Amorfati sebuah kisah tragis tentang takdir, balas dendam, dan pengorbanan jiwa
Valora dihancurkan oleh orang yang seharusnya menjadi keluarga. Dinodai oleh sepupunya sendiri, kehilangan bayinya yang baru lahir karena ilmu hitam dari ibu sang pelaku. Namun dari reruntuhan luka, ia tidak hanya bertahan—ia berubah. Valora bersekutu dengan keluarganya dan keluarga kekasihnya untuk merencanakan pembalasan yang tak hanya berdarah, tapi juga melibatkan kekuatan gaib yang jauh lebih dalam dari dendam
Namun kenyataan lebih mengerikan terungkap jiwa sang anak tidak mati, melainkan dikurung oleh kekuatan hitam. Valora, yang menyimpan dua jiwa dalam tubuhnya, bertemu dengan seorang wanita yang kehilangan jiwanya akibat kecemburuan saudari kandungnya
Kini Valora tak lagi ada. Ia menjadi Kiran dan Auliandra. Dalam tubuh dan takdir yang baru, mereka harus menghadapi kekuata hitam yang belum berakhir, di dunia di mana cinta, kebencian, dan pengorbanan menyatu dalam bayangan takdir bernama Amorfati
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim Varesta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Strategi
🦋
Setelah Mahiera Pergi
Pelayan datang kembali membawa hidangan mereka. Uap hangat sup krim memenuhi meja, aroma steak dan pasta menggoda. Namun tidak ada yang langsung menyentuh makanan.
Zayn masih duduk di pangkuan Gavriel, tangannya sibuk memainkan serbet lipat. Gavriel menatap wajah putranya lama, seolah ingin menghafal setiap detail ekspresi kecil itu.
"Zayn," suaranya pelan. "Kau tidak seharusnya bicara seperti tadi. Itu kasar."
"Tapi aku hanya jujur, Ayah." Zayn menoleh, menatap lurus ayahnya. "Aku tidak ingin orang itu ada di sekitar kita."
Kalimat polos itu membuat dada Gavriel terasa sesak, ada sesuatu yang menekan di dalam. Ia mengusap kepala putranya, senyum samar muncul meski hatinya kacau. "Kau benar-benar mirip bundamu…"
Zayn menatap penasaran. "Bunda juga tidak suka orang seperti itu?"
Pertanyaan itu membuat Gavriel terdiam. Matanya sayu, seolah ada luka lama yang mendesak keluar. Ia hanya memeluk Zayn lebih erat, menghindari jawaban.
Dari seberang meja, Auliandra memperhatikan dengan tatapan yang sulit ditebak. Nira, yang duduk di sebelahnya, berbisik pelan.
"Nona Auliandra… kau benar-benar sengaja menjatuhkan Mahiera tadi, ya?"
Auliandra meneguk wine-nya sekali lagi sebelum menjawab, suaranya rendah dan tenang. "Dia sendiri yang menggali lubang. Aku hanya memastikan semua orang melihatnya."
"Tapi apa tidak berbahaya? Kau tahu betul siapa saja yang ada di belakang Mahiera." Nada Nira terdengar waswas.
Auliandra menoleh, menatap Nira dengan sorot mata yang dingin namun penuh keyakinan. "Semakin cepat dia membuka kedoknya, semakin mudah bagiku untuk mengendalikannya."
Nira menggigit bibir, tidak membalas. Ia tahu, sekali Auliandra sudah menetapkan langkah, tidak ada yang bisa membelokkannya.
Sementara itu, Kiran menyandarkan tubuh ke kursi, menyeringai tipis sambil mengamati interaksi di meja. "Kalau begini caranya, aku rasa perang ini baru saja dimulai."
Edwin yang sejak tadi diam hanya menatapnya tajam, seolah ingin menegur. Tapi akhirnya ia memilih bungkam, cukup dengan mendengus pelan.
Gavriel yang mendengar bisik-bisik itu menatap ke arah Auliandra. "Apa maksud kalian? Dan perang apa?"
Auliandra menoleh, bibirnya melengkung samar. "Tidak ada, Gavriel. Hanya sekadar… permainan kecil."
Namun dari sorot matanya, jelas bahwa bukan sekadar permainan biasa.
Zayn menatap mereka semua, lalu berbisik lirih ke telinga ayahnya. "Ayah… aku tidak suka cara tante itu menatap Bunda."
Gavriel tertegun. Ia baru saja hendak bertanya maksud Zayn, ketika Auliandra mengetuk perlahan sisi gelas wine-nya, mengembalikan semua perhatian ke arahnya.
"Baiklah, mari kita makan. Kita akan butuh banyak tenaga… sebelum semuanya benar-benar dimulai."
Ucapan itu membuat meja seketika hening lagi. Seolah ada badai besar yang sedang menunggu, hanya saja mereka belum tahu kapan badai itu akan datang.
***
*Malam Hari – Kediaman Wardana*
Lampu meja menyala redup di kamar Gavriel lebih tepatnya di kamar Valora. Tirai besar dibiarkan sedikit terbuka, menampilkan rembulan yang tergantung pucat di langit malam. Zayn meringkuk di atas ranjang, tubuh kecilnya masih terbalut piyama bergambar pesawat.
Gavriel duduk di tepi ranjang, menatap anak itu dengan sorot mata yang sulit ditebak. Ada bangga, ada luka, ada kerinduan.
"Ayah…" suara Zayn pelan, hampir berbisik. "Kenapa bunda pergi?"
Pertanyaan itu menghantam Gavriel lebih keras daripada pukulan mana pun yang pernah ia terima. Tenggorokannya tercekat, namun ia berusaha menenangkan diri.
"Bunda tidak pergi, Zayn." suaranya serak. "Bunda hanya… tersesat dalam jalannya sendiri."
Zayn menoleh, matanya bulat penuh rasa ingin tahu. "Apa Ayah masih mencintai Bunda?"
Keheningan panjang menggantung. Gavriel menunduk, mengusap kepala putranya dengan lembut. "Cinta itu… bukan sesuatu yang bisa hilang begitu saja, Nak. Kadang, meski kita ingin melupakannya, hati tetap saja menolak."
Zayn menatapnya lama, lalu berbisik lirih, "Kalau begitu kenapa Ayah mau menikah dengan wanita lain, jika ayah masih mencintai bunda?"
Gavriel terdiam lagi. Matanya menatap keluar jendela, ke arah rembulan. Hatinya terasa terkunci. "Karena… kadang dunia memaksa kita memilih jalan yang tidak kita inginkan. Tapi percayalah, Zayn, tidak ada satu pun yang bisa menggantikan bundamu."
Anak itu mengangguk pelan, lalu menyelipkan tangannya ke dalam genggaman Gavriel. "Aku ingin bertemu Bunda, Ayah. Apa pun caranya."
Gavriel menatap mata putranya, mata yang begitu mirip dengan mata wanita itu, dan hatinya bergetar. Seakan ada janji lama yang kembali menuntut ditepati.
"Ayah berjanji," bisiknya akhirnya. "Kita akan bertemu dengan bundamu. Cepat atau lambat."
Zayn tersenyum tipis, lalu memejamkan mata, perlahan tertidur. Gavriel tetap duduk di sampingnya, menatap wajah kecil itu dengan campuran cinta dan rasa bersalah.
"Maafkan ayah, nak. Karena keegoisan ayah dulu sampai membuatmu menderita selama ini."
*Sementara Itu – Rapat Rahasia di AS Grup*
Ruang rapat lantai atas sengaja dibuat redup, hanya lampu meja dan proyektor yang menyala. Auliandra duduk di ujung meja dengan laptop terbuka, Nira di sisi kanan, dan Kiran di sisi kiri.
"Mahiera Thandor, dia bukan hanya masalah pribadi," ucap Auliandra membuka rapat. "Dia punya backing kuat. Jika kita lengah, AS Grup bisa jadi sasarannya."
Nira mengangguk cepat. "Aku sudah cari tahu. Ada jaringan bisnis keluarga Thandor yang bisa sewaktu-waktu menekan kita lewat pemasok."
Kiran menyilangkan tangan, ekspresinya dingin. "Dan Jevano masih terlalu lemah kalau urusannya menyangkut Mahiera. Itu celah kita."
Auliandra mengetuk meja dengan jarinya. "Itulah sebabnya kita harus pecah strategi. Pertama, pastikan proyek Villa tetap berjalan. Itu tameng kita. Kedua, kendalikan arus informasi. Jangan biarkan Mahiera masuk ke dalam lingkaran ini lagi."
Nira menambahkan, "Aku bisa pastikan dokumen kerja sama berikutnya dikunci rapat. Tidak ada celah legal."
Kiran menyeringai tipis. "Dan aku akan pastikan orang-orang Thandor tidak bisa menyentuh pemasok kita. Aku punya koneksi di jalur pelabuhan."
Auliandra menatap kedua wanita itu, sorot matanya tajam. "Bagus. Tapi ingat, ini bukan hanya sekedar perang bisnis saja. Mahiera bermain dengan obsesinya. Semakin kita tekan, semakin ia akan menggila."
Keheningan sejenak menyelimuti ruangan.
"Kalau begitu," Kiran mencondongkan tubuh ke depan, suaranya rendah. "Kita harus pastikan satu hal: Mahiera tidak pernah menyentuh Zayn. Karena kalau dia menyentuh anak itu… Gavriel tidak akan bisa di kendalikan lagi olehnya."
Nira menatap Auliandra dengan perasaan cemas. "Apa kau yakin bisa menghadapi Mahiera sendirian?"
Senyum dingin melengkung di bibir Auliandra. "Aku tidak sendirian. Aku punya kalian. Dan… aku punya sesuatu yang Mahiera tidak tahu, itu kartu As nya."
Kiran dan Nira saling berpandangan, tapi tidak berani bertanya lebih jauh.
Lampu ruangan meredup sepenuhnya ketika Auliandra menutup laptopnya. "Perang baru dimulai. Dan aku akan pastikan… kita yang keluar sebagai pemenangnya"
"Obsession hanya bisa di lawan dengan kegilaan"
🦋To be continued...