Salsa bisa lihat malapetaka orang lain… dan ternyata, kemampuannya bikin negara ikut campur urusan cintanya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon INeeTha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mata Kucing
Salsa Liani tahu betul, bagi orang seperti Pak Bagas Prasetyo, kehilangan satu pekerjaan saja bisa berarti bencana dapur tak ngebul. Karena itulah, ia bergerak cepat. Selain mendesak kepolisian segera mencairkan uang hadiah atas info kasus besar yang diberikan Pak Bagas, Salsa juga bergerilya mencari lowongan kerja yang layak untuk bapak paruh baya itu.
Berkat kegigihan Salsa, uang hadiah dua puluh juta rupiah cair lebih cepat dari prosedur biasa.
Dengan senyum malu-malu, Pak Bagas menyodorkan kantong plastik berisi dua gelas milk tea bermerek.
"Neng Salsa, saya dengar anak muda suka minum ginian. Tadi saya minta tolong mahasiswa di kedai buat pesanin yang paling enak."
Tangan Pak Bagas gemetar saat menyerahkannya, seolah takut menumpahkan cairan emas. Salsa tahu, harga satu gelas ini setara uang makan Pak Bagas seharian. Pandangan Salsa jatuh ke bangku di sebelahnya—ke sebuah kantong kresek merah yang terbuka. Di sana, tergeletak kotak nasi styrofoam dengan lauk sayur semata wayang, tanpa daging sedikit pun.
Hati Salsa mencelos.
"Pak Bagas..." Salsa menerima minuman itu dengan tenggorokan tercekat. "Minumannya saya terima, ya. Tapi jajanan pasar ini Bapak bawa pulang saja buat anak-anak. Saya lagi diet."
Senyum Pak Bagas membeku, tangannya memilin ujung baju dengan gugup. "Waduh... nggak enak dong, Neng..."
Setelah Salsa menolak halus berkali-kali, Pak Bagas akhirnya menyerah.
Salsa buru-buru mengalihkan topik. "Oiya Pak, kebetulan orang tua saya mau buka agen ekspedisi di ruko perumahan. Mereka butuh karyawan yang bisa dipercaya. Gaji UMR, ada BPJS, kalau lembur dihitung double. Gimana? Bapak minat?"
Mata Pak Bagas seketika berbinar. Jemarinya yang kasar meremas ujung baju kerjanya. Jakunnya naik turun menahan tangis.
"Bo-boleh, Neng! Jelas boleh banget!" suaranya bergetar hebat. Punggungnya yang biasa membungkuk kini tegak karena harapan. "Saya... saya janji bakal kerja bener!"
"Nanti detailnya saya telepon ya, Pak."
"Siap, Neng! Makasih... makasih banyak!" Pak Bagas membungkuk dalam-dalam. Saat ia berbalik pergi, langkahnya terasa jauh lebih ringan, seolah beban ribuan kilo baru saja diangkat dari pundaknya.
Setelah urusan Pak Bagas beres, Salsa melipir ke ruangan Polwan Lenny.
"Mbak Lenny, sumber info paparazzi itu udah ketemu?"
Lenny masih memelototi layar komputer dengan wajah kusut. "Nihil. Pengirimnya pakai email anonim dari dark web. IP-nya loncat-loncat ke belasan negara, jejak terakhir di Brasil. Canggih banget, kayak kerjaan pro yang biasa main di intelijen."
"Terus empat penculik itu?"
"Mereka sih pemain lama. Residivis," Lenny mendengus kesal sambil melempar berkas ke meja. "Mereka udah nguntit Pak Arga dan Manda dua bulan penuh. Untungnya udah kita sikat semua. Yang bikin pusing sekarang cuma si pengirim pesan anonim itu. Motifnya apa coba?"
Salsa memijat bahu seniornya itu. "Nanti aku bantu pantau Pak Arga sama Manda deh, Mbak. Siapa tahu 'bakatku' dapet sinyal lagi."
Pukul tiga sore.
Salsa sudah berganti kostum. Helm terpasang, sarung tangan ready. Ia resmi jadi ojol paruh waktu.
Sampai malam tiba, Salsa sudah menyelesaikan sepuluh orderan. Ratusan pasang mata sudah ia tatap, tapi anehnya, "bakat" halu-nya sama sekali tidak muncul. Tidak ada bayangan masa depan, tidak ada sinyal bahaya.
Cuma ada komplain pelanggan yang bilang kuahnya tumpah sesendok. Nasib.
Hari kedua pun sama. Nihil.
Salsa mulai curiga. Apa kemampuannya sudah kedaluwarsa? Atau memang Jakarta lagi aman-aman saja? Yah, setidaknya dompetnya menebal dari hasil narik ojek.
Pukul delapan malam, HP-nya bergetar.
"Ting! Orderan baru masuk."
Salsa melotot melihat peta. Tujuannya ke Area Pemakaman Umum di kaki gunung. Jaraknya lumayan jauh, dan lokasinya... yah, kuburan.
Para driver biasa menyebut ini "orderan horor". Tapi Salsa justru merasa tertantang. Siapa tahu di tempat sepi begitu dia ketemu buronan yang lagi sembunyi? Lumayan buat nambah reward.
Salsa tancap gas. Semakin dekat ke lokasi, jalan aspal mulus berganti tanah becek. Pohon-pohon besar menaungi jalan seperti tangan raksasa. Suara burung gagak sesekali terdengar, menambah backsound alami yang bikin merinding.
"Anda telah sampai," suara GPS terdengar datar.
Di depan gerbang makam yang gelap gulita, hanya ada satu pos jaga kecil. Jendelanya hitam pekat.
Salsa menyorotkan lampu motornya ke pos itu.
Tiba-tiba, sebuah wajah keriput pucat menempel di kaca! Seringai lebar terbentuk di bibir keringnya.
"Kamu datang..." suaranya serak dan berat.
"ASTAGA!" Salsa menjerit, refleks memutar balik motornya. Kabur!
Dari spion, ia melihat sosok nenek-nenek itu keluar dari pos dan mengejarnya. Larinya kencang luar biasa, rambut putihnya berkibar liar ditiup angin malam. Ini bukan manusia!
"WOI! JANGAN KABUR!"
Teriakan si nenek berubah cempreng. "NASI GORENG GUE!!"
Salsa mengerem mendadak. Hah?
Ia menoleh. Nenek itu ngos-ngosan, menunjuk kotak makanan di motor Salsa. Di bawah sinar bulan, seragam birunya terlihat jelas: PETUGAS MAKAM.
"Nenek yang pesen?" Salsa bengong.
"Iya lah! Emang lansia nggak boleh gaul pesen GoFood?" Si nenek, yang ternyata bernama Nenek Zainab, mengibaskan HP-nya dengan bangga. "Gue nungguin sejam nih laper banget. Lu malah mau kabur!"
Salsa lemas seketika. "Kirain setan, Nek. Abisnya gelap banget."
"Listrik mahal, Neng. Hemat," Nenek Zainab nyengir, giginya ompong sebagian. "Lagian setan di sini takut sama gue. Kemarin ada kunti mau nakut-nakutin, malah gue suruh bantuin nyiram tanaman di game Shopee."
Salsa tertawa. Nenek ini asyik juga.
Saat hendak pamit, mata Salsa menangkap sesuatu di bukit kuburan sebelah timur. Bayangan hitam berkelebat.
"Nek, di sana ada orang?"
Nenek Zainab menyipitkan mata. "Kagak ada. Itu bukit kuburan tua, isinya babi hutan sama uler doang. Palingan 'api hantu'."
Obrolan berlanjut singkat. Salsa jadi tahu Nenek Zainab hidup sebatang kara menjaga makam ini. Anaknya sudah meninggal, cucunya jauh.
Sebelum pulang, Salsa menatap mata Nenek Zainab.
Deg.
Pandangan Salsa memburam. Akhirnya! Vision itu datang!
Dalam penglihatan itu:
Nenek Zainab sedang berlari di bukit, mengejar seorang pria berjaket pabrik lusuh. "Woi maling! Balikin sesajennya!" teriak si Nenek.
Nenek Zainab lari terlalu semangat, kakinya tersandung akar. Tubuh rentanya menggelinding jatuh dari lereng bukit dan menghantam pohon besar.
Cut.
Adegan berganti ke Nenek Zainab yang terbaring di rumah sakit dengan kaki dan tangan digips, tapi masih sempat-sempatnya menelepon Polhut buat ngelaporin si maling.
Salsa kembali ke dunia nyata. Ia menghela napas lega. Fiuh, cuma patah tulang, bukan mati dibunuh.
"Neng? Kenapa ngeliatin gue gitu?" Nenek Zainab risi.
Salsa langsung pasang mode dukun. "Nek, saya ini ngerti dikit soal primbon. Weton Nenek lagi tabrakan sama bintang Mars. Seminggu ini, kalau ada maling sesajen, please jangan dikejar. Bahaya. Rawan patah tulang."
"Buset, lu ngerti primbon juga?" Nenek Zainab takjub. "Oke dah, gue nurut. Badan emang lagi nggak enak juga."
Salsa lega si Nenek mau dengar. Setelah tukaran nomor WhatsApp (siapa sangka nenek ini aktif bikin status WA), Salsa pulang.
Malam berikutnya.
Orderan ramai lancar. Pukul 11:50 malam, Salsa mengambil orderan terakhir: satu cup boba.
Lokasinya di gang sempit perkampungan padat. Salsa harus naik ke lantai empat sebuah kos-kosan putri. Napasnya ngos-ngosan saat memencet bel.
Langkah kaki terdengar dari dalam, lalu hening sejenak. Penghuni kamar pasti sedang mengintip dari lubang intip pintu.
Pintu terbuka. Seorang gadis berambut pendek dengan piyama lucu muncul.
"Makasih ya, Kak," ucapnya ramah.
Tiba-tiba, wush! Seekor anak kucing kecil menyelinap keluar dari celah kaki si gadis, kabur ke lorong.
"Eh! Koko! Balik sini!" gadis itu panik.
Salsa dengan sigap menangkap anak kucing itu sebelum lari jauh. "Dapet!"
"Aduh, makasih banget, Kak!" Gadis itu tersenyum lebar sambil mengambil kucingnya dari tangan Salsa.
Mata mereka bertemu.
Saat itulah, dunia Salsa berputar.
Vision.
Kamar kos itu gelap gulita, hanya diterangi cahaya layar laptop. Jam digital di meja menunjukkan pukul 00:25.
Gadis rambut pendek itu terlihat lelah mengetik tugas. Suasana hening mencekam.
Ting tong... Ting tong...
Bel pintu berbunyi. Awalnya pelan, lalu makin cepat dan tidak sabaran.
Gadis itu tersentak. Dengan ragu, ia berjalan menuju pintu. Ia tidak langsung membukanya.
Ia menempelkan wajahnya ke pintu, memicingkan mata kanannya untuk melihat siapa tamu tak diundang itu melalui lubang intip kecil—"mata kucing".
Tepat saat pupil matanya sejajar dengan lubang kaca itu, kilatan logam dingin terlihat dari sisi luar.
JLEB!!
Sebatang besi tajam dihujamkan dengan kuat dari luar, menembus kaca lubang intip, langsung menghancurkan bola mata gadis itu dan menembus tengkoraknya.
next
lanjuttt....
keren juga Salsa. lanjutttt
bsk2 banyakin lagi ya thoe😍💪
ganbattee