mulai merapikan rambutnya, meniru gaya belah samping Abhinara yang kuno.

Ketika ia kembali menatap cermin, sosok di sana adalah versi pucat dirinya, seseorang yang terlihat ringkih dan mudah dihancurkan. Sosok itu adalah Abhinara.

“Oke,” bisiknya pada pantulan dirinya. “Mulai sekarang, Arbiyan gak ada. Yang ada cuma Abhinara.”

Ia meraih ponsel Abhinara yang sudah diambilnya dari rumah sakit. Di sana, di antara aplikasi belajar dan aplikasi musik klasik, ada sebuah folder tersembunyi yang terkunci. Arbiyan memasukkan tanggal lahir mereka. Salah. Tanggal lahir ibunya. Salah.

Ia mencoba tanggal kematian ayahnya. Salah.

Arbiyan menghela napas frustrasi, tapi ia tahu Abhinara pasti meninggalkan petunjuk. Ia melihat sekeliling, matanya tertuju pada sebuah bingkai foto di meja samping tempat tidur. Foto mereka berdua, saat berusia lima tahun, mengenakan piyama kembar, sedang bersembunyi di dalam lemari. Di bawah foto itu, ada tulisan tangan Abhinara.

Kode: Tempat teraman.

Tempat teraman. Lemari.

Arbiyan bergegas ke lemari pakaian, membukanya, dan menyentuh bagian belakang kayu. Tidak ada apa-apa. Ia kembali ke ponsel, menatap bingkai foto itu lagi. Tempat teraman…

Ia melihat jam digital di ponselnya. Pukul 03:00.

Arbiyan kembali ke ponsel Abhinara. Ia memasukkan kode baru: 0300.

Layar bergetar. Folder itu terbuka.

Di dalamnya ada puluhan file. Dokumen, rekaman suara, dan sebuah video berdurasi dua menit. Judul video itu sederhana dan menakutkan: ‘Mereka Tahu.’

Arbiyan menelan ludah. Jantungnya berdebar kencang, menuntut untuk mengetahui rahasia apa yang adiknya simpan. Ia menekan tombol putar, dan layar ponsel menyala, memperlihatkan wajah Abhinara yang tirus, matanya sembap, berbicara pelan di tengah kegelapan.

“Aku… aku sudah coba kabur,” bisik Abhinara dalam video itu, suaranya parau, “tapi mereka selalu tahu. Mereka di mana-mana. Mereka bilang, kalau aku ngomong, Kak Biyan juga bakal—”

1
Ryo gunawan
dabel up lah thor
Helmi Sintya Junaedi
beruntung abhi punya kakak yg sangat menyayanginya,,, cari pelakunya sampai dapat balas kn perbuatan nya,,
CutiePie
next! 😊
CutiePie
curiga sih mereka pelakunya 😡
CutiePie
heh 😂😂
CutiePie
bguss
CutiePie
Ini bagus sekali!
Tidak sabar untuk selanjutnya!
semangat ya!
CutiePie
😍😍
CutiePie
😭😭
CutiePie
semangat!
QueenBwi
💜💜
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!