Yun Sia, gadis yatim piatu di kota modern, hidup mandiri sebagai juru masak sekaligus penyanyi di sebuah kafe. Hidupnya keras, tapi ia selalu ceria, ceplas-ceplos, dan sedikit barbar. Namun suatu malam, kehidupannya berakhir konyol: ia terpeleset oleh kulit pisang di belakang dapur.
Alih-alih menuju akhirat, ia justru terbangun di dunia fantasi kuno—di tubuh seorang gadis muda yang bernama Yun Sia juga. Gadis itu adalah putri kedua Kekaisaran Long yang dibuang sejak bayi dan dianggap telah meninggal. Identitas agung itu tidak ia ketahui; ia hanya merasa dirinya rakyat biasa yang hidup sebatang kara.
Dalam perjalanan mencari makan, Yun Sia tanpa sengaja menolong seorang pemuda yang ternyata adalah Kaisar Muda dari Kekaisaran Wang, terkenal dingin, tak berperasaan, dan membenci sentuhan. Namun sikap barbar, jujur, dan polos Yun Sia justru membuat sang Kaisar jatuh cinta dan bertekad mengejar gadis yang bahkan tidak tahu siapa dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 30 — Mahkota yang Menemukan Kepalanya
Istana Lang tidak pernah benar-benar tidur. Namun malam itu, ia terjaga dengan cara yang berbeda bukan oleh kegelisahan, melainkan oleh degup harap. Lentera-lentera merah digantungkan sepanjang koridor, kain sutra biru dan emas disematkan di pilar-pilar marmer, dan puluhan taman kecil dihidupkan kembali dengan lampu minyak beraroma bunga plum. Gong kecil berdentang pelan, bukan sebagai peringatan, melainkan undangan bagi seluruh kekaisaran untuk bernapas bersama: hari ini, Putri Mahkota akan dinobatkan.
Yun Sia duduk di depan cermin perunggu, rambutnya disisir perlahan oleh Permaisuri. Jemari wanita itu bergetar halus getar yang hanya bisa dimiliki ibu yang hampir kehilangan segalanya, lalu dikembalikan lebih dari yang pernah ia doakan. Di meja, mahkota kecil dari giok hijau pucat berkilau, tak mencolok, namun menyimpan keteguhan yang tak bisa dipatahkan.
“Jika mahkota itu terasa berat,” ucap Permaisuri lirih, “katakan. Aku akan menyuruh mereka menggantinya.”
Yun Sia memiringkan kepala, menatap pantulan dua wajah dalam cermin satu yang baru belajar memeluk kata ibu, dan satu yang telah bertahun-tahun belajar memeluk kehilangan. “Yang berat itu bukan mahkotanya,” katanya polos. “Yang berat… kalau aku harus pura-pura bukan aku.”
Permaisuri tersenyum haru. “Maka jangan pura-pura. Jadilah kau dan biarkan mahkota menyesuaikan diri.”
Di balik pintu, A-yang berdiri bersama Mochen dan Liyan. Ia mengenakan jubah hitam berbordir awan perak—sederhana, namun tak bisa disangkal aura seorang penguasa. Namanya bukan tercatat dalam upacara negeri ini, tetapi denyut jantungnya tercatat pada satu titik di dalam ruangan, pada seorang gadis yang pernah menamainya dengan sebutan paling sederhana, paling berbahaya A-yang.
“Kenapa anda gugup yang mulia?” Liyan berbisik, menyenggolnya dengan sikut.
“Karena hari ini… negeri ini mengumumkan ia milik Lang,” jawab A-yang datar.
Mochen menatap lurus ke depan. “Dan hati anda mengumumkan ia milik anda.”
A-yang menghembus napas pelan. “Hatiku tidak punya stempel negara.”
“Untung,” sahut Liyan ringan. “Kalau punya, anda sudah mencapnya semalam.”
Pintu terbuka. Yun Sia melangkah keluar.
Dan A-yang lupa bagaimana bernapas.
Bukan karena kemewahan baju kebesarannya yang hanya gaun sutra putih dengan sulaman daun hijau di ujung lengan, bukan emas berlebihan seperti lazimnya istana melainkan karena caranya berdiri. Tegak tanpa kaku. Tenang tanpa dingin. Hidup.
“Bagaimana?” Yun Sia bertanya sambil berputar seperempat lingkaran.
A-yang nyaris menjawab sesuatu yang tidak pantas diucapkan di hadapan pengawal. Liyan lebih cepat: “Aku resmi cemburu pada negeri ini.”
Mochen mengangguk setuju, sekali.
Yun Sia tertawa kecil. “Kalian konyol.” Lalu menoleh pada A-yang, suara merendah. “Aku takut.”
“Takut pada apa?” tanya A-yang.
“Takut kalau setelah ini… aku tidak boleh memanggilmu A-yang lagi.”
A-yang mendekat setengah langkah. “Kau bisa memanggilku apa pun. Kaisar, orang biasa, atau lelaki yang takut kehilanganmu.”
Yun Sia tersenyum, seolah itu jawaban paling meyakinkan di dunia.
Upacara dimulai tepat ketika matahari mencapai puncak. Aula Emas penuh seluruh pejabat tinggi, bangsawan dari utara dan selatan, kepala klan, juga duta berbagai negeri kecil hadir membentuk lingkaran kekuasaan yang untuk pertama kalinya mengitari seorang anak yang dibesarkan oleh hutan.
Kaisar Lang berdiri di singgasananya, jubahnya sederhana, wajahnya tidak. Ia menatap Yun Sia yang melangkah maju, dan untuk sesaat, tatapannya bukan milik kaisar melainkan ayah.
“Dengan ini,” suaranya menggetarkan ruang, “aku menobatkan Yun Sia sebagai Putri Mahkota Kekaisaran Lang.”
Mahkota giok diangkat.
Mahkota diturunkan.
Dan saat giok menyentuh rambut Yun Sia, aula seakan menghela napas bersamaan.
Bunyi gong menggemuruh tiga kali.
“Kehidupanmu bukan lagi hanya milikmu,” lanjut Kaisar Lang, “tetapi juga milik mereka yang akan kau lindungi.”
Yun Sia mengangkat dagu. “Kalau begitu,” katanya lantang, “aku berjanji tidak akan melupakan… bahwa aku juga manusia.”
Bisik-bisik bergerak, namun bukan penolakan lebih seperti pengakuan yang lama ditunggu.
Permaisuri menitikkan air mata. Kai berdiri tegap di sisi singgasana, matanya berkaca untuk pertama kalinya dalam dua puluh tahun.
Pesta pun dimulai. Musik mengalir dari rebab dan seruling. Hidangan tertata rapi. Namun semua mata merayap ke satu titik: Yun Sia, yang lebih sering tertawa daripada memberi salam yang kaku.
Ia menyapa anak pejabat yang tersedak kue. Ia mengusap kepala dayang muda yang gemetar membawa minum. Ia memuji juru masak dengan tulus.
“Dia meruntuhkan jarak,” bisik seorang bangsawan wanita dengan kesal dan kagum.
“Dia membangun negeri,” jawab yang lain.
Di kejauhan, A-yang berdiri, menyerap pemandangan seperti seseorang yang akhirnya menemukan rumah pada seseorang.
Liyan meneguk arak. “Aku bertaruh tiga koin perak: belum genap satu jam, kaisar akan diculik.”
“Aku bertaruh seratus oleh dirinya sendiri,” sahut Mochen.
Seolah menepati ramalan, Yun Sia tiba-tiba menarik A-yang masuk ke salah satu lorong samping.
“Lihat,” katanya membuka sebuah jendela kecil yang menghadap taman dalam. “Bintang siang.”
A-yang terpaku melihat cahaya siang yang memantul di kolam. “Itu bukan bintang.”
“Aku tahu,” Yun Sia cekikikan. “Tapi rasanya begitu.”
Mereka terdiam sejenak. Sunyi yang terasa penuh.
“Aku milik Lang sekarang,” ucap Yun Sia pelan.
A-yang mengangguk. “Dan bukan milik siapa pun.”
Yun Sia memukul lengannya deras. “Kau ini aneh.”
“Lelaki jatuh cinta memang aneh.”
Yun Sia terkesiap. “Kau mengaku?”
A-yang menatap lurus. “Bukan mengaku. Menyerah.”
Yun Sia menutup wajahnya dengan dua tangan. “Istana ini tidak mempersiapkanku untuk ini.”
“Bagus,” bisik A-yang. “Aku juga tidak.”
Tawa kecil mereka tergulung dalam cahaya.
Bersambung.