Zona Khusus Dewasa + Slowburn
Drasha Season 2
Adriel (28), sosok CEO yang dikenal dingin dan kejam. Dia tidak bisa melupakan mendiang istrinya bernama Drasha yang meninggal 10 tahun silam.
Ruby Rose (25), seorang wanita cantik yang bekerja sebagai jurnalis di media swasta ternama untuk menutupi identitas aslinya sebagai assassin.
Keduanya tidak sengaja bertemu saat Adriel ingin merayakan ulang tahun Drasha di sebuah sky lounge hotel.
Adriel terkejut melihat sosok Ruby Rose sangat mirip dengan Drasha. Wajah, aura bahkan iris honey amber khas mendiang istrinya ada pada wanita itu.
Ruby Rose tak kalah terkejut karena dia pertama kali merasakan debaran asing di dadanya saat berada di dekat Adriel.
Bagaimana kelanjutannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yita Alian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30 ACICD - Adriel Bertemu Lucian The Raven
Hari berikutnya, di pagi yang masih segar dengan matahari baru naik sedikit, Adriel mengayuh sepeda sportnya melalui jalur kota yang masih sunyi.
Napasnya teratur, kemeja olahraga tipisnya sedikit lembap karena keringat. Angin dingin menyibak rambut hitam legamnya.
Setelah satu putaran besar, dia mengurangi kecepatan, berbelok ke sebuah toko sekaligus bengkel sepeda. Plang kayunya sedikit usang, tapi jendela kaca besar menampilkan deretan frame sepeda vintage dan aksesoris premium.
Adriel masuk seperti seorang customer.
"Pagi," sapanya santai.
Di dalam, aroma oli ringan bercampur wangi kayu dan kopi yang baru diseduh. Pemilik bengkel, pria paruh baya yang gagah dengan apron lusuh, sedang membungkuk di atas sebuah sepeda roadbike mahal. Tangannya cekatan memutar obeng kecil, memeriksa rem dan derailleur.
"Pagi," jawab pria paruh baya itu tanpa menoleh. Ya, dia Lucian, papa kandung Adriel, seorang mantan assassin independen yang kini jadi pemilik toko dan bengkel sepeda.
Adriel memarkir sepedanya di samping meja terdekat, melepaskan sarung tangan, lalu bersandar pada rak dengan napas yang mulai stabil kembali.
"Aku dapetin petunjuk baru soal kasus Drasha, Pa," katanya, nada suaranya serius.
Lucian akhirnya menoleh, kacamata kecilnya melorot sedikit. Tentu hal itu menarik perhatiannya, sebelum jadi menantunya, Drasha sudah lebih dulu jadi murid seorang The Raven.
"Apa itu?" Pria paruh baya tersebut kembali kembali ke sepeda yang ia kerjakan. Dia memutar obeng, lalu roda untuk mengetes.
Adriel menata napasnya. "Peluru yang menewaskan Trevon sama persis dengan peluru yang mengenai Drasha."
"Aku nggak punya bukti, tapi aku yakin ada yang diam-diam ngancem pihak kepolisian makanya progress kasus Drasha lambat banget diselesaikan."
Lucian melirik putranya. "Jadi, kamu berpikir orang yang menembak Trevon adalah orang yang juga menembak Drasha?"
"Iya, termasuk yang ngancem pihak kepolisian, sementara aku udah merintahin orang aku untuk cari tahu soal kasus Trevon."
"Bagaimana dengan mantan anggota klan mafia The Red Viper yang pernah mengincar Drasha?"
"Bukan mereka, Pa, kata mama Tamara, papa Riovan sudah lama menyelesaikan salah paham sama mereka" kata Adriel.
Pria itu kemudian mendekat dan memperlihatkan gambar kedua peluru di layar hapenya.
Lucian beranjak meluruskan punggung, menyeka noda di tangannya dengan kain, lalu meraih hape Adriel. Mata tajamnya mulai memperhatikan gambar kedua peluru di layar.
"Di lokasi Trevon tertembak, Drasha juga ada di sana, dia pernah cerita ke aku, kalau Drasha dikejar Trevon dan dia mau dibunuh tapi tiba-tiba ada tembakan yang mengenai Trevon," kata Adriel.
Lucian masih memperhatikan gambar di hape putranya, sementara Adriel lanjut menceritakan soal Drasha.
"Aku tahunya yang ngincer Drasha itu om Narendra sampai dia bekerja sama dengan klan mafia The Red Viper dan merintahin Trevon asistennya untuk membunuh Drasha, tapi sekarang, om Narendra udah nggak ada, Trevon juga udah nggak ada, The Red Viper udah diurus sama papa Riovan. Jadi, siapa lagi yang kemungkinan ngincer Drasha?"
Lucian menyerahkan hape Adriel kembali. "Sejak kecil Drasha sudah terjun ke dunia yang tidak seharusnya dia sentuh. Papa saja syok dia bisa melacak posisi papa sewaktu masih aktif jadi assassin. Yang kamu tahu hanya Narendra, Trevon dan para The Red Viper yang mengincar Drasha, karena mereka yang bersinggungan dengan Drasha saat berumur 17 tahun. Tapi, tidak menutup kemungkinan ada orang lain yang mengincar Drasha. Dia bisa saja punya musuh yang bergerak dalam bayangan. Karena semua yang dilakukan Drasha dahulunya itu penuh risiko."
Adriel menarik napasnya dalam-dalam. Dia lalu menatap papanya. Ya, dia paham masa lalu Drasha yang penuh bahaya saat menjalankan balas dendam. Dia sedang merasakannya juga, karena Adriel akan melakukan apa saja untuk menemukan pelaku penembakan istrinya itu.
"Mau siapa, berapapun, aku bakalan cari sampai orang itu sampai ketemu, Pa."
"Ya, papa mengerti."
"Terus gimana soal peluru itu, papa masih belum bisa temuin siapa aja yang kemungkinan punya atau memproduksi peluru itu? Papa mantan assassin dan terkenal ahli soal senjata, harusnya papa bisa mengenali peluru itu, kan?"
Lucian sebenarnya tahu, hanya saja cukup berbahaya jika dia menyampaikan pada putranya karena ini mencakup sebuah organisasi rahasia. Meski sudah pensiun sebagai assassin, tapi ketika tahu soal muridnya yang ditembak, Lucian menyelidiki kasus Drasha diam-diam.
Dia tahu peluru jenis itu dipakai oleh sebuah jaringan pembunuh bayaran bernama Crimson Lilies. Tapi, sampai sekarang dia belum menemukan pelakunya siapa. Karena di dunia gelap, organisasi itu sangat misterius, namanya terkenal, tapi tidak ada yang benar-benar tahu siapa saja orang-orang yang bergabung dalam jaringan tersebut.
Dia akan mengatakan pada Adriel soal Crimson Lilies begitu benar-benar menemukan siapa pelakunya.
"Khusus peluru itu, papa juga tidak menemukan informasi Adriel, papa pernah menemukan sejenis peluru yang hampir sama dengan peluru yang kamu tunjukkan di kasus pembunuhan seorang CEO di San Diego 20 tahun yang lalu, sedikit mirip, tapi tidak bisa dilacak ataupun diketahui," ujar Lucian beralasan.
Adriel menghela napas berat. Lucian lalu berjalan ke dalam sebentar lalu keluar dengan membawa sebotol air untuk putranya.
"Tapi, sepertinya kamu keliatan pusing karena hal lain juga selain kasus penembakan Drasha," ujar Lucian.
Adriel meneguk air dalam botol kaca lalu menatap papanya. "Ya, soal kerjaan juga."
Lucian melipat tangan di atas apron yang dia kenakan. "Oh ya? Tapi, kenapa papa rasa kamu punya beban pikiran lain."
"Kenapa papa mikir kayak gitu?" Adriel meletakkan botol kaca itu di atas meja. Ada tekanan sebal di sana, Lucian tahu.
Pria paruh baya itu tertawa ringan. "Kamu anak papa Adriel, tentu papa tahu ada hal lain yang mengganggu pikiran kamu."
Adriel terdiam sejenak, menghela napas tipis, menatap papanya yang lanjut berkutat dengan sepeda.
"Iya, memang ada."
"Apa itu?"
Adriel menggigit bagian dalam bibirnya lalu mendekat ke arah deretan sepeda yang sudah selesai diperbaiki. Dia berjongkok lalu memutar rodanya.
"Aku ketemu sama perempuan yang mirip Drasha."
Lucian mengangkat pandangannya, menatap putranya yang seperti anak kecil di sana, memainkan roda sepeda. "Bukannya kamu sudah menutup semua informasi soal Drasha supaya tidak ada yang operasi plastik menyerupai dia?"
"Iya, itu sudah lima tahun lalu, tapi perempuan ini, dia… nggak operasi plastik dan bukan cuma wajahnya yang mirip tapi kebiasaan dan kesukaannya juga sama kayak Drasha. Makanya aku bingung…"
Lucian mendengarkan.
"Aku nanya ke mama Tamara apa dia lahirin anak kembar, jawabannya enggak. Aku juga selalu yakinin diri aku kalau perempuan itu sama kayak perempuan lain, dia licik dan dia nyari tahu soal Drasha biar bisa narik perhatian aku, tapi kalau aku marahin dia, dalam hati aku nggak tega."
Hening sejenak melingkupi.
"Mungkin kamu hanya terlalu rindu dengan Drasha," ujar Lucian.
Adriel berdiri cepat dan membalikkan badannya. Dia menatap papanya dengan anggukan ringan. "Yaaa, itu dia, Pa, aku cuma terlalu kangen sama Drasha makanya aku terbuai sama tipu daya perempuan yang mirip Drasha itu."
"Tapi… papa juga tidak bermaksud mengatakan kalau perempuan itu juga mencoba menggoda kamu, Adriel."
"Enggak, Pa, dia pasti memang mau deketin aku, tapi dia pandai tarik ulur."
Lucian mengerutkan kening. Dia benar-benar tidak ada maksud menyudutkan perempuan yang dimaksud Adriel.
"Thanks, Pa, ngobrol sama papa bikin aku lebih plong mikir."
"Well, you’re welcome, Son," Lucian mengucapkannya pelan dan sedikit ragu. Dia tidak berhenti berkutat dengan sepeda di hadapannya. "Kenapa papa rasa kamu tertarik dengan perempuan yang kamu maksud itu?"
Adriel mengeluarkan tawa devil sekilas. "Enggak, Pa, seperti kata papa tadi aku cuma terlalu kangen sama Drasha makanya aku dibuat bingung sama perempuan licik itu."
Adriel kemudian berjalan meraih sepedanya. "Lagipula, jangan menganggap cuma Anda yang bisa setia pada satu wanita, Pak Tua. Aku juga cuma cinta sama Drasha dan nggak bakalan pernah ada yang gantiin dia di hati aku."
Lucian mengangkat alisnya, senyum tipis terbit di bibirnya.
"Aku balik dulu, Pa. Kalau aku nemuin petunjuk baru, aku bakalan ke sini lagi," kata Adriel.
"Bawa Narell sekali-kali, papa kangen sama cucu papa."
"Minta Kayrell," Adriel langsung menaiki sepedanya dan keluar.