Sejak bayi, Kim Areum menghilang tanpa jejak, meninggalkan tiga kakaknya—Kim Jihoon, Kim Yoonjae, dan Kim Minjoon—dengan rasa kehilangan yang tak pernah padam. Orang tua mereka pergi dengan satu wasiat:
"Temukan adik kalian. Keluarga kita belum lengkap tanpanya."
Bertahun-tahun pencarian membawa mereka pada sebuah kebetulan yang mengejutkan: seorang gadis dengan mata yang begitu familiar. Namun Areum bukan lagi anak kecil yang hilang—ia tumbuh dalam dunia berbeda, dengan ingatan kosong tentang masa lalunya dan luka yang sulit dimengerti.
Sekarang, tiga kakak itu harus membuktikan bahwa ikatan darah dan cinta keluarga lebih kuat daripada waktu dan jarak. Bisakah mereka menyatukan kembali benang-benang yang hampir putus, atau Areum telah menjadi bagian dari dunia lain yang tak lagi memiliki ruang untuk mereka?
"Seutas benang menghubungkan mereka—meregang, namun tidak pernah benar-benar putus."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 30: Berteman.
Namun lamunannya buyar ketika terdengar suara seorang pria di belakangnya. Refleks, Areum berbalik dan tersudut di meja rias.
“Astaga…” serunya pelan, tubuhnya menegang karena terkejut sekaligus malu. Entah sejak kapan Jungwoo sudah berdiri di sana.
“Akhh, maaf… aku tidak bermaksud mengejutkanmu, Areum-ah. Aku sudah memanggilmu dari tadi, tapi kau tidak menjawab,” ucap Jungwoo cepat sambil sedikit menunduk, suaranya terdengar tulus. “Aku hanya ingin mengantarkan pakaian ini. Aku sudah mencari pakaian perempuan, tapi tidak ada… aku memang tidak punya saudara perempuan. Aku juga sudah coba pesan secara online, tapi baru akan tiba besok pagi.” lanjut nya sembari menyodorkan sebuah kaos hitam lengan pendek dan celana kain lembut berwarna senada.
Areum menerimanya dengan dua tangan, matanya menatap pakaian itu dengan perasaan campur aduk.
“Terima kasih… maaf sudah merepotkanmu,” ujarnya pelan.
“Tidak merepotkan. Itu memang punyaku, tapi tenang saja, belum pernah kupakai. Ukurannya terlalu kecil untukku,” ujar Jungwoo sambil tersenyum tipis. Areum mengangguk kecil.
“Terima kasih banyak, Oppa.” ujar nya yang membuat Jungwoo mengangguk kembali.
“Aku akan turun duluan. Setelah ini kau turun juga, ya? Aku ingin mengajakmu makan malam. Arasseo?” ucapnya lembut sambil melangkah keluar kamar.
Areum hanya mengangguk pelan. Setelah pintu tertutup, ia memandangi pakaian di tangannya cukup lama. Sudut bibirnya terangkat sedikit—senyum tipis yang bahkan tak disadarinya sendiri. Untuk alasan yang tidak bisa ia pahami, kehadiran pria itu membuat hatinya sedikit lebih tenang malam itu.
Beberapa menit kemudian, Areum akhirnya turun dengan pakaian yang tadi diberikan Jungwoo. Kaos hitam yang katanya kekecilan di tubuh pria itu justru tampak longgar di tubuh mungilnya, membuatnya terlihat tenggelam di balik kain lembut itu.
Untung saja celana yang diberikan Jungwoo bukan celana panjang, jadi masih tampak pas di tubuhnya. Sekilas, dengan rambut yang masih sedikit basah dan wajah polos tanpa riasan, Areum tampak seperti mengenakan kaos panjang yang menutup hingga paha—memberi kesan sederhana, namun entah kenapa, justru begitu menawan di mata siapa pun yang melihat.
"Oppa," ujar Areum saat melihat Jungwoo yang duduk membelakanginya. Pria itu berbalik, sedikit tertegun melihat penampilan Areum. Bahkan dia sendiri sempat berpikir sama seperti sebelumnya—jika wanita itu tidak mengenakan celana. Padahal, celana pendek itu hanya tertelan oleh potongan kaos panjang yang menutupi hampir seluruh pahanya.
"Ya ampun... sebesar itu di badanmu. Maaf ya, kalau tidak nyaman," ujar Jungwoo dengan nada bersalah. Areum cepat menggeleng dan tersenyum tipis.
"Tidak masalah... terima kasih, ini lebih baik," ujarnya pelan.
Jungwoo mengangguk, lalu menyuruh Areum duduk di kursi seberang meja makan. Makanan sudah terhidang di atas meja—jelas pria itu telah memesannya sejak tadi. Mereka makan dengan tenang tanpa banyak bicara, hanya suara hujan di luar jendela yang sesekali terdengar menenangkan.
Setelah selesai makan, Jungwoo mengajak Areum duduk di depan televisi besar yang terpasang di ruang santai. Gemuruh hujan dan petir memantulkan cahaya ke seluruh ruangan yang temaram. Layar televisi besar itu menampilkan wallpaper pemandangan kota yang berpendar lembut, kontras dengan cahaya redup lampu dan kilatan petir di luar jendela kaca besar.
"Aku boleh bertanya?" ujar Jungwoo sambil melirik Areum yang hanya duduk diam di depannya, pandangannya kosong menatap layar televisi.
"Tentu saja," jawab Areum pelan.
"Kamu sedang ada masalah? Aku dengar kamu sudah pindah kerja dari kafe milik Ji-sung hyung?" tanya Jungwoo hati-hati. Areum terdiam lama, seolah menimbang sesuatu. Setelah beberapa detik, ia mengangguk perlahan.
"Bukan tentang pekerjaan, Oppa... tapi tentang keluarga," ucapnya akhirnya dengan nada ragu.
"Akh, itu berat," sahut Jungwoo sambil tersenyum tipis. "Aku juga sama. Aku pergi dari rumah karena kesal pada hyung-ku." Lanjut nya yang membuat Areum menatap sekilas, lalu mengembuskan napas lelah.
"Aku pikir kita sama-sama sedang dalam masalah, Oppa," katanya dengan nada getir.
"Aku rasa begitu..." Jungwoo menatapnya sejenak. "Ada apa dengan keluargamu?" tanyanya pelan.
Areum kembali terdiam. Ia ingin bicara, ingin menceritakan semuanya pada Jungwoo, tapi ragu masih menahan lidahnya. Ia bahkan belum benar-benar mengenal pria ini. Jungwoo yang menyadari keraguan itu mengangguk pelan.
"Tidak perlu bercerita kalau kamu belum siap. Aku tidak akan memaksa. Arasseo?" ucapnya lembut yang membuat Areum hanya menatap, bibirnya menegang tanpa jawaban.
"Kau tahu..." lanjut Jungwoo sambil menatap kosong ke arah hujan di luar jendela, "aku rasa anak-anak seperti kita ini sebenarnya korban. Korban dari keserakahan orang tua kita." Ujar nya yang sontak membuat Areum menoleh perlahan, menatapnya tanpa kata.
"Sejak kecil aku hidup bergelimang harta. Apa pun yang kuinginkan selalu terpenuhi. Aku tidak pernah kekurangan materi, tapi aku kekurangan empati," Jungwoo menatap lantai, matanya redup. "Orang tuaku tidak pernah memberiku hati. Mereka tidak pernah mengajarkan tentang kasih sayang... mereka hanya mengajarkan satu hal—jika kau ingin hidup, maka kau harus berjuang." Suaranya terdengar lirih, hal itu membuat Areum menatapnya lama. Ada sesuatu di dalam dada yang terasa sesak, mungkin karena kalimat Jungwoo terlalu dekat dengan dirinya sendiri.
"Oppa membenci keluarga Oppa?" tanya Areum hati-hati.
"Tidak tahu... mungkin ya, mungkin tidak," jawab Jungwoo ambigu, suaranya terdengar datar namun ada nada getir yang samar.
"Jika urusan keluarga memang dilema," ujar Areum pelan, membuat Jungwoo terkekeh singkat.
"Kucing tadi sepertinya sudah kering... sebentar," ujar Jungwoo sembari bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah sebuah kotak kecil. Di sana, kucing putih itu tampak jauh lebih baik dibanding sebelumnya yang basah kuyup. Ia mengangkatnya perlahan lalu membawanya pada Areum. Areum menerima kucing itu dengan hati-hati sambil tersenyum kecil.
"Dia terlihat kedinginan," ucapnya lembut sambil memeluk kucing mungil itu ke dadanya. Jungwoo memperhatikan gerakan itu dalam diam. Pandangannya melembut tanpa ia sadari.
"Areum-ah..." panggilnya pelan.
"Ne?" Areum menoleh cepat, menatap Jungwoo dengan bingung.
"Kenapa kamu rela berlari ke tengah jalan hanya untuk menyelamatkan anak kucing itu?" tanya Jungwoo dengan nada ingin tahu. Areum terdiam sejenak sebelum akhirnya berucap lirih.
"Karena... dia seperti aku. Tidak tahu arah." Ujarnya yang membuat Jungwoo menaikkan alis, matanya menatap lekat namun tak menyela. Ia hanya menunggu dalam hening yang panjang.
"Aku mengetahui fakta kalau aku bukan anak kandung dari orang tuaku," lanjut Areum dengan suara bergetar. "Aku memutuskan pergi dari rumah untuk menenangkan diri, dan ya... tak sengaja bertemu denganmu. Aku berterima kasih. Besok mungkin aku akan kembali ke Gangnam." Jelas nya, dia tidak tahu kenapa dia menjelaskan itu pada Jungwoo tanpa ragu. Jungwoo menatapnya lebih lama, matanya memantulkan cahaya lampu meja.
"Bukan anak kandung?" ulangnya pelan yang membuat Areum mengangguk dengan mata yang sedikit berkaca.
"Aku tidak tahu kenapa keluarga kandungku membuangku. Tapi setelah sekian lama, mereka datang lagi dan mengaku sebagai keluarga..." napasnya bergetar sebelum melanjutkan, "Oppa, menurutmu... apa aku salah kalau aku kecewa pada orang tua angkatku karena menyembunyikan semua ini dariku selama ini?" Lanjut nya yang membuat Jungwoo menggeleng pelan.
"Menurutku tidak. Wajar kalau kamu kecewa setelah tahu semua ini. Tapi aku rasa kamu tidak boleh menjauh dari mereka, Areum-ah. Bagaimanapun juga, mereka yang telah merawatmu selama ini. Mereka pasti punya alasan kenapa tidak memberitahumu lebih dulu. Aku rasa kamu tidak perlu meninggalkan mereka... aku yakin mereka khawatir padamu," ucapnya tulus.
Areum menunduk, jari-jarinya mengusap lembut kepala kucing di pelukannya. Kata-kata Jungwoo terasa menenangkan, seperti membuka sesuatu yang lama tertutup dalam pikirannya. Ia sadar, sekalipun ia lari, kenyataan tidak akan pernah hilang.
"Terima kasih, Oppa," ujarnya pelan, senyum tipis terlukis di wajahnya. Jungwoo tersenyum samar.
"Setidaknya kamu masih punya orang tua yang menyayangimu, Areum-ah. Sedangkan aku... aku sudah kehilangan mereka bahkan sebelum sempat merasakan apa itu kasih sayang orang tua," ucapnya lirih. "Sejak kecil aku diasuh oleh pengasuh, karena orang tuaku sibuk bekerja... bahkan sampai akhir hayat mereka." Ujarnya yang membuat Areum terdiam, matanya beralih pada Jungwoo. Ia bisa melihat sedikit kesepian di balik sorot mata pria itu.
"Tapi aku beruntung," lanjut Jungwoo pelan. "Aku punya tiga hyung yang menyayangiku. Mereka memberi kasih sayang yang tidak pernah kudapat dari orang tua kami. Aku tahu mereka juga butuh itu, tapi mereka lebih memilih untuk menjagaku... bahkan terkadang aku kesal karena mereka selalu memperlakukanku seperti anak kecil di usiaku sekarang."
Areum tersenyum kecil, sedikit terharu mendengarnya. Aroma lembut kayu manis samar tercium dari kain yang mereka kenakan—mungkin bekas pewangi khas rumah itu.
"Rumahmu sepi sekali, Oppa," gumam Areum pelan, suaranya nyaris tenggelam.
"Memang begitu." Jungwoo duduk di sofa seberang, tubuhnya bersandar malas. "Aku tidak suka banyak orang datang. Kadang aku berpikir… kalau dunia terlalu bising, lebih baik kututup semua jendela," ujarnya yang membuat Areum menoleh, memperhatikan wajahnya dalam cahaya temaram.
“Lalu… apa kau tidak kesepian?” tanya Areum yang membuat Jungwoo mengangkat bahunya acuh.
“Kesepian itu relatif. Kadang aku merasa lebih damai sendiri daripada bersama orang-orang yang hanya pura-pura peduli,” ujarnya yang membuat Areum terdiam. Kalimat itu menampar lembut hatinya. Ia menarik napas panjang sebelum berbisik.
“Aku… tahu rasanya,” balas Areum yang membuat Jungwoo tersenyum kecil.
"Aku datang ke sini kalau aku bertengkar dengan keluargaku, atau ketika aku sedang ingin sendiri," ujar Jungwoo yang membuat Areum mengangguk pelan.
"Aku harap suatu hari nanti aku bisa punya tempat seperti ini," ujar Areum lirih, pandangannya menyapu ruangan yang temaram dengan cahaya lampu dinding yang hangat.
"Kau boleh datang ke sini kapan pun kamu mau," ujar Jungwoo lembut, membuat Areum menatapnya lekat.
"Apa?" tanyanya terkejut.
"Ya… kau boleh datang ke rumahku kapan pun kamu mau. Anggap saja ini tempat kita—anak-anak yang kehilangan arah. Datanglah ketika lelah dengan dunia. Anggap saja ini rumahmu… meskipun aku tidak di sini," ujar Jungwoo tulus, membuat Areum terdiam dan sedikit terkejut oleh ucapannya.
"Terima kasih," ujar Areum pelan, membuat Jungwoo terkekeh kecil.
"Aigoo, kamu mengucapkan terima kasih berulang kali, sampai aku bosan menjawab ‘sama-sama’. Mulai hari ini, kita berteman, arasseo?" tanya Jungwoo sambil menyodorkan tangannya. Areum tersenyum lalu menerima uluran tangan itu.
"Kita berteman..." ujarnya lembut.
Tawa mereka terdengar sayup-sayup, tenggelam dalam berisiknya hujan dan petir di luar sana. Tapi ada satu hal yang membuat keduanya tenang—karena kini, mereka sama-sama menemukan tempat untuk bicara dan didengar. Di tengah berisiknya dunia.