Semua orang melihat Kenji Kazuma sebagai anak lemah dan penakut, tapi apa jadinya jika anak yang selalu dibully itu ternyata pewaris keluarga mafia paling berbahaya di Jepang.
Ketika masa lalu ayahnya muncul kembali lewat seorang siswa bernama Ren Hirano, Kenji terjebak di antara rahasia berdarah, dendam lama, dan perasaan yang tak seharusnya tumbuh.
Bisakah seseorang yang hidup dalam bayangan, benar-benar memilih menjadi manusia biasa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hime_Hikari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30 – Pewaris yang Dipilih Kegelapan
Suara ledakan terakhir masih berdenging di telinga Kenji saat ia tersadar di tengah debu dan reruntuhan. Kepalanya berdenyut keras, pandangannya buram oleh serpihan beton yang beterbangan. Hawa panas dan asap memenuhi ruangan yang kini setengah runtuh.
“Ren? Ryuga? Kalian berada dimana?” Kenji berusaha bangkit, tapi tubuhnya limbung.
Bayangan seseorang bergerak di balik kepulan debu. Ren terbatuk keras, mencoba mendorong balok kayu yang menimpa kakinya. “K-Kenji … aku di sini”
Kenji merangkak, meski kakinya sendiri gemetar. Ia mencoba untuk menyingkirkan pecahan kayu dan mencoba untuk menarik Ren keluar. Luka gores di wajah Ren mengalirkan darah, tetapi matanya tetap fokus. Kenji mencoba membantu Ren untuk berdiri.
“Kita harus segera keluar dari sini,” ujar Ren pelan.
“Aku setuju, tetapi kau harus bersabar, karena aku belum menemukan Ryuga. Jadi apa kamu melihat Ryuga ada di mana?” Kenji menoleh ke segala arah, panik.
Suara berat muncul dari dekat dinding runtuh. “Aku ada disini.”
Ryuga berjalan tertatih keluar dari asap. Sebagian mantel hitamnya hangus, darah menetes dari tangannya, tetapi sorot matanya tidak berubah dingin dan penuh fokus Kenji dan Ren mencoba untuk mendekat ke arah Ryuga.
“Tetap dekat. Mereka tidak akan berhenti sampai kita mati,” katanya.
Namun sebelum mereka sempat bergerak keluar, suara langkah resonan terdengar dari atas reruntuhan tenang, mantap, seperti seseorang yang tidak terpengaruh ledakan apa pun. Kaito. Ia turun dari tangga yang setengah roboh dengan gaya seolah sedang mendekati panggung, bukan area ledakan. Rambutnya yang hitam terurai, wajahnya bersih tanpa luka. Kaito memandang tiga orang yang berada di depannya itu, dengan tatapan tanpa ekspresi.
“Jadi kalian masih hidup.” Kaito menatap mereka dengan ekspresi datar. “Itu lebih baik.”
Kenji merasakan amarah menyambar dadanya. “Kaito! Kau hampir membunuh kami!”
“Hampir,” jawab Kaito singkat. “Kalau Whisperer ingin kalian mati, kalian tidak akan berdiri sekarang.”
Ren menggertakkan gigi. “Berhenti bicara seperti itu pilihan terbaik! Ledakan ini gila!”
Kaito hanya menatap Ren lama, seolah Ren adalah bayangan kecil yang tidak berarti. “Kau tidak seharusnya berada ada di sini, Ren Hirano. Karena ini antara aku, Kenji, dan takdir keluarga kami.”
“Takdir?” Kenji melangkah maju.
Matanya merah, bukan oleh debu, tetapi oleh amarah yang menumpuk. Kenji mulai mengeluarkan semua amarah yang dipendam sejak awal
“Kau pikir aku percaya omong kosong itu? Kau bermain di dua sisi! Kau memancing kami kesini hanya untuk—” Kaito mengangkat tangan, memotong kata-kata Kenji.
“Aku tidak memancing,” ucapnya.
“Aku memanggil pewaris kedua untuk bangkit.” Kalimat itu membuat ruangan terasa lebih dingin.
“Aku tidak mau menjadi pewaris siapa pun!” teriak Kenji.
“Aku hanya ingin kebenaran tentang Mama saja!” Dan disinilah Kaito berhenti. Senyum samar, nyaris menyedihkan, muncul di bibirnya.
“Kebenaran selalu lebih keras daripada peluru, Kenji.”Ia menunjuk dada Kenji.
“Dan kebenaran itu memberatkanmu sejak kecil.” Kenji terdiam, napasnya tercekat.
Ryuga maju, pistol terangkat. “Jangan mendekat.”
Kaito melirik senjata itu tanpa gentar. “Ryuga. Kau masih membela Kazuma yang bahkan mencoba menghapusmu?”
Ryuga memperkecil jarak. “Aku tidak membela siapapun. Aku hanya berhenti percaya kepada orang yang menyerahkan masa depan Kenji pada Whisperer.”
Kaito mengangkat bahu. “Kamu boleh bebas menilai siapa yang salah dan benar, tetapi ada satu hal yang harus kalian ketahui dan dengar sebelum tempat ini meledak sepenuhnya.”
Mulai terjadi ledakan kecil berkedip dari setiap sudut bangunan, itu semakin memperjelas batas waktu mereka. Kaito menatap Kenji lurus-lurus. Seperti sedang memberikan sebuah isyarat kepadanya, seperti ada sebuah rahasia yang selama ini disembunyikan oleh Kaito.
“Rumah Mama terbakar bukan karena perang keluarga, tetapi rumah itu dibakar karena Mama telah memilihmu.” Kenji membeku. Seluruh tubuhnya terasa hilang kendali.
“Apa … maksudmu?” Kaito melanjutkan pelan, nyaris seperti merobek hatinya sendiri:
“Whisperer hanya membutuhkan satu pewaris utama. Mama lebih nmemilih menjauh, mengasingkan diri untuk melindungimu. Oleh karena Mama telah melanggar perjanjian antara tiga keluarga. Jadi … harus ada seseorang yang membayar harganya.”
Mendengar perkataan Kaito membuat suara Kenji pecah. “Jadi, maksudmu mereka membunuh Mama karena aku?”
Ren menyentuh bahu Kenji, tapi Kenji menepisnya, dadanya naik turun dengan cepat.
“Tidak,” Kaito menggeleng.
“Mereka telah membunuh Mama karena dia menyembunyikan satu hal paling berharga darinya—” Ia menunjuk kedua pipi Kenji.
“Bayi yang Whisperer pilih sebagai haruslah pewaris terang.” Kemudian ia meletakkan tangannya ke dadanya sendiri. “Dan bayi yang dipilih sebagai pewaris gelap.”
Kenji terpaku. “Apa maksudmu dengan pewaris terang … dan pewaris gelap?”
Ryuga tersentak. “Jadi itu semua rencana Whisperer—”
Kaito mengangguk. “Dia hanya ingin kalian kembali bersatu. Menyatukan cahaya dan bayangan. Dua sisi dari satu kekuatan.”
Kenji hampir tidak bisa bernapas.
“Aku … adalah cahaya?” Ia menunjuk dirinya sendiri.
“Sedangkan kau … adalah bagian dari gelapnya, begitu maksudmu?” Kaito tersenyum tipis, mendengar perkataan yang dilontarkan oleh Kenji.
“Sejak hari dimana pertama kita berdua dilahir,” tambah Kaito kembali.
Debu runtuhan kembali berjatuhan. Bangunan itu kehilangan struktur penyangganya. Melihat keadaan bangun yang sudah hampir runtuh, Ren dan Ryuga segera mendekat ke arah Kenji yang masih berbincang dengan Kaito. Untuk mengajak Kenji keluar dari bangun yang sudah hampir runtuh itu.
Ryuga menarik Kenji. “Kita harus pergi. Sekarang!”
Namun Kenji menatap Kaito, ketakutan dan marah bercampur dalam tatapannya. Ketakutan akan kehilangan kembali saudara kembar yang baru ia temui, dan juga marah karena tahu kalau Kaito menjadi tangan kanan kedua dari Whisperer.
“Kaito … kau ikut dengan kami kan?” Detik itu, angin malam seperti berhenti.
Kaito menatap Kenji lama, kemudian ia berkata. “Aku tidak bisa ikut dengan kalian.”
“Kenapa?” tanya Kenji yang masih berusaha untuk mengajak Kaito untuk ikut dengannya.
Langkahnya mundur. “Aku milik bayangan.”
Dalam satu gerakan cepat, ia menekan tombol kecil di tangannya. Boom! Terjadi kembali ledakan ketiga menghancurkan sisi gedung, karena kejadian itu memisahkan Kaito dari yang lain dengan dinding api.
“Kaito!” Kenji berteriak, mencoba menerobos, tapi Ryuga menahannya kuat-kuat.
“Dia sudah memilih,” ujar Ryuga berat. “Kaito bukan lagi di pihak kita.”
Dari balik asap, suara Kaito terdengar. “Bersiaplah, Kenji … Whisperer sudah menunggu.”
Lalu sosoknya menghilang dalam kegelapan, Kenji jatuh berlutut, seluruh tubuhnya goyah, Kenji tidak percaya kalau dia harus berpisah kembali dengan saudara kembarnya, padahal belum lama mereka bertemu, dan dalam waktu singkat ia berpisah kembali. Ren memegang pundaknya mencoba untuk menegangkan Kenji yang sudah kehilangan saudara kembarnya terlebih di depan matanya sendiri. Ryuga menatap kobaran api, wajahnya menegang, karena sudah dipastikan kalau satu hal kini jelas, Perang yang Whisperer rencanakan … akhirnya dimulai.